Taman Sari merupakan obyek wisata di Yogya yang paling sering saya kunjungi. Kalau ditanya sudah berapa kali ke sana, jawabnya sudah sering alias banyak kali. Alasannya adalah karena letaknya sangat dekat dengan kediaman saya di Yogya yang hanya sepelemparan batu alias tidak sampai 5 menit berjalan kaki.
Karena itu, kali ini saya akan bercerita mengenai banyak hal, baik pada kunjungan terakhir pada Juli 2022 maupun pada kunjungan-kunjungan sebelumnya, baik sendiri, bersama teman, keluarga, ataupun bahan teman yang orang asing. Baik dengan pemandu wisata maupun sendiri saja.
Kalau kita masuk dari Jalan Taman menuju ke Kompleks Taman Sari, yang pertama menyambut adalah sebuah masjid kecil yang ada bernama Masjid Soko Tunggal. Masjid ini memiliki keunikan karena sesuai Namanya hanya memiliki satu tiang utama alias Soko Tunggal yang ada di tengah masjid. Menurut prasasti yang ada di dinding depan, masjid ini diresmikan pada 1973 oleh Sultan Hamengku Buwono IX.
Di jalan sini pula terdapat tempat parkir kendaraan yang kalau sudah ramai biasanya akan meluber ke sepanjang jalan Taman dan juga ada berbagai tempat yang dijadikan tempat parkir termasuk di sebelah utara di dekat Pasar Ngasem
Gapura Panggung menjadi bagian pertama atau pintu gerbang kompleks Taman Sari yang akan menyambit semua pengunjung. Konon pintu gerbang ini dulunya adalah pintu belakang Kompleks Taman Sari karena pintu depan utamanya berada di sebelah Barat, namun sekarang gapura ini menjadi pintu masuk utama dan di sini pula terdapat tempat penjualan tiket.
Pada Gapura Panggung ini pula terapat Sengkala Memet berbentuk dua ekor naga yang konon kalau dibaca menjadi Catur Naga Rasa Tunggal yang diartikan sebagai tahun Jawa 1684 atau Tahun 1758 Masehi sebagai tahun dimulainya pembangunan Kompleks Taman Sari pada Masa Sultan HB I.
Setelah membeli tiket, biasanya kita akan disambut oleh para pemandu yang menawarkan jasa mereka. Kalau kita membawa tamu asing, ada juga pemandu yang menawarkan jasa dalam berbagai bahasa, selain yang berbahasa Indonesia, saya juga pernah menggunakan pemandu yang berbahasa Inggris. Menggunakan pemandu kita akan mengetahui nama tempat dan juga cerita-cerita seru dibaliknya, baik yang fakta ataupun yang merupakan mitos.
Kemudian kita akan masuk ke bagian yang dinamakan Gedhong Sekawan karena di sini terdapat empat buah bangunan yang mirip dan konon dulu digunakan oleh keluarga kerajaan untuk beristirahat. Di sini juga terdapat banyak pot bunga yang dengan ukuran besar.
Kembali ke pemandu dan mitos Taman Sari. Salah satu mitos yang terkenal dan sering diceritakan oleh para pemandu adalah tentang sultan yang melemparkan bunga sambil mengintip para selir yang sedang mandi, dan selir yang berhasil menangkap bunga tersebutl ah yang akan mendapat giliran bercinta dengan sultan.
Mitos ini biasanya diceritakan ketika kita memasuki kawasan pemandian yang menjadi pusat daya tarik kompleks Tamansari. Kompleks pemandian ini dinamakan Umbul Pasiraman atau kadang disebut juga Umbul Binangun. Ada tiga kolam atau pemandian utama yang dilengkapi beberapa bangunan. Setiap kali saya kesini, seakan-akan terbayang dan kembali ke masa lalu ketika di sini para selir atau permaisuri dan putri sedang mandi. Airnya yang jernih dan dihiasi air mancur berbentuk kelopak bunga memang sangat khas Taman Sari.
