Christchurch, merupakan kota terbesar di South Island dan dapat ditempuh hanya dengan terbang sekitar 45 menit dari ibukota Selandia Baru, Wellington. Kota ini, merupakan salah satu ikon wisata dan menjadi basis wisatawan dalam menyusuri keindahan alam di Pulau Selatan ini.
Namun gempa besar yang meluluhlantakkan kota Christchurch, pada September 2010 dan juga 22 Februari 2011 memang membuat kota ini , seperti juga sebagian besar kehidupan penduduknya mengalami perubahan besar. Bahkan sampai setahun kemudian.
“Ayo kita wisata gempa”, demikian ajakan teman saya yang sudah hampir 10 tahun tinggal di kota yang disebut juga “Garden City” ini. Sementara mobil Honda Oddessy nya melaju di sepinya jalan-jalan di kota Christchurch, sebuah tugu bertuliskan “Haere Mae Welcome to Christchurch the Garden City” menyambut kedatangan saya di pagi yang dingin itu. Suhu menunjukkan delapan derajat di akhir bulan Maret ini.
Tujuan pertama kita adalah daerah pusat kota Christchurch yang paling parah dilanda gempa. Daerah yang disebut CBD atau “Central Business District” ini dulunya merupkan jantung ekonomi, pemerintahan, dan juga wisata kota ini. Namun semenjak gempa besar kedua pada Februari 2011 lalu, kota ini seakan-akan menjadi “ghost town”.
Hampir 200 orang meninggal dan ribuan bangunan runtuh atau pun rusak di kota ini. Kami memarkirkan mobil di sebuah tempat parkir berupa lapangan terbuka yang dulunya merupakan bangunan yang sekarang telah diruntuhkan. Dengan berjalan kaki, sebuah tugu di dekat jembatan menarik perhatian saya. “Bridge of Remembrance”, demikian nama tugu tersebut yang konon dibangun untuk memperingati mereka yang bertempur di Perang Dunia I . Tugu ini kebetulan tepat berada di Jembatan yang terletak di atas Sungai Avon yang airnya tampak sangat jernih dan bersih.
Untuk membuat daerah CBD ini sedikit hidup kembali, maka sebuah mal yang terbuat dari kumpulan kontainer mulai dibuka kembali. Namanya cukup keren yaitu City Mal. Di kawasan ini, terdapat toko-toko, kafe, dan juga bank yang semuanya terbuat dari peti kemas yang dicat berwarna-warni. Sementara di jalan raya, masih sempat saya lihat jalur trem yang sebelum gempa menjadi kebanggaan penduduk Christchurch.
Penggunaan peti kemas ini, dianggap sangat praktis, karena dianggap cukup murah dan yang penting anti gempa. Kami terus berjalan mengeliling daerah yang sekarang disebut “red zone”, atau kawasan yang sama sekali tidak boleh dikunjungi kecuali oleh mereka yang berkepentingan merenovasi atau pun menghancurkan gedung-gedung yang rusak atau menjadi tidak aman karena gempa. Tulisan “danger” bertebaran di seluruh kawasan, dan penjagaan juga cukup ketat.
Di setiap pintu jalan masuk, ada pos yang dijaga oleh petugas berseragam tentara, Namun mereka tetap ramah dan tersenyum ketika diajak berfoto bersama. Di dalam kawasan itu, terlihat bangunan baik, apartemen, perkantoran, hotel, gereja, dan bangunan tua lainnya yang tampak kosong. Sebagian sedang dihancurkan, sebagian lagi tampak mulai direnovasi.
Salah satu bangunan yang terkenal adalah Katedral Christchurch yang mengalami kerusakan cukup parah. Menurut ahli, katedral ini sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan sehingga harus diruntuhkan sama sekali, namun para pecinta bangunan bersejarah masih berteriak lantang untuk menyelamatkan bangunan bersejarah ini. Saya juga sempat melihat beberapa hotel megah yang menjulang tinggi, namun tampak kosong. Walaupun sebagian bangunan tersebut telah diperiksa dan kemudian dinyatakan aman. Namun karena terletak di dalam red zone, akhir tetap tidak dapat digunakan sampai seluruh kawasan dinyatakan aman. Tidak jauh dari kawasan “red zone” terdapat Gedung “Christchurh Art Gallery” atau Te Puna O Waiwhetu . Di pintu Gedung modern yang dindingnya terbuat dari kaca ini sama sekali tidak rusak karena gempa. Sebuah sertifikat berwarna hijau yang dikeluarkan olehChristchurch City Council menyatakan bahwa gedung ini aman baik interior maupun eksteriornya. Namun karena di kawasan ini, masih banyak gedung yang telah runtuh, maka Art Gallery ini pun tutup.
Sementara itu, terlihat juga beberapa buah bis berisi turis yang memang sengaja berkunjung ke pusat kota Christchurch ini untuk melihat dampak yang diakibatkan oleh gempa bumi tadi. Kemudian kami kembali ke kendaraan dan segera meluncur ke kawasan Lytelton yang konon menjadi pusat gempa atau ground zero pada Februari 2012 yang meluluhlantakkan Christchurch ini.
Di sini terapat sebuah bangunan yang sudah sama sekali runtuh dan lahannya sekarang digunakan sebagai sebuah taman terbuka. Terlihat beberapa buah meja dan kursi di tempat yang sekarang berfungsi menjadi tempat istirahat itu. Di kawasan ini juga masih banyak terdapat bangunan yang runtuh atau setengah runtuh. Masih di sekitar kawasan ini, juga terdapat rumah-rumah di atas bukit yang karena gempa menjadi longsor. Beberapa rumah terlihat seakan-akan bertengger nun jauh di atas bukit. Sementara jalan di bawah bukit tepat di tepi laut sekarang dipagari oleh barisan peti kemas untuk melindungi jalan tersebut dari longsoran batu dan tanah seandainya terjadi gempa lagi. Ironisnya, banyak sekali rumah-rumah mewah yang sekarang terlihat kosong dan tidak terawat.
“Ada orang yang pindah ke Australia karena takut gempa, tetapi malah meninggal karena banjir di sana” , demikian tambah teman saya sambil mengemudi balik menuju rumahnya yang terletak di dekat Bandara Internasional Christchurch.