KMAB37
Apakah penduduk yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 2030 harus ‘dilenyapkan’ agar pada tahun 2030 semua penduduk tidak ada yang mengidap HIV/AIDS?
Oleh: Syaiful W. Harahap
“Menkes Optimistis, Tahun 2030 Indonesia Bebas HIV/AIDS.” Ini judul berita di liputan6.com (5/8-2014).
Alasan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, optimistis Indonesia bebas HIV/AIDS pada 2030 berdasarkan perkembangan yang baik atas upaya pemerintah dalam menekan kasus HIV/AIDS. Juga didasari upaya-upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia, seperti tenaga konseling dan tes HIV yang banyak di sejumlah puskesmas yang tersebar di Indonesia.
Yang perlu diingat adalah bahwa bebas HIV/AIDS artinya tidak satupun penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS. Maka, pertanyaannya adalah:
(1) Bagaimana cara yang akan dilakukan untuk membuktikan semua penduduk Indonesia, diperkirakan tahun 2030 mendekati 300.000.000 jiwa, tidak ada yang mengidap HIV/AIDS?
Tentu saja sangat tidak mungkin melakukan tes HIV terhadap 300.000.000 penduduk Indoensia pada tahun 2030.
Katakanlah pada tahun 2030 semua penduduk menjalani tes HIV dan hasilnya negatif, dengan catatan penduduk yang mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030, maaf, ‘dilenyapkan’, apakah kondisi tsb. akan terus bertahan setelah tahun 2030?
Tentu saja tidak karena tes HIV bukan vaksin HIV. Artinya, biar pun di tahun 2030 hasil tes menunjukkan negatif bisa saja ybs. tertular setelah tes HIV melalui perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV.
Insiden infeksi HIV baru pada rentang waktu 2014-2030 akan terus terjadi al. pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata di lokasi atau lokalisasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata yang beroperasi di luar lokasi pelacuran).
Soalnya, sama sekali tidak ada cara-cara yang konkret dijalankan pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Itu artinya insiden infeksi HIV akan terus terjadi. Celakanya, tidak semua laki-laki yang tertular HIV terdeteksi sehingga mereka menularkan HIV ke orang lain tanpa mereka sadari karena mereka pun tidak menyadari bahwa mereka sudah tertular HIV.
Bagi laki-laki yang beristri akan menularkan ke istrinya. Kalau istrinya lebih dari satu, maka kian banyak perempuan yang tertular HIV. Selain ke istri laki-laki juga akan menularkan HIV ke PSK, selingkuhan, pacar bahkan ke sesama laki-laki dalam bentuk LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).
Baca juga: Fenomena Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki (LSL) dalam Epidemi AIDS di Indonesia
(2) Bagaimana nasib penduduk yang mengidap HIV/AIDS sebelum tahun 2030 agar di tahun 2030 mereka tidak lagi sebagai penduduk Indonesia yang mengidap HIV/AIDS?
Dalam gambar bisa disimak insiden penularan yang terjadi sebelum tahun 2014 dan pada tahun 2014 pada mereka yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pada rentang waktu tahun 2014-2030.
Insiden infeksi yang terjadi pada rentang waktu tahun 2014-2030 tentulah akan menjadi kasus HIV/AIDS pada tahun 2030.
Apakah negara, dalam hal ini pemerintah RI, kemudian melakukan tes HIV massal dan contact tracing terhadap semua penduduk?
Baca juga: Mewujudkan Perlindungan Hukum dan HAM bagi Odha
Maka, yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maaf, ‘dihabisi’, agar tidak tercatat atau terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
Sedangkan penduduk yang tidak mengidap HIV/AIDS dikarantina agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular HIV.
Hanya ini cara yang bisa dilakukan agar pada tahun 2030 tidak ada lagi penduduk yang mengidap HIV/AIDS.
Itu artinya pemerintah harus merancang UU tentang: (1) Yang mewajibkan setiap orang menjalani tes HIV pada tahun 2030, (2) Yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030 dibunuh, dan (3) Yang tidak mengidap HIV/AIDS pada tahun 2030 dikarantina.
Terlepas dari apakah UU itu melanggar hak asasi manusia (HAM) yang jelas hanya tiga langkah itu saja yang bisa membuat agar tidak ada penduduk Indonesia yang mengidap HIV/ADIS pada tahun 2030.
Padahal, fakta menunjukkan yang bisa dilakukan secara konkret dengan hasil yang bisa diukur dan sudah dibuktikan di beberapa negara, seperti Thailand, adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Program yang bisa dilakukan untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK adalah: ‘Program wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ketika melakukkan hubungan seksual dengan PSK.
Program itu hanya bisa efektif jika pelacuran dilokalisir sehingga bisa dijalankan intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, di Indonesia pelacuran tidak dilokalisir sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti cewek kafe, cewek diskotek, cewek pub, ABG, mahasiswi, cewek gratifikasi seks, dll.
Baca juga: Gratifikasi Seks (Akan) Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia
Di Surabaya, misalnya, belum lama ini terbongkar sindikat pelacuran kelas atas yang melibatkan cewek-cewek yang tinggal di apartemen mewah dan hanya mau ‘berlaga’ di hotel berbintang lima dengan tarif Rp 5 juta – Rp 10 juta.
Itu artinya intervensi tidak bisa dijalankan sehingga insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.
Maka, adalah hal yang mustahil di tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS. (Sumber: Kompasiana, 6/8-2014). *