Redundant 6: Jangan Tunda Kebaikan
Oleh Erry Yulia Siahaan
Pada sebuah status WhatsApp (WA) yang saya akses kemarin, seorang kerabat (sebut saja Ani) memperlihatkan lewat foto betapa dia bergirang hati mendapatkan sepatu baru pemberian tiga orang temannya. Sepatu merk Crocs itu diabadikannya sudah terpasang pada kedua kakinya. Melihat harganya pada label, saya terpana. Hampir satu setengah juta rupiah harganya. Saya seakan tak percaya, ketika berikutnya saya tahu, mereka juga memberikan sebuah kursi roda untuk Ani, hari itu juga, hari kedua Ani masuk kerja, setelah sempat beristirahat di rumah cukup lama.
Pagi hari ini, seorang kerabat yang lain (sebut saja Bona) bercerita. Bona mengaku menyesal bahwa suatu kali dia pernah menolak permintaan seorang temannya, untuk meminjamkannya uang sebesar Rp 1 juta. Bona berpikir, wah nanti bagaimana dia akan bisa membayarnya. Temannya itu memang hidup pas-pasan. Tak lama setelah itu, Bona mengalami kejadian tragis. Dia dihipnotis. Puluhan juta uangnya habis. Bona kemudian teringat kejadian di mana dia menolak pinjaman temannya itu. Bona menyesalinya. Bahkan, hingga saat ini.
(Saya langsung terkoneksi dengan sebuah foto kiriman seorang teman tadi pagi melalui WA. Foto itu tentang seorang warga di Turki, pemilik 33 apartemen yang rusak akibat gempa bumi hebat di sana baru-baru ini. Laki-laki tua itu tengah memegang roti dengan wajahnya yang kelihatan sedih. Hanya dibutuhkan sekitar 17 detik untuk mengubah statusnya dari seorang kaya pemilik 33 bangunan menjadi seorang survivor yang kini mengandalkan roti dari sukarelawan dan mencari tempat penampungan untuk kelangsungan hidupnya.)
Hari ini juga, pagi-pagi, saya membaca cerita kiriman seorang teman. Tentang seorang gadis kecil, sebut saja Ale, yang menyesali kepergian kakeknya sebelum Ale sempat berkunjung untuk yang terakhir kali. Ale mengikatkan surat yang ditulisnya pada sebuah balon helium, lalu menerbangkannya ke langit. Ale berharap, surat itu sampai kepada kakeknya. “Untuk kakek, di surga.” Begitu tulisan Ale, berharap si kakek membacanya.
Ada juga kisah lain, tentang seorang perempuan (sebut saja Rinu) yang menyesali keputusannya untuk memilih naik panggung ketimbang menemani kakak yang dicintainya pada hari terakhir hidupnya. Kakaknya itu sudah puluhan tahun sakit. Sudah stroke, rutin menjalani cuci darah beberapa tahun terakhir.
Rinu yang sudah berkeluarga hampir tiap hari tinggal dan menginap di rumah kakaknya yang tidak menikah itu, untuk membantu merawat. Tentu akan berbeda jika dia sendiri yang ikut merawat ketimbang cuma perawat yang digaji, pikir Rinu. Bertahun-tahun berlalu, hingga suatu malam, saat Rinu akan pulang, kakaknya bertanya, “Tidak bermalam saja, Dik?”
Rinu mengatakan, dia harus pulang, untuk mempersiapkan keperluan untuk besok. Dia dan rombongan sudah dijadwalkan untuk gladi resik sekaligus mengisi panggung acara Natal yang bakal dihadiri oleh Presiden. “Nggak enak sama teman-teman,” kata Rinu. Rinu merasa yakin, kakaknya akan baik-baik saja. Apalagi ketika menanyakan itu, kakaknya masih bisa duduk, kendati lemah seperti biasa.
Besoknya, malam hari usai pentas, suaminya memberikan handphone yang seharian dititipkan. Rinu membaca pesan dalam handphone itu. Kakaknya baru saja meninggal.
Rinu sangat menyesal. Rinu tidak sempat mengucapkan selamat jalan. Rinu tidak sempat meminta maaf. Rinu tidak ada di sana pada saat-saat terakhir hidup kakaknya, padahal itu yang selama ini dia niatkan.
Benang Merah
Ada benang merah dari kisah-kisah nyata tersebut: kebaikan. Pada kisah pertama, kebaikan itu hadir tepat pada saat dibutuhkan, meski tidak diminta. Indah luar biasa. Buat tiga kisah terakhir (Bona, Ale, Rinu), nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah terjadi. Yang tinggal adalah kerinduan untuk membalikkan kenyataan.
Dalam diskusi rohani pagi ini di gereja, seorang teman mengatakan, jangan pernah menunda untuk melakukan kebaikan, sebelum akhirnya kita menyesalinya karena kesempatan itu tidak akan terulang. Kebaikan itu tidak mesti berupa uang, tapi bisa berupa hal-hal yang mungkin oleh kebanyakan orang dianggap sebagai hal sepele. Misalnya, perhatian, alokasi waktu untuk pendampingan bagi yang sakit, membantu melakukan hal-hal kecil yang bisa membuat seseorang merasa senang dan nyaman, merasa tidak sendirian, merasa tidak ditinggalkan.
Hal ini juga tertuang dalam Firman dan renungan yang dibagikan dalam WA tim pendoa syafaat di gereja. Dalam 1 Tesalonika 2 ayat 17-20 dan 1 Tesalonika 3 ayat 11-13. Nats ini menjadi pengingat bagi saya dan teman-teman tentang bagaimana sikap hati kita terhadap orang-orang yang kita kasihi yang masih hidup. Dalam renungan dikatakan, “Kematian dan kekekalan dapat menolong kita untuk memiliki pandangan yang benar. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Tesalonika, Paulus menulis sebagai orang yang tahu betul nilai kekal dari suatu hubungan. Ia mengungkapkan kasihnya yang mendalam dan mendorong mereka untuk bertambah-tambah dalam kasih, seorang terhadap yang lain (3:12).”
Mungkin sulit menerima bahwa pada masa sekarang masih ada bantuan seperti yang diperoleh Ani. Bantuan tanpa pamrih, tanpa diminta, sukarela, dalam jumlah besar. Bisa dibayangkan bagaimana sukahatinya Ani karenanya. Betapa saya tidak terpana membaca status WA-nya. Betapa hal itu ternyata telah mengobarkan semangat bagi Ani untuk berangkat kerja, kendati sebenarnya Ani harus berjuang melawan sakitnya. Belum lagi ongkos ke kantor pergi-pulang, karena harus naik mobil sewaan.
Pertanyaannya, mengapa hal seperti bantuan untuk Ani itu makin sulit ditemukan sekarang ini?
Kasih yang Dingin
Bukan suatu kebetulan. Puji Tuhan. Belum lama ini, dalam sebuah diskusi di rumah besar keluarga, yang berlanjut melalui chat WA, saya mendapatkan nats dari adik saya, mengenai tanda-tanda akhir zaman. Ayat ini saya bagikan dalam pertemuan di tim doa tadi pagi. Intinya mengenai kasih yang menjadi dingin.
Matius 24 ayat 12 mengatakan, “Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin.”
Selanjutnya, 2 Timotius 3 ayat 1 sampai 9 tentang “Keadaan manusia pada akhir zaman”. Disebutkan di sana bahwa manusia akan “mencintai dirinya sendiri”, “menjadi hamba uang”, “membual dan menyombongkan diri”, “menjadi pemfitnah”, “berontak terhadap orang tua”, “tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama”, “tidak tahu mengasihi”, “tidak mau berdamai”, dan “suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.” Selanjutnya, “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya.”
Bisa dipahami, kasih yang dingin itu tidak sekadar kasih dalam artian memberi uang atau sumbangan. Tapi lebih luas daripada itu. Bahkan, menyentuh hal-hal yang dalam keseharian acapkali kita anggap hal kecil, dan membuat kita terlarut dan seperti susah melepaskan diri sangking sudah menjadi kebiasaan. Misalnya, bergosip, menghasut orang untuk ikut membenci orang lain, berbohong, bicara kotor, marah, dan sebagainya.
Berapa jam waktu kita dalam sehari untuk terjaga dalam kekudusan? Dalam keadaan menjaga relasi dengan Tuhan, dengan kesadaran bahwa Dia memperhatikan kita dan tidak ingin kita berbuat hal-hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh orang-orang yang mengaku mengenal-Nya?
Kita tidak tahu apa yang ada di depan kita. Gempa bumi di Cianjur, di Turki, dan lain tempat hanyalah sebagian kisah yang memberikan kita pelajaran mengenai pentingnya tidak menunda kebaikan semasa kita masih hidup dan masih mampu.
Tidak ada yang abadi di dunia ini. Rendah hati, saling menghargai, bersyukur pada Tuhan, tidak menunda kebaikan, semoga boleh membawa kita pada hidup yang minim penyesalan. Semoga Tuhan menolong kita untuk menyatakan kasih kepada orang lain sebelum terlambat, sebelum kerinduan itu cuma tinggal angan-angan. Amin.
Catatan:
Puji Tuhan. Sekali lagi bukan kebetulan.
Redundansi mengenai pesan kebaikan juga hadir di rumah saya dalam ibadah pagi ini. Dua nats, yakni pada bagian Pengantar Ibadah dan Bacaan Alkitab, mengingatkan hal yang seirama dengan hal di atas. Mazmur 107 ayat 8-9 mengingatkan saya untuk berpusat pada Allah sebagai sumber kekayaan sejati. Sebab, Dia-lah yang memuaskan jiwa yang dahaga dan mengenyangkan yang lapar dengan kebaikan. Kisah Para Rasul 20 ayat 35 mengingatkan bahwa kita harus membantu orang-orang yang lemah. Dalam Pengantar untuk Renungan dikatakan, kebahagiaan kita tidaklah tergantung kepada apa yang kita miliki, tetapi pada kerelaan kita untuk membagikan apa yang kita miliki.
****