Mutiara yang Kugenggam Karya Afrianti (KMAC-2)

Mutiara yang Kugenggam
(bagian 1)
KMAC-2

Berkegiatan dengan memakai baju batik Ikatan Guru Indonesia memunculkan rasa percaya diri yang tinggi dan sebuah kebanggaan di kalbu, akan organisasi profesi yang penuh dengan aktivitas dalam peningkatan kompetensi sesuai bidang tugasnya masing-masing, meski keberadaan organisasi profesi ini belum menyentuh seluruh guru yang ada, namun sepak terjangnya telah merambah ke berbagai pelosok termasuk daerah 3T ( Terdepan, Terluar, Terdalam) di hamparan pulau-pulau Indonesia melalui Program Organisasi Penggerak (POP) IGI, daerah di mana belum satupun organisasi kemasyarakatan yang mampu menempuh lokasi tersebut. Ikatan Guru Indonesia lahir dari para guru tangguh, sehingga berkat ketangguhannya itulah, mampu bergerak untuk berdampak dan menggerakkan guru-guru Indonesia untuk terus berupaya di dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dari salah satu kanal pelatihan IGI di bidang literasi, yakni kanal Satu Guru Satu Buku (Sagusaku). Sagusaku sukses menghadirkan 1.000 penulis guru hebat Indonesia di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang mana Literasi merupakan salah satu perioritas utama dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada kurikulum merdeka belajar.
Teringat akan cikal bakal keberadaan Ikatan Guru Indonesia di Kabupaten Rokan Hulu, yang merupakan sebuah kenyataan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahkan Ketua daerahnya, sempat menjadi guyonan kawan-kawan di saat itu. Begini ceritanya, pada tahun 2019 ada undangan untuk mengikuti kegiatan Perpusnas Expo yang dilaksanakan di gedung Perpustakaan Nasional RI, yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat. Penanggung jawab salah satu kanal pelatihan Ikatan Guru Indonesia yaitu Satu Guru Satu Buku (Sagusaku) yakni seorang yang akrab disapa dengan panggilan Noerbad, mengadakan kegiatan seminar dan pertemuan seribu penulis guru hebat Indonesia, dalam rangka memperingati hari lahirnya Perpustakaan Nasional RI yang dinamai Perpusnas Expo. Afrianti saat itu sedang bertugas di SD Negeri 007 Ujung Batu mengemban tugas tambahan sebagai kepala sekolah, Eli Arita adalah guru Bahasa Indonesia yang mengajar di SMP Negeri 4 Ujung Batu, dan dan Sumarni adalah guru Bahasa Indonesia dari SMP Negeri 2 Tandun, ada tiga orang dari Kabupaten Rokan Hulu yang menjadi peserta pada Perpusnas Expo tahun 2019 itu.
Bertiga berangkat dari Kabupaten Rokan Hulu, dan dari bandara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru, tidak hanya bertiga melainkan ada kawan asal Pekanbaru yang bernama Yunita guru SMK Negeri Kehutanan dan guru SMA Negeri 1 Kampar yang berinisial Zulkaidah. Lima penulis guru hebat Indonesia versi Perpusnas Expo, terbang bersama Citilink di atas ketinggian tiga puluh enam ribu kaki. Sebuah rasa hadir di sanubari, bahwa keberangkatan ke Jakarta untuk acara di Perpusnas Expo ini untuk yang pertama kalinya di sepanjang karir hidup kami. Satu persatu cek in pada petugas bandara, saya membawa ransel dan tas tetengan, Eli Arita dengan