Kematian Terkait HIV/AIDS di Aceh Utara Tinggi

Humaniora129 Dilihat

KMAB30

Tingkat kematian pengidap HIV/AIDS di Aceh Utara, Aceh, cukup tinggi sehingga pihak terkait pelu menurunkan tingkat kematian

Oleh: Syaiful W. Harahap

“Penderita HIV dan AIDS di Aceh Utara Capai 157 Orang, 70 Meninggal Dunia.” Ini judul berita di ajnn.net, 5/8-2022.

Data kematian di Kabuapten Aceh Utara, Aceh, ini menunjukkan tingkat kematian karena penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS termasuk tinggi yaitu 44,59%. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan penyakit-penyakit penyebab kematian 70 pengidap HIV/AIDS itu.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak meminum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter). Di masa AIDS sistem kekebalan tubuh pengidap HIV/AIDS sangat rendah sehingga mudah kena penyakit, seperti diare, TB, dan lain-lain.

Maka, langkah Dinas Kesehatan Aceh Utara adalah memberikan obat ARV kepada Odha yang terdeteksi. Namun, perlu diingat jumlah kasus yang dilaporkan (157) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Terkait dengan 70 Odha yang meninggal perlu juga Dinkes Aceh Utara melakukan pendekatan kepada keluarga Odha yang meninggal karena sebelum meninggal bisa saja sudah terjadi penularan HIV/AIDS.

Dalam berita disebutkan: Ferianto (Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh Utara), menambahkan, diantara banyaknya yang terinfeksi virus tersebut lebih didominasi oleh laki-laki yang disebabkan adanya heteroseksual.

Pernyataan ini kurang tepat. Tidak jelas apakah persis seperti pernyataan Ferianto atau pendapat wartawan yang menulis berita ini.

Matriks: Orientasi Seksual. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Heteroseksual adalah orientasi seksual yaitu laki-laki atau perempuan yang tertarik secara seksual dengan lawan jenis. Maka, yang tepat adalah penularan HIV/AIDS di Aceh Utara banyak terdeteksi pada laki-laki heteroseksual.

Laki-laki heteroseksual yang tertular HIV/AIDS sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang beristri akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya atau pasangan seksual lain.

Disebutkan: “Upaya kedepan dalam menangani kasus tersebut terus melakukan mobile Voluntary Counseling and Testing  (VCT) untuk skrining pada populasi kunci, kemudian meningkatkan  sosialisasi di masyarakat untuk bersedia memeriksakan diri jika beresiko, dan melaksanakan sosialisasi di kelompok remaja baik di sekolah dan pesantren,” tuturnya.

Langkah di atas adalah penanggulangan di hilir karena yang tes HIV sudah melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko. Perilaku seksual dan nonseksual berisiko, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.

Dalam epidemi HIV/AIDS penanggulangan adalah di hulu yaitu mencegah atau menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku seksual dan nonseksual berisiko.

Langkah yang konkret adalah melakukan intevensi, tapi hal itu mustahil karena perilaku seksual berisiko terjadi di ranah privat. Selain itu untuk perilaku berisiko nomor (2) juga tidak bisa dilakukan intervensi karena praktek PSK tidak dilokalisir. Sedangkan lokalisasi pelacuran sekarang sudah pindah ke media sosial. Transaksi dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat (Lihat matrik penjangkauan).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Itu artinya insiden infeksi HIV baru di Aceh Utara akan terus terjadi. Warga yang tertular HIV dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Di bagian lain Ferianto mengatakan: “ …. Kemudian berperilaku seks sehat bukan seks bebas, jauhi narkoba, jika merasa sakit segera memeriksakan diri dan jangan takut di stigma.”

Pernyataan ini tidak akurat karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks risiko penularan HIV/AIDS berdasarkan kondisi dan sifat hubungan seksual).

Matriks: Sifat dan kondisi hubungan seksual terkait dengan risiko penularan HIV/AIDS. (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) adalah obat (anestesi), maka yang dijauhi bukan zat (narkoba), tapi penyalahgunaan terutama dengan jarum suntik secara bersama-sama dengan bergiliran memakai jarum suntik dan tabungnya. Soalnya, bisa saja salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum dan tabung selanjutnya disuntikkan ke badan oleh yang lain.

Yang dianjurkan tes HIV adalah orang-orang yang pernah atau sering melakukan, terutama, perilaku seksual berisiko. Sedangkan yang tidak pernah melakukan perilaku seksual yang berisik tertular HIV/AIDS biar pun sakit dengan gejala itu sama sekali tidak terkait dengan HIV/AIDS sehingga mereka tidak perlu tes HIV.

Perlu langkah-langkah yang konkret melalui program pencegahan dan penanggulangan agar insiden infeksi HIV bisa diturunkan, sekali lagi hanya bisa diturunkan karena untuk menghentikannya mustahil.

Adalah hal yang mustahil mengawai perilaku seksual setiap warga setiap hari. Maka, diperlukan program penanggulangan yang konkret. (Sumber: Kompasiana, 5/8-2022). *

Tinggalkan Balasan