Hari sekitar pukul lima sore ketika saya melangkahkan kaki di pusat kota Wellington yang cukup ramai dengan orang-orang yang bersiap-siap menutup kantor dan toko-toko. Mereka pun banyak yang mulai menunggu bus untuk kembali ke rumah-masing-masing. Karena itu bus no. 2 tujuan Miramar yang biasa nya sepi, sore itu cukup ramai.
Dengan rapi, satu demi satu penumpang naik ke bus berwarna kuning dengan tulisan Go Wellington berwarna hitam di bagian belakang tubuhnya yang besar. Sebagian besar membayar dengan snapper card, semacam kartu prabayar yang bisa digunakan untuk membayar kendaraan umum dan outlet-outlet lain di sekitar Wellington. Namun ada juga yang membayar dengan uang tunai, sehingga mereka harus menyebutkan tujuannya untuk menentukan berapa ongkos yang harus dibayar.
“Kilbirne”, demikian saya menyebutkan tujuan saya kepada pengemudi sambil menyerahkan uang 5 dollar. Sang sopir menekan angka dua di mesin dan secara otomatis keluar tiket yang menyebutkan angka 3.50 Dollar. Sopir memberikan kembalian 1.50 Dollar, dan saya mengambil sendiri tiket yang keluar dari mesin.
Bus segera meninggalkan pusat kota menuju bagian barat kota Wellington. Bahkan bus ini pun melewati sebuah terowongan di bawah Mount Victoria yang hanya cukup untuk satu bus dan memang hanya diperuntukkan untuk bus juga. Tidak berapa lama , bus pun tiba di kawasan Kilbirne. Tepat di perapatan Bay Road, dan Rotongai Street, saya turun. Kemudian menyusuri Bay Road.
Dari kejauhan, tepat di belakang sebuah pompa bensin, sudah kelihatan sebuah masjid dengan menaranya yang berwarna putih dan biru. Tampak juga kelihatan dua buah kubah kecil yang berwarna putih. Saya berjalan perlahan menuju pintu masuk. Di pagarnya yang dicat berwarna biru muda terdapat angka 7-11 yang menunjukkan alamat kompleks ini di Queens Drive no 7 sd 11. Alias mengambil tiga buah kapling tanah. Di pagar ini juga tergantung sebuah papan petunjuk arah “Federation of Islamic Association of New Zealand atau FIANZ demikian tertulis di papan berwarna hijau putih itu.
Saya pun menaiki beberapa anak tangga yang terbuat dari keramik warna merah bata menuju ke pintu utama masjid yang selalu terbuka dan terbuat dari kaca. Memasuki ruang beranda, terdapat dua buah rak sepatu di kiri kanan pintu. Sebuah kertas pengumuman menyarankan pengunjung untuk menyimpan sepatu di dalam rak.
Setelah melepas sepatu, saya pun memasuki ruang utama melewati koridor sambil mencari tempat wudu. Di sebelah kanan terdapat sebuah kantor dimana terlihat dari pintu kaca seseorang sedang duduk di dalam. Saya pun mengetuk pintu sambil mengucapkan “Assalamualaikum”. Seorang pria berjanggut lebat, berusia lima puluh tahunan, dan mengenakan pakaian gamis berwarna putih segera menjawab salam saya. Ketika saya menanyakan tempat wudu, dia pun segera keluar dan menunjukkan jalannya ke saya yaitu di lantai bawah dimana saya harus menuruni anak tangga.
Di lantai bawah itu terdapat tempat wudu dan kamar mandi yang terpisah , terlihat keadaannya cukup rapi, bersih dan terawat.
Memasuki ruang sholat , yang dibedakan untuk wanita dan pria terlihat luasnya cukup untuk menampung sekitar 400 orang. Hamparan sajadah berwarna merah tua berjejer rapi. Uniknya ruangan yang berbentuk segi empat ini dindingnya tidak sejajar dengan barisan sajadah . Rupanya arah kiblatnya agak sedikit miring dibandingkan dengan batas dinding.
Dinding ruangan sholat ini bagian bawahnya ditutupi dengan parket dari kayu yang dipelitur warna coklat tua. Sedangkan bagian atasnya dicat wana krem. Ketiga sisi luar dinding atasnya terbuat dari kaca yang kebetulan sebagian terbuka dan sebagian lagi ditutup oleh gorden berwarna hijau.
Tidak ada seorang pun di dalam masjid kala itu, karena waktu Ashar memang sudah lewat sedangkan magrib masih sekitar satu setengah jam lagi. Saya perhatikan seluruh bagian masjid. Di dindingnya terdapat beberapa rak buku berisi Al Quran. Sementara di dinding dalam terdapat beberapa hiasan kaligrafi ayat-ayat pendek, jam, dan juga petunjuk waktu sholat fardhu.
Masjid ini tidak mempunyai mihrab, namun sebuah mimbar dari kayu berwarna coklat tua terlihat manis sekali. Ada tiga buah anak tangga dan sebuah kursi kayu terletak di atas mimbar. Rupanya tempat khotib duduk sewaktu memberikan ceramah pada setiap sholat Jumat.
Setelah selesai sholat, saya sempatkan melihat ruangan lain yang ada di masjid ini, ternyata ada juga sebuah ruangan besar yang tampaknya berfungsi sebagai perpustakaan atau juga ruang pertemuan. Saya kembali ke kantor untuk menemui pria tadi, ternyata kantornya dalam keadaan kosong sehingga saya kembali ke beranda.
Saya perhatikan lagi beranda ini, ternyata ada sebuah papan pengumuman. Selain itu di sebuah sudutnya terdapat beberapa brosur yang isinya merupakan keterangan tentang Islam dalam Bahasa Inggris. Yang menarik sebuah brosur berwarna hijau, selain menerangkan tentang Islam, juga sekilas mengulas tentang sejarah masuknya Islam ke negeri Kiwi ini.
Menurut brosur tadi Islam pertama kali masuk ke NZ pada tahun 1874 ketika beberapa orang Cina yang bekerja sebagai pekerja tambang emas datang ke Dunston di Pulau Selatan. Fakta sejarah ini tercatat pada sensus pemerintah NZ pada April tahun 1874. Sampai pada tahun 1950, tercatat baru 150 orang muslim di seluruh New Zealand. Perkembangan Islam sendiri mulai marak pada tahun 1970 an dan pada sensus tahun 2006 tercatat sekitar 37 ribu orang muslim di New Zealand yang berasal dari lebih 40 negara termasuk sekitar 3000 orang dari Eropa.
Ketika selesai membaca brosur ini dan bersiap-siap meninggalkan masjid, seorang jemaah yang tampaknya berasal dari Timur tengah pun masuk dan mengucapkan salam kepada saya. Sambil menjawab salamnya saya pun segera meninggalkan masjid yang terletak di ibukota negara New Zealand ini.
Kunjungan singkat ini , memberikan sebuah dimensi baru tentang keberadaan Islam di New Zealand.