Kesusastraaan Di Indonesia Kini Ibarat Buah Simalakama     

Sosbud243 Dilihat

 

Kapankah kesusastraan di Indonesia bisa kembali go ke kancah international seperti karya Pramoedya Ananta Toer? Seorang sastrawan hebat yang karya-karya abadi hingga sekarang. Dunia pun mengakuinya, lebih dari 50 karya telah dihasilkan Pram, dan diterjemaahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Sebelum lebih jauh penulis membahas tulisan kritik sastra bertema Kesusatraan Di Indonesia Kini Ibarat Buah Simalakama, penulis terlebih dahulu akan mengupas makna kritik sastra. Secara etimologis, istilah “kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites  yang berarti hakim. Krites sendiri berasal dari krinein yang berarti menghakimi, membanding, menimbang. Sedangkan kriterion yang berarti  dasar penghakiman dan kritikos berarti  hakim kesusastraan. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik.

Sedangkan kata sastra adalah kata pinjaman dari literatur Sanskerta, yang berarti teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari arti kata sas yang berarti instruksi dasar atau mengajar. Dalam kata Indonesia digunakan untuk merujuk pada “sastra” atau semacam tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Menurut Ahmad Badrun, sastra adalah kegiatan seni yang menggunakan bahasa dan simbol lainnya garis sebagai alat, dan imajinatif.

Kata “kesusastraan” mendapat imbuhan ke-an, susastra sendiri berasal dari gabungan kata “su” yang berarti baik, dan “sastra” yang berarti tulisan. Jadi, “susastra” berarti tulisan yang baik. Kesusastraan Indonesia memiliki arti jamak yang meliputi semua hal sastra Indonesia. Menurut Usman Effendi, kesusastraan ialah semua ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan maupun tulisan yang dapat menimbulkan rasa keindahan (bagus). Secara umum kesusastraan Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 macam, pertama adalah kesusastraan lisan yaitu karangan ciptaan yang diwujudkan dalam bentuk bahasa lisan. Kedua adalah kesusastraan tertulis, yaitu karangan/ciptaan yang diwujudkan dalam bentuk bahasa tulis.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan kritik adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan  pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Sedangkan esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya.

Definisi senada dikemukakan oleh H.B. Jasin, menurutnya kritik kesusastraan adalah pertimbangan baik atau buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu disertai dengan alasan mengenai isi dan bentuk karya sastra. Dengan demikian secara harfiah, kritik sastra adalah upaya menentukan nilai hakiki karya sastra dalam bentuk memberi pujian, mengatakan kesalahan, memberi pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistemik.

Pada kesempatan ini, penulis mencoba mengupas kritik sastra dari sudut pandang penulis sendiri berdasarkan pengalaman, wawasan dan informasi yang didapat penulis selama jadi guru bahasa Indonesia dan berinteraksi dengan media sosial. Mungkin sudut  pandang penulis di beberapa sisi ada kesamaan mungkin juga perbedaan dengan para ahli bahasa dan penulis lainnya.  Penulis menguraikan kritikan bukan hanya berpusat pada tiga unsur yakni antara teks karya sastra, penulis dan masyarakat, tapi juga semua elemen-elemen lain yang terlibat dalam pengembangan dan pembinaan sastra di Indonesia.

Jika kita menengok kembali sejarah kesusastraan di masa lampau, dunia sastra di Indonesia pernah mengalami era kejayaan di zaman-zaman sebagai berikut; angkatan balai pustaka (1920-an), angkatan pujangga baru (1933 & 1942), angkatan 1945 yang dipelopori Chairil Anwar, angkatan 1950-1960-an yang dipelopori oleh Pramoedya Ananta Toer, angkatan 1966 yang dipelopori oleh H.B.Jassin, angkatan 1980-1990 yang dipelopori oleh N.H.Dini dan angkatan reformasi tahun 1998-an yang ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, dan seputar reformasi.

Dari semua sastrawan di atas yang paling hebat dan terkenal dalam kacamata international adalah Pramoedya Ananta Toer, yang biasa dipanggil Pram. Sejak tahun 1980 hingga awal tahun 2000-an, Pram dan karya-karyanya telah banyak mendapat penghargaan kelas dunia. New York Foundation for the Arts Award, Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang, The Norwegian Authors Union, dan Centenario Pablo Neruda, Chili.

Namun kini, penulis/sastrawan Indonesia yang bisa mengikuti jejak Pram di kancah dunia, bisa dibilang tidak banyak. Setelah lama tidak terdengar karya-karya penulis Indonesia yang bisa menembus pasar internasional, beberapa nama mulai muncul ke permukaan. Seperti Ayu Utami, dengan novelnya yang berjudul Saman yang telah diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa asing. Andrea Hirata dengan novelnya Laskar Pelangi yang telah diterjemahkan ke dalam 21 bahasa asing. Dan Eka Kurniawan, yang disebut-sebut sebagai penerus Pram, beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan diterima pasar luar negeri.

Harus diakui, dari sekian banyak sastrawan dan penulis Indonesia, hanya beberapa saja yang bisa mendunia. Lalu, bagaimana cara agar muncul kembali generasi sastrawan yang hebat dan karya-karyanya bisa menembus pasar internasional? Inilah  yang menjadi PR kita bersama.

Memang, perkembangan kesusastraaan dari zaman ke zaman, mengalami perbedaan model, tema dan gaya kepenulisannya, tergantung kondisi dan keadaan masyarakat pada saat itu. Para penulis sastra biasanya menulis karya sesuai dengan apa yang dirasakan oleh diri dan lingkungannya. Contohnya karya sastra angkatan ’45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar berjudul “Krikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus” yang merupakan kumpulan sajak-sajaknya tentang cinta, kehidupan tragis dan Kepahalawan. Di dalamnya ada kisah tentang  Diponegoro, Merdeka, Persetujuan dengan Bung Karno, Perajurit Jaga Malam dll.

Perkembangan sastra di Indonesia saat ini ibarat buah simalakama, dihadapkan dengan dua pilihan yang serba sulit mau maju apa mundur? buah simakalama adalah nama lain dari buah mahkota dewa yang memiliki aneka manfaat sebagai obat dan juga memiliki racun, tergantung bagaimana cara menggunakannya. Demikian halnya perkembangan sastra di Indonesia bagaimana cara kita mengembangkan dan menjaga kelestrariannya jika fasilitas dan sarprasnya tidak mendukung.

Sebagian besar ahli bahasa mengatakan kesusastraaan nasional saat ini sedang mengalami kemunduran. Hal itu dibuktikan dengan makin jauhnya minat masyarakat  dalam mengonsumsi media-media beraroma sastra dan tidak banyak beredarnya karya sastra dan munculnya generasi muda sastrawan baik di kancah nasional maupun kancah International.  Kendati pun, ada penulisnya hanya itu-itu saja belum bisa mewakili masyarakat dan kalangan terpelajar di Indonesia.

Di sisi lain karya sastra juga memiliki efek negatif yang ditimbulkan jika kandungan isinya tidak memperhatikan norma-norma masyarakat dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Kehadiran karya sastra model ini justru bukan mendidik, namun malah akan menghancurkan moral masyarakat, khususnya para generasi muda. Pengaruh media massa seperti karya sastra apalagi karya sastra yang telah difilmkan, dalam teori komunikasi massa ibarat jarum suntik (hipodermik) yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah, dan segera.

Teori tersebut berpendapat bahwa khalayak (pemirsa) sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk menolak informasi setelah disuntikkan melalui media komunikasi tersebut. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan Teori Peluru atau bullet theory. Meskipun ada teori lain mengatakan bahwa khalayak pun bisa menentukan sikap dan memfilter pengaruh tersebut.

Sebagaimana kita ketahui fungsi karya sastra ada 5 hal yakni fungsi rekreatif (hiburan), didaktif (pendidikan), estetis (keindahan), moralitas (moral yang tinggi) dan religius (agama). Saat ini kita bisa menilai dan menelaah sudah sejauh mana karya sastra yang beredar di sekitar kita dalam memenuhi fungsi-fungsi tersebut. Jika belum berarti ada teori atau aplikasi yang salah dalam perkembangan kesusastraan  saat ini.

Lantas untuk mengembalikan kejayaan kesusastraaan Indonesia seperti era Pramoedya menjadi tugas siapakah? apakah hanya tugas Badan Bahasa Kemendikbud dan sastrawan? tugas para guru bahasa Indonesia dan para pelajar? tugas lingkungan masyarakat? atau tugas penerbit media cetak (koran, buletin, majalah, dan buku-buku) dan penerbit media elektronik?

Tentunya semuanya memiliki peran masing-masing tak bisa dipisahkan ibarat satu bangunan yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud berfungsi sebagai atapnya, sastrawan sebagai tembok dan isinya, guru dan pelajar sebagai pondasinya, masyarakat sebagai pagarnya, dan penerbit media cetak dan elektronik sebagai hiasan dan pelengkapnya. Sehingga akan terciptalah karya sastra yang indah, berkualitas dan menyejukkan mata.

Namun fenomena saat ini, sepertinya tugas untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas sastra hanya dibebankan kepada Badan Bahasa Kemendikbud dan guru di sekolah. Padahal seharusnya melibatkan unsur lain dan keterkaitan antara teks karya sastra, penulis dan masyarakat. Ketiga elemen ini merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan.

Berdasarkan analisis penulis, banyak faktor yang menyebabkan kemunduran perkembangan sastra saat ini di Indonesia. Pertama dari segi teks karya sastra, yang diklasifikasikan dalam tiga kelompok yakni prosa (lama dan baru), puisi (lama dan baru) dan drama. Yang termasuk prosa lama adalah hikayat, sejarah, kisah, dongeng dan cerita berbingkai sedangkan yang termasuk prosa baru adalah roman, novel, cerpen, riwayat, kritik, resensi dan essai. Sedangkan beradasarkan isinya prosa dibagi menjadi lima jenis yakni prosa naratif, deskiptif, eksposisi, argumentatif dan persuasi.  Namun, karya sastra yang banyak beredar saat ini adalah  berbentuk roman, novel  dan cerpen.

Penulis pernah membandingkan beberapa buku novel yang beredar saat ini, setelah diamati dan dianalisis ternyata temanya dominan bernuansa cinta (romantisme) sepasang remaja yang sedang jatuh cinta, kisah pergaulan remaja dan semisalnya. Jarang sekali membahas tema-tema tentang perjuangan dan kepahlawan yang lebih mendidik dan menumbuhkan mental sehat khususnya bagi peserta didik. Tema-tema sastra romantisme hanya akan melahirkan jiwa-jiwa pelajar dan masyarakat yang cengeng. Padahal diantara fungsi sastra adalah untuk didaktif (pendidikan) dan moralitas (moral yang tinggi).

Selain itu dari segi penggunaan gaya bahasa, seperti novel-novel karya Andrea Hirata, terlalu banyak mendeskripsikan perihal benda, tempat atau suatu kejadian sehingga terkesan muter-muter mungkin inilah yang dimaksud keindahan bahasa oleh Sang Penulis Hirata. Selain itu penulis asli Bangka Belitung tersebut juga sering menggunakan bahasa atau istilah-istilah asing/daerah yang belum tentu bisa dipahami pembacanya. Majas (gaya bahasa) dan bahasa deskripsi (menggambarkan suatu hal dengan detil seolah-olah pembaca merasakan apa yang dirasakan oleh penulis) memang diperlukan untuk memperindah isi karya tulis, namun jika berlebihan  rasa kurang tepat bahkan malah membingungkan. Untuk golongan terpelajar mungkin tidak  masalah, namun bagi kaum awam tentuk akan menjadi problematika.

Berbeda dengan teks novel karya Habiburrohman El-Shirazy yang menulis karyanya dengan sentuhan religius (agama), yang mengupas nilai-nilai ajaran Islam nan indah dan menarik dalam bingkai Al-Quran dan Sunah. Bahasa yang digunakan tidak ‘njelimet’ tapi fokus pada tujuan, walau terkadang menggunakan variasi majas dan bahasa deskripsi untuk menyentuh emosi pembacanya. Namun, bahasanya mudah dipahami oleh pembaca pada umumnya.

Meski demikian penulis tetap takjub mungkin itulah model gaya bahasa para sastrawan hebat saat ini. Apalagi beberapa novel karya Andrea Hirata dan Habiburrahman menjadi inspirasi film layar lebar seperti Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Berstasbih, dan Dalam Mihrab Cinta. Tentunya jika sudah seperti ini akan menjadi daya tarik yang menakjubkan bagi para pemirsanya. Sebab zaman teknologi ini serba audio visual, tampilan karya sastra di layar kaca lebih banyak diminati oleh masyarakat pada umumnya.

Namun teks karya sastra tetaplah menjadi bagian yang original dalam kesusastraan. Baik tidaknya hasil karya sastra tergantung bagaimana penulisnya merangkainya. Menurut ahli bahasa teks karya sastra  yang baik harus memperhatikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Ibarat suatu bagian yang tak bisa dipisahkan dalam bangunan, jika satu unsur saja hilang maka karya sastra tersebut akan terasa hambar dan hampa tanpa makna. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah unsur-unsur yang membangun cerita dari dalam yang mencakup tema, tokoh/penokohan, latar/setting, alur, citraan, sudut pandang dan amanatnya.

Sedangkan unsur-unsur ekstrinsiknya adalah unsur-unsur yang membangun sebuah cerita dari luar seperti latar belakang pengarang, latar belakang pembuatan cerita, dan  situasi/keadaan masyarakat, dan adat budaya setempat. Kedua unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas teks karya sastra yang dihasilkan oleh sang penulis.

Kedua dari segi penulis, seorang penggiat sastra harus sesuai passion yakni sesuai kesenangan dan apa yang dikuasai, sebab hasilnya akan lain ketika menulis asal bisa terkenal dan beken, dibandingkan dengan menulis dengan hati nuraninya. Selanjutnya seorang penulis sastra perlu mempelajari lagi aturan standar menulis sastra yang baik dengan memperhatikan berbagai unsur yang ada terkandung di dalamnya. Penulis yang dimaksud bisa berasal dari berbagai kalangan seperti masyarakat umum, dosen, guru, pelajar dan juga sastrawan.

Sebagai contoh sering kita temukan di beberapa media, karya sastra bentuk cerpen yang menggunakan kalimat/teks cerpen yang terlalu panjang  dan masalah pokoknya terlalu melebar kesan kemari melampaui standar yang ditetapkan. Padahal syarat menulis cerpen menurut ahli bahasa adalah fokus pada satu tokoh utama, satu peristiwa dan satu kondisi/keadaan. Sebagaimana dipaparkan oleh Nurhadi cerita pendek adalah karangan fiksi (tidak nyata), singkat, sederhana, dan berisi masalah yang relatif sederhana dibandingkan dengan novel dan roman. Cerpen tidak menceritakan tokoh secara keseluruhan, tetapi hanya menampilkan bagian yang menarik dari episode tokoh atau peristiwa yang dialami tersebut. Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang paling banyak dipublikasikan, paling banyak media yang dapat menyalurkannya, dan paling banyak peminatnya.

Sedangkan menurut Solihati secara kuantitatif, panjang cerpen sangat relatif sekitar  500 – 5000 kata.  Dengan sedikitnya jumlah kata yang ada di dalam cerpen, sebetulnya cerpen tidak membutuhkan deskripsi yang detil dan peristiwa yang kompleks, yang dibutuhkan hanyalah kepadatan cerita.

Selain itu seorang penulis sastra, juga perlu memperhatikan unsur ekstrinsik dan segmen pembacanya apakah dari masyarakat  terpelajar, masyarakat umum atau masyarakat pedesaaan yang masih belum terbiasa membaca dan gagap teknologi informasi. Sehingga nantinya karya sastra yang dihasilkan bisa lebih tepat sasaran dan bermanfaat untuk masyarakat. Bukan sekedar pandai merangkai kata-kata nan indah dan menemukan tema-tema yang ajib, namun sulit untuk dicerna dan dipahami oleh pembacanya. Alhasil malah membuat jenuh dan bosan pembacanya.

Menurut Dadang Sunendar dalam bukunya berjudul Strategi Pembelajaran Bahasa, aktivitas menulis merupakan suatu bentuk perwujudan pernyataan perasaan atau pendapat (manifestasi) kemampuan dan keterampilan berbahasa yang paling akhir dikuasai oleh pembelajar bahasa setelah kemampuan mendengarkan, berbicara, dan membaca. Dibandingkan dengan tiga kemampuan berbahasa yang lain, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur asli bahasa yang bersangkutan sekalipun, karena menulis melibatkan berbagai aspek-aspek dan faktor dalam diri pembelajar bahasa.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa kemampuan menulis karya sastra memang lebih sulit dari pada kemampuan lainnya. Oleh sebab itu seorang penulis/penggiat karya sastra harus terus berlatih menulis sesuai passionnya lalu membandingkannya dengan karya tulis lainnya agar kemampuan menulisnya makin berkualitas.

Ketiga dari segi masyarakat, ini juga faktor tak kalah penting yang dapat mempengaruhi perkembangan sastra saat ini. Bagi masyarakat pembelajar tentu berbeda dengan masyarakat awam yang jarang membaca. Untuk masyarakat awam perlu ada srategi khusus yang dilakukan Badan Bahasa Kemendikbud bekerjasama dengan sekolah-sekolah atau pihak-pihak terkait misalnya dengan mengadakan workshop/seminar motivasi untuk menumbuhkan semangat membaca karya sastra sebagai bagian dari program literasi yang sedang digalakkan pemerintah.

Sebab berdasarkan penelitan yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016, oleh produk dari Central Connecticut State University (CCSU) menunjukkan rendahnya tingkat literasi Indonesia dibanding negara-negara di dunia. Ini adalah hasil penelitian terhadap 72 negara. Respondennya adalah anak-anak sekolah usia 15 tahun, jumlahnya sekitar 540 ribu anak 15. Indonesia berada pada ranking 62 dari 70 negara yang disurvei (bukan 72 karena 2 negara lainnya yakni Malaysia dan Kazakhstan tak memenuhi kualifikasi penelitian). Indonesia masih mengungguli Brazil namun berada di bawah Yordania. Skor rata-rata untuk sains adalah 493, untuk membaca 493 juga, dan untuk matematika 490. Skor Indonesia untuk sains adalah 403, untuk membaca 397, dan untuk matematika 386.

Meskipun hal itu telah dibantah oleh Inisiator Pustaka Bergerak, Nirwan Ahmad Arsuka, yang terang-terangan tak setuju dengan cap bahwa anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang malas membaca buku. Menurutnya, survei PISA dan  CCSU menimbulkan kesimpulan yang salah tentang minat baca orang Indonesia. Nirwan menjelaskan kawan-kawan di Pustaka Bergerak selalu melihat minat baca dari masyarakat itu tinggi sekali. Begitu disodorkan buku-buku yang sesuai, mereka sangat antusias. (sebagaimana dikutip detikcom, Jumat (4/1/2019).

Keempat perlu dukungan lebih dari Pemerintah Pusat dan Kemendikbud  dengan melakukan langkah-langkah strategis sbb :

  1. Perlu memfasilitasi adanya media sastra nasional baik online maupun cetak untuk para guru, pelajar dan masyarakat dalam rangka mengembangkan dan menumbuhkan minat baca dan kemampuan menulis yang tercermin dalam bingkai sastra. Selama ini yang ada di sekolah dan masyarakat hanyalah media lokal sekolah seperti mading, majalah sekolah dll. Media tersebut hanya bisa dikonsumsi oleh kalangan terbatas. Alangkah baiknya jika pemerintah dan Kemendikbud sering mengadakan kegiatan-kegiatan workshop budaya literasi mulai dari taraf lokal hingga taraf nasional bertema sastra untuk kalangan masyarakat dan lingkungan pendidikan.
  2. Perlu adanya kerjasama khusus dengan penerbit-penerbit media massa cetak (Koran, Majalah dan Tabloid) dengan menyediakan rubrik khusus sastra. Saat ini rubrik-rubrik sastra di media cetak sudah mulai berkurang bahkan nyaris hampir punah. Dengan adanya rubrik khusus sastra di media massa, diharapkan dapat memancing masyarakat untuk aktif dan menyukai kegiatan membaca karya-karya sastra.
  3. Perlu sering mengadakan pelatihan/workshop menulis sastra untuk guru-guru bahasa Indonesia di bawah naungan Kemenag dan Kemendikbud, baik secara lokal maupun nasional. Bukan sekedar mengadakan lomba kritik sastra. Sebab guru sebagai pondasi utama di dunia pendidikan juga memiliki andil besar untuk meningkatkan perkembangan/gairah sastra di Indonesia. Jika gurunya sudah tidak bergairah dalam dunia sastra apalagi peserta didiknya.
  4. Perlu lebih masif lagi menyosialisasikan model-model penulis terkenal tanah air dari angkatan 1920-an, angkatan reformasi hingga saat ini. Sehingga peserta didik dapat menjadikannya sebagai model gaya kepenulisan dalam menulis sastra. Peserta didik diharapkan nantinya dapat memilih model penulis sastra yang lebih disukai, atau bahkan bisa memadukan gaya kepenulisan sastra yang menarik dan sesuai dengan kaidah-kaidah sastra yang telah distandarkan.
  5. Untuk meningkatkan kualitas dan gairah sastra Kemendikbud perlu kerjasama dengan Pemerintah Provinsi/Kabupaten setempat, agar lebih mendapat dukungan baik berupa fasilitas, dana ataupun dukungan lainnya. Karena sebenarnya pemerintah daerah juga memiliki andil untuk  menjaga kelestarian sastra di tanah air.
  6. Perlu ada kemudahan administrasi untuk menerbitkan buku karya sastra para guru, pelajar dan masyarakat di Kemendikbud. Selama ini yang kita ketahui untuk menerbitkan karya sastra di Kemendikbud hanya dipilih melalui jalur kompetensi/perlombaan. Sehingga masih terbatas dan tidak merata di tanah air Indonesia. Bisa jadi mereka yang tidak mengikuti lomba menulis sastra karyanya lebih bagus, hal itu karena kurangnya mereka mendapatkan akses informasi dan fasilitas. Perlu ada pemeratan penulis-penulis sastra yang mewakili provinsi/daerah dari mulai Sabang sampai Merauke. Sehingga menambah motivasi dan gairah membaca dan menulis sastra di berbagai daerah.
  7. Kemendikbud perlu memperbarui standar nasional tata cara menulis karya sastra baik itu prosa,  puisi, maupun drama, sebagai acuan menulis sastra agar tidak ada lagi penulis yang melampaui batas dalam hal isi, jumlah kata, tema yang tidak edukatif atau syarat lainnya. Sebab tulisan karya sastra seperti jarum suntik jika isinya obat akan menjadi penawar buat pembacanya, namun jika isinya racun maka akan merusak akhlak dan moral bangsa khususnya para pelajar di tanah air. Jika peluru hanya menembus satu orang, karya sastra bisa menembus ratusan ribu bahkan jutaan otak manusia.
  8. Perlu ada kamus khusus sastra lengkap yang bisa digunakan sebagai referensi oleh masyarakat dan dunia pendidikan. Selama ini biasanya guru dan siswa masih merasa kesulitan untuk menerjemaahkan karya sastra yang menggunakan bahasa daerah, bahasa melayu atau bahasa planet lainnya. Alangkah baiknya jika ada bantuan-bantuan kamus sastra secara gratis ke lingkungan pendidikan dan masyarakat.

Demikianlah pemaparan kritik sastra dari sudut pandang penulis, kesimpulannya adalah penulis, masyarakat, Pemerintah Pusat dan Kemendikbud merupakan elemen-elemen yang terpadu dan tidak bisa dipisahkan untuk menjaga kelestarian dan meningkatkan kualitas karya sastra di Indonesia. Semakin bagus sinergi dan koordinasinya, maka akan tercipta  kemajuan dan perkembangan  karya sastra yang menakjubkan baik di kancah nasional maupun dikancah International. Semoga kelak akan lahir kembali generasi-generasi sastrawan hebat seperti Pram, Chairil Anwar, Ayu Utami, Andrea Hirata, Tere Liye dan Habiburrahman El-Shirazy.

———————————————————————

Sumber Referensi

 

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung : RemajaRosda

Nurhadi. 2016. Teknik Membaca. Jakarta : PT.Bumi Aksara

Solihati, Nani, dkk. 2016. Teori  Sastra. Jakarta : UHAMKA Press

 

Tinggalkan Balasan