Selepas berwisata ke tempat rawan gempa atau “red zone” di pusat kota atau CBD di Christchurch, dan sempat menikmati makan siang di rumah makan Meksiko yang lezat, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 13.30 siang waktu Christchurch. Kebetulan hari itu Jumat dan saatnya untuk melaksanakan sholat Jumat berjamaah.
Kendaraan kami meluncur menuju Dean Avenue di kawasan Riccarton yang terletak di bagian barat kota Christchurch. Tidak terlalu banyak kendaraan yang parkir sehingga mobil pun dapat diparkir di tepi jalan kira-kira 50 meter dari masjid. Dari jarak ini sudah kelihatan kubah keemasan dan menara masjid yang menjulang cukup tinggi.
Kami berjalan menuju pintu gerbang masjid, dan sebuah papan nama bertengger di pagar temboknya yang berwarna putih. Papan nama ini bercat hijau dengan tulisan Masjid Annur dalam Bahasa Arab dan Inggris berwarna kuning emas. Di bawahnya juga tertulis Canterbury Islamic Centre.
Kami kemudian memasuki halaman masjid yang cukup luas. Terlihat beberapa buah mobil, sepeda motor, dan juga sepeda diparkir dengan rapi. Masih tampak beberapa jemaah yang ada di halaman, walaupun sayup-sayup khotbah sudah terdengar. Memasuki ruangan masjid, kian jelas terdengar suara khotib sedang berkhotbah dalam Bahasa Inggris. Sementara ruang wudu untuk pria terdapat di sebelah kiri pintu masuk. Di dalam tempat wudhu ini, terletak sebuah kurung batang berwarna hijau,
Ruang masjid sendiri cukup luas dan jemaah cukup ramai walaupun tidak sampai penuh. Secara sekilas kebanyakan jemaah berasal dari Afrika dan Timur Tengah, Ada juga beberapa wajah Asia dan bahkan ras Kaukasus, bisa juga dari Eropa atau mungkin penduduk lokal Christchurch.
Hamparan sajadahnya yang berwarna biru yang cukup empuk . Saya menghitung jumlah saf, Ada sekitar enam atau tujuh saf jemaah. Sedangkan setiap saf nya memanjang cukup lebar sehingga bisa menampung lebih dari empat puluh orang. Secara kasar kapasitas masjid ini bisa menampung sekitar 250 sampai 300 orang. Dinding masjid didominasi dengan warna putih dan beberapa hiasan standar seperti kaligrafi dan jam waktu-waktu sholat.
Bagian depan masjid terdapat mihrab sederhana berbentuk relung khas masjid. Dinding nya terbuat dari kayu berwarna coklat muda, Mimbarnya juga dari kayu dengan warna coklat yang sama. Khotib terlihat berpakaian model barat biasa dan berkhotbah dengan bahasa yang halus dan berwibawa, Ternyata khotib kali ini bukan merupakan imam masjid ini yang kebetulan saat ini sedang tidak berada di Christchurch,Semakin mendekati waktu sholat,jemaah pun kian penuh. Sementara di barisan paling belakang ada juga jemaah yang sholat sambil duduk membawa kursi.
Ketika sholat usai, saya pun melihat-lihat lebih jauh keadaan masjid yang terbesar di Christchurch ini. Di bagian belakang ada ruangan sholat khusus untuk wanita. Dan di dinding juga terdapat beberapa pengumuman untuk jemaah masjid. Di antaranya ada sebuah pengumuman yang menghimbau jemaah untuk menyumbang perluasan masjid ini. Sementara sebuah kertas lain juga menghimbau sumbangan untuk pembangunan masjid di Timaru. Timaru sendiri merupakan sebuah kota kecil sekitar seratus kilometer di sebelah selatan Christchurch.Di beranda, dipamerkan beberapa bahan literatur tentang Islam dalam bahasa Inggris. Rupanya sebagai salah satu media dakwah. Hampir mirip dengan masjid yang ada di Kilbirne, Wellington.
“Saya tadi tidak sempat mendengar suara azan?” Tanya saya kepada teman saya tadi. Ternyata di Christchurh memang tidak ada suara azan di luar masjid karena azan hanya diperkenankan di dalam lingkungan masjid. Hal Ini mungkin bukan masalah sentimen keagamaan karena bahkan suara ayam jago di rumah kita sendiri pun tidak boleh seandainya mengganggu ketenangan tetangga atau umum.
Walaupun sholat telah cukup lama usai, suasana di halaman masjid bahkan makin ramai. Rupanya para jemaah saling bercakap-cakap dan bercerita tentang kejadian selama seminggu sebelumnya. Akhirnya kami pun sempat bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Singapura.
Tidak lama kemudian, terlihat dua orang “bule” berusia sekitar 50 tahunan pun keluar dari dalam masjid sambil membawa kursi. Saya pun diperkenalkan dengan mereka dan yang mengejutkan adalah mereka bercakap-cakap dengan saya menggunakan Bahasa Indonesia yang cukup lancar dan fasih. Ternyata mereka beristrikan orang Indonesia dan juga sempat tinggal di Indonesia sebelumnya.
Setelah puas melihat-lihat masjid yang dibangun sekitar tahun 1984-1985 dan pernah menjadi sebuah masjid yang terletak paling selatan di muka bumi ini, kami pun meninggalkan masjid Annur dengan sebuah pengalaman baru, yaitu melihat bule yang membawa kursi sendiri. Kebetulan pula mereka adalah bule yang bisa Bahasa Indonesia