Kepalaku terasa berat, sudah beberapa hari ini aku merasakan meriang yang membuat semua kerja ototku agak terganggu.
Menjadi abdi negera bukan berarti bisa duduk tenang menunggu gaji keluar di awal bulan, ada tanggung jawab yang harus dilakukan apalagi kerjaku melayani kepentingan masyarakat untuk mendidik anak bangsa.
Tanganku masih juga mengaduk ramuan tradisonal yang diajarkan oleh Emak untuk mengurangi rasa sakit pada kepala dan badanku.
Tinggal menuangkan sedikit madu yang bukan murah harganya, senyumku terbit mengingat bagaimana aku sering mengingatkan siswaku untuk menjaga kesehatan karena sehat itu mahal.
Jadi teringat dengan tulisanku pada salah satu media online yang tersedia sebagai orang yang tertutup aku lebih memilih untuk menulis guna melepas segala rasa yang menghimpit dada.
Ya sehat itu mahal, mengapa bisa mahal bu tanya salah satu siswaku ketika aku sedang berdiri di depan kelas memberikan materi tentang uang. Hanya selingan aku memberikan contoh sehat itu mahal karena untuk membeli kebutuhan sehat memerlukan uang, lucu juga mengkolaborasikan materi ekonomi dan biologi, batinku.
Melihat ramuan minuman telah tercampur baik, aku mengangkat gelas menuju mulutku sebelum meneguk aku membaca doa semoga saja minuman ini menjadi obat yang menghilangkan segala sakit di badanku.
***
Keringat dingin mulai menyerang ternyata ramuan obat dari Mak hanya bertahan selama tiga jam saja, jam tangan yang melingkar menunjukkan angka setengah sebelas aku duduk di kursi guru tidak sanggup untuk berkeliling kelas untuk memperhatikan mereka siswaku mengerjakan soal posttest untuk menguji kemampuan mereka tentang materi yang baru saja diajarkan.
Gelap hanya itu yang aku ingat setelah menghempaskan badan pada kursi guru, mengerjap mataku yang terasa berat tapi bau menyengat yang mengakar kuat dipenciumanku membuat aku tersadar.
Memandang sekitar ini bukan UKS Sekolah, ruangan UKS sudah aku hapal betul karena sebagai wali kelas selalu ada saja siswaku yang sakit, ya sakit dalam arti benar – benar sakit ataupun alasan mereka karena malas untuk belajar.
Tantangan kuat mengajar di tingkat menengah atas, harus bisa mencari celah membuat mereka ingin belajar di umur yang labil.
“Sudah sadar ternyata Bu Guru,” matapun menatap sosok berbaju putih yang entah kapan berdiri di sisi ranjang tempat aku berada.
“Adnan.” Ucapku spontan.
“Ah ternyata masih ingat denganku, Aku pikir Bu Guru lupa.” Senyum menghias wajah Adnan
“Mungkin Pak Dokter yang lupa denganku, buktinya manggil Bu Guru.” Ucapku lirih.
Ya, angkatan kami banyak yang menjadi orang hebat, hanya diriku yang mengabdi sebagai guru, entahlah dari kecil jika ditanya apa cita – citaku pasti jawaban tegas aku berikan menjadi guru.
“Indah, Indah masih seperti dulu terlalu merendah siapa yang bisa lupa dengan Indah Putri yang selalu menjadi sainganku di dalam kelas.” Ucapan Adnan yang membuat aku tersipu malu.
“Jangan bilang kesejahteran guru rendah sampai dirimu kekurangan gizi.” Malu aku mendengar ucapan Adnan.
“Aku kekurangan gizi.” Bertanya tak percaya
“Itu yang terdektesi.” Ucap Adnan diplomatis
“Sudah berapa anakmu Nan.” Aku mengalihkan pembicara, malu disebut kurang gizi walaupun itu yang aku alami.
“Menunggumu Indah.” Lagi – lagi Adnan membuatku malu(Bersambung)