Tidak mengherankan, bila siapa saja yang berkunjung akan terkagum-kagum dengan keindahan tempat ini. Dan bagian ini pula yang hingga saat ini masih terjaga dan sempurna keutuhannya walau kompleks Taman Sari sendiri sudah mengalami banyak cobaan dalam sejarahnya yang panjang.
Menurut cerita Taman Sari sendiri telah mengalami beberapa kali gempa besar, yang pertama kali melanda adalah pada September 1803 yang menyebabkan keretakan sehingga air di sini menjadi kering karena rembes. Selain itu Taman Sari juga mengalami kerusakan cukup parah saat serangan Inggris ke Yogya pada 1812. Dan yang paling parah adalah ketika gempa melanda Yogya pada Juni 1867 yang meruntuhkan Tugu Golong Gilig.
Selain bagian utama Taman Sari, masih ada beberapa tempat lagi yang menarik di kompleks ini, salah satunya adalah Masjid Bawah Tanah yang disebut Sumur Gumuling. Untuk menuju ke sana, kami harus melalui gang sempit di antara pemukiman penduduk dan kemudian memasuki terowongan Bawah tanah.
Bangunan sumur Gumuling ini sangat menarik karena berbentuk cincin dan memiliki 4 buah anak tangga untuk naik ke sebuah pelataran berbentuk bulat dan kemudian sebuah anak tangga untuk naik ke lantai atas yang juga berbentuk bulan dan dilengkapi banyak jendela kecil untuk ventilasi. Konon masjid ini juga memiliki sistem akustik yang sangat baik sehingga tidak memerlukan pengeras suara.
Pada kunjungan terakhir, dari pintu masuk saya berjalan sendiri melewati perkampungan dan kemudian sampai di sisi luar Sumur Gumuling. Di sini sebuah spanduk yang menceritakan sekilas mengenai tempat ini. Dan dari jendelanya saya bisa mengintip ke bagian dalam. Terasa unik karena sebelumnya pernah berada di dalam dan mengintip ke luar. Di dekat sini juga masih banyak bagian bangunan yang antik seperti sebuah sudut bangunan yang berbentuk silinder.
Pagi itu saya juga sempat melihat pintu masuk menuju ke Sumur Gumuling yang masih ditutup dan sebuah papan informasi mengenai Situs Cagar budaya. Dan kemudian berjalan di antara rumah-rumah penduduk sambil melihat deretan atap berbentuk tajug yang merupakan sisa-sisa kejayaan kompleks Taman Sari.
Salah satu tempat lain yang juga pernah dikunjungi baik dari dalam atau luar adalah bangunan bernama Pulo Kenanga yang saat ini tinggal ttersisa reruntuhannya saja. Walau pun begitu reruntuhan ini terasa masih sangat megah dan terlihat berlantai dua walau Sebagian besar sudah tidak beratap.
Di sini saya sempat melihat deretan tembok, sebagian atap, dan juga pintu dengan hiasan berbentuk relief dan ukiran dengan motif flora dan bunga yang memberikan kesan magis serta penuh misteri. Walaupun begitu pesona keindahannya todak pernah sirna ditelan zaman.
Dari sudut yang lain, masih bisa disaksikan Sebagian atap dengan tembok warna putih dan juga jendela-jendela berjeruji besi yang ironisnya saling tumpeng tindih dengan atap dan tembok rumah-rumah penduduk. Sebagian lagi masih ada sisa-sia tembok kompleks ini lengkap dengan pintu dan lengkungan yang khas.
Bahkan kalau kita lihat dari Pasar Ngasem, Sebagian besar bangunan Pulo Kenanga atau kadang disebut pula Polo Cemeti masih tambah berdiri gagah dan tinggi walau di Sebagian tempat anak tangga dan tembok serta pintu gerbang bangunan berimpitan dengan beranda dan atap rumah. Konon sejak sebagian besar Taman sari runtuh.
Taman Sari, dari masa ke masa.