Mutiara yang Kugenggam

Mutiara yang Kugenggam
(bagian 1)
KMAC-3

Pesawat mendarat dengan sempurna, berdebar jantung karena baru pertama kali berkegiatan dengan merealisasikan diri sebagai Igiers. Kegiatan Perpusnas Expo adalah yang pertama bagiku tercatat sebagai anggota organisasi profesi Ikatan Guru Indonesia. Yunita dengan sigap memesan gocar sebagai armada yang dipergunakan untuk menuju tempat penginapan peserta 1000 penulis guru hebat Indonesia IGI. Tanah Abang, itulah lokasi tujuan kami, sebagai ketua rombongan Yunita bergegas naik ke mobil lewat pintu depan, sebelah kiri sopir. Kemudian pada pintu tengah bergantian naik mobil, pertama Eli Arita, Zulkaidah, Sumarni dan Aku naik paling akhir, sebab ingin duduk di dekat pintu. Mobil berjalan perlahan dan meninggalkan bandara. Masih dengan kesibukan masing-masing, Aku menikmati keindahan kembang Bougenville yang ada di sepanjang jalan bandara Soekarno Hatta menuju penginapan di Tanah Abang.
Selesai meletakkan seluruh bawaan di kamar masing-masing, kami berlima memanfaatkan waktu dengan mengunjungi Monumen Nasional, yang terletak di pusat kota Jakarta. Gocar berhenti tepat di depan istana merdeka, beberapa orang memakai baju seragam berwarna hitam, disertai beberapa spanduk dan atribut sebuah organisasi kemasyarakatan sedang mengadakan orasi secara damai. Pasukan bersenjata lengkap pun terlihat berbaris mengamankan lokasi. Selesai itu juga lilitan kawat berduri pembatas antara petugas dengan ormas tersebut. Kami berjalan di sela-sela kerumunan panjang, menyelinap diantara mereka yang lewat pintu masuk Monas. Menjadi tamu di lingkungan Monumen Nasional, bersama rekan anggota dan pengurus Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang berasal dari Kalimantan Timur, sangat menyenangkan, karena merupakan kali pertamanya bergandengan tangan dengan orang dari Indonesia bagian tengah.
Petang ini, saat mata menoleh ke jam tangan berwarna hitam dengan kombinasi warna keemasan, tampak jarum jam telah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Senja mulai memasuki siang, yang siap menggantikan tugasnya menyambut malam, waktu berganti saat kami masih bertamu di pelataran Monas, entah berapa banyaknya jeprat-jepret kamera yang sudah memenuhi ruang data android, langit berwarna jingga terpancar dari arah barat kota Jakarta. Jepretan terakhir di monumen nasional dengan latar Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sungguh memesona, decak kagum dari rekan-rekan atas karunia alam yang indah dari Alloh SWT. Azan pun berkumandang dari masjid Istiqlal, kami segera mengakhiri jepretan di lokasi Monumen Nasional, rombongan berjumlah tujuh orang berjalan menuju masjid Istiqlal untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah. Tampak dari kejauahan Masjid Istiqlal sedang dilakukan pemugaran, sehingga sedikit membuat harus berputar mencari tempat sholat perempuan.
“Bu, kita berfoto dulu yuk!” Ajak Yuni, sembari menarik tangan kananku.
“ Ayo! Foto bersama ya? Jawabku.
“Bu. Lihat…, di sana ada orang India. Kita minta foto Yuk! Tapi saya tidak bisa berbahasa Inggris” timpal Zulkaidah.
“Ok. Saya juga tidak mahir berbahasa Inggris, tetapi sekedar bertegur sapa bolehlah” Sahutku.
“ Excuse me, may I disturb you?” Kucoba menyapa orang India itu.
“ Hai “ sahut perempuan India itu dengan senyuman yang menawan hati.
“ Excuse me, Miss, can I take picture with you?” tanyaku kembali kepada si bule.
“ Yes, Please” tanggapan si Bule.
Akhirnya keinginan berfoto dengan Bule kesampaian juga, kami pun mulai terlihat dekat dan bercerita satu dengan lainnya, meski dengan bahasa yang kurang tersusun dengan baik, namun obrolan kami nyambung dan bisa saling dimengerti oleh satu sama lainnya. Suaminya pun nimbrung dalam pembicaraan kami, cerita demi cerita sampailah pada kenyataan bahwa si Bule bukan dari India melainkan bersama suaminya tinggal di Inggris. Orang tuanya berasal dari India dan Mbak Sarah panggilan akrabnya, lahir dan besar di Inggris. Tak lupa nomor WhatShap juga berbagi. Mbak Sarah berpamitan untuk kembali ke penginapannya. Masih dalam suasanya terharu Aku dan rombongan menikmati keagungan masjid Istiqlal.
Cacing di perut mulai mengerogoti lambung, memaksa diri harus segera ke luar dari Masjid dan segera mencari penjual nasi, rombongan berjalan menuruni tangga, bergegas mengambil sepatu agar bisa menemukan rumah makan, atau pedagang makanan. Alhamdulillah pada waktu itu masih ada pedaggang yang diperbolehkan berjualan malam hari di jalan di depan masjid. Nasi soto makanan yang dipesan, rombongan juga ikutan pesan, meski Sumarni lebih memilih nasi goreng untuk dinner. Jeruk perasan hangat mendampingi makan malam kami. Sumarni adalah budak melayu asli, namun memiliki kecendrungan menggunakan bahasa daerah minang kabau, padahal suaminya, juga bukan berasal dari tanah minang. Mendengar ciloteh Sumarni, pedagang nasi goreng ikutan nimbrung pada pembicaraan, dengan fasih sekali si pedagang berucap berbahasa Minang Kabau. Kawan dari Kalimantan Timur, hanya tersenyum-senyum, tanpa mengerti makna dari pembicaraan yang terjadi. Bahasa Minag Kabau, Melayu, Indonesia, berbaur menjadi satu dan renyah sekali, sehingga kami pun terpingkal-pingkal mendengar seloroh Sumarni.

Tinggalkan Balasan