Kabut Kehidupanku (3)

 “Alhamdulillah, usaha kita baik – baik saja sekarang Ayah sudah punya orang kepercayaan sehingga Ayah tidak perlu sering – sering melihatnya. Ayah hanya fokus dengan usaha kita disini saja.” ucapan Ayah membuat wajah Ibu berubah, aku bersyukur dalam hati.

“Yah, jangan terlalu percaya dengan orang  lain, takutnya nanti kita malah rugi.” Ibu masih bersikeras supaya Ayah tetap selalu pergi dari rumah.

“Ibu sepertinya tidak suka Ayah dirumah.”

“Bukan begitu Yah, Ayah sudah bersusah payah membangun usaha Ayah. Ibu hanya tidak mau Ayah ditipu saja.” Suara ibu diplomatis.

“Insyaallah bu, sudah dari Dinda tamat SD Ayah selalu meninggalkan Ibu dan Dinda, sekarang masanya Ayah menemani kalian berdua. Kita akan bersama menikmati jerih payah Ayah selama ini.” Ucapan Ayah membuatku menitiskan airmata.

“Anak Ayah jangan menangis.”

“Ibu seharusnya seperti Dinda terharu dengan keputusan Ayah.” Ibu salah tingkah dengan ucapan Ayah.

“Yah, boleh Ibu mencari pembantu?”

“Boleh pendapatan Ayah cukup untuk mengaji pembantu. Terima kasih sudah membantu Ayah merawat Dindan dan rumah kita.”

“Terima kasih Yah.” Terlalu selama ini aku yang mengerjakan pekerjaan rumah batin Dinda.

“Azan magrib sudah terdengar kita sholat berjamah dulu.”

Aku, Ayah dan ibu beranjak dari duduk kami mengambil wudhu dan melaksanakan kewajiban sebagai umat yang beragama.

***

Sudah sebulan Ayah dirumah, jika Ayah pergi keluar Ibu pasti akan membuatku mengerjakan pekerjaan rumah padahal kami sudah punya pembantu. Sepertinya Ibu tidak senang jika aku fokus dengan pelajarannku.

Seperti pagi minggu ini, Ayah pamit untuk mengunjungi usahan diluar kota selama 2 hari. suara mobil Ayah masih terdengar tapi Ibu sudah memerintahku

“Bik, bibik boleh pulang besok baru datang.” Aku hanya memandang Ibu tak mengerti

“Tapi saya belum siap mencuci dan memasak nyonya.” Pulang saja, nanti Dinda yang akan mengerjakannya.

“Bu”

“Kenapa, tidak suka, sudah  lamakan kamu tidak mengerjakan pekerjaan rumah mau gemuk kamu.” Tanpa bersalah Ibu mengucapkan itu,

Setelah mengatakan itu Ibu berlalu meninggalkan aku sendiri di ruang tamu, aku menutup pintu depan terus berjalan menuju dapur. Nasib, jika Ayah pergi aku akan menjadi upik abu seperti cerita Cinderella saja batinku.

***

Sudah dari pagi aku mencuci dan baru saja aku selesai memasak untuk makan siang, Ibu sibuk menonton dan sesekali aku mendengar tawa dan kritikannya jika tontonanya membuat dia geli atau marah.

“Bu, makan siang sudah siap.” Panggilku untuk mengajak ibu makan.

Perutku dari tadi sudah keroncongan belum di isi dari pagi,

“Bawakan makanan ke sini saja.” Perintah Ibu

Aku membawakan makanan ibu di dalam mampan bersama es tehnya.

“Jangan makan , seterika baju dulu.”

“Tapi Dinda lapar bu dari pagi belum makan apa – apa.”

“Tahan sebentar, kan sudah lama kau makan enak dan tepat waktu.”

“Maksud Ibu?’

“Jangan pura – pura bodoh, sana sterika baju.” Ibu mengusir aku dari hadapannya

“Awas kalau kamu makan ya.” Ibu masih saja mengancam aku sebelum aku pergi meninggalkannya.

Percuma aku membantah Ibu, anggap saja aku bersyukur selama 1 bulan Ayah dirumah aku bisa santi toh 2 hari saja Ayah pergi pikirku. Aku berjalan keruangan dekat dapur yang biasa digunakan untuk menyeterika baju.

Tiba – tiba bahuku dipukul seseorang

“Ayah, kok sudah pulang?” aku tidak percaya Ayah ada dihadapanku.

“Kamu lagi ngapain Din, mana bibik?

“Bidik pulang Yah.”

“Kok pulang, pekerjaannya kenapa kamu yang melakukannya?”

“Ayah kenapa udah pulang? Aku bertanya lagi kepada Ayah

“Mobil Ayah mogok, jadi Ayah tidak bisa melanjutkan perjalan. Ayah mengucapkan salam tapi tidak ada yang menjawab, jadi Ayah teus saja ke dapur.

“Mana Ibumu, Ayah tidak melihatnya.”

“Ibu pamit keluar sebentar katanya bertemu teman.” Aku menjawab pertanyaan Ayah

“Siapa yang masak makan siang?”

“Dinda Yah, Ayah lapar biar Dinda siapkan makan siang untuk Ayah. Dinda juga belum makan.” Ups aku menutup mulutku, aku keceplosan bicara

“Kenapa dinda belum makan, sudah jam 3 sore Din!” ayah menatapku tidak percaya

Aku tidak menjawab pertanyaan Ayah. Ayah menarikku keluar dari ruangan menyeterika dan membawaku keruang makan. Aku duduk pada salah satu kursi dan Ayah mengambilkan nasi beserta lauk untuknya dan untukku. Ayah menyodorka makanan untukku

“Makan, kita makan bersama” aku terharu mendengar perkataan Ayah tanpa tersadar aku meneteskan Air mata.(Bersambung)

Tinggalkan Balasan