Kuat dalam Diam (part 2)

Ujung rumahku sudah kelihatan, lelahku bertambah berharap amukan Emak tadi pagi tak berlarut sampai ke petang ini.

Langkah beberapa orang keluar dari rumahku membuat hatiku menjadi tak menentu, pendengaranku mendengar isak tangis Emak dari dalam.

Bergegas aku memakirkan sepadaku dengan asal, berlari menuju pintu dengan mengucap salam aku menerobos masuk, mencari keberadaan Emak.

“Berhenti sekolah, terima pinangan Pak Herman. Selesaikan semua masalah rumah ini.” Pekik Emak membebel bukan menjawab salamku.

Langkahku membatu, terasa berat untuk menghampiri Emak yang duduk tersimpuh dengan pembatas ruang tamu dan ruang tengah.

Ingus Emak sudah melebar kemana – mana dengan jilbab yang sudah macam kena badai tak terpasang sempurna di kepalanya.

“Orang dah  datang minta hutang, cepatlah kahwin. Biar tak pusing kepala Emak lagi.” Masih saja aku dengar racauan Emak tak berkesudahan.

Berlahan aku beranjak meninggalkan Emak sendiri dengan keluh kesahnya, perutku yang lapar tidak lagi aku hiraukan.

Suara azan Asar lebih menarik minatku, tepatnya ingin mengadu kepada-Nya.

***

“Ya Allah jika Abah masih hidup kembalikannya kepada Kami.” Doaku meminta kepada Allah.

Abah tidak akan pernah mengeluh dalam menghadapi masalah hidup, walaupun hidup pas – pasan tapi ketika ada Abah kami seakan lupa kalau hidup ini keras untuk orang yang kekurangan uang.

Emak seakan lupa bersyukur ketika Abah tak ada bersama kami, Uang komite dengan sengaja aku mengatakan digratiskan dari sekolah, padahal aku membayarnya dari honor menulisku.

Belum lagi setiap bulan segoni beras ukuran 50 Kg, gula 5 Kg. teh empat kotak serta minyak sebanyak 5 kg selalu aku hadiahkan untuk Emak dengan mengatakan ada orang dermawan berbaik hati kepada keluarga kami karena mengingat jasa Abah ketika masih bersama kami.

Emak tak pernah puas, selalu merasa kurang. Dan kekurangan ini disebabkan emak tak mau lagi mengambil cucian sebanyak dulu, alasan klise dah tua tak sanggup tulang empat keratnya bekerja keras.

Tapi kebiasan Emak untuk berhutang menjadi – jadi sejak Abah tak ada, ingin rasanya aku memarahi Emak tapi aku tak hendak durhaka.

Bagai makan sibuah simalakan, serba salah dengan tingkah Emak.

***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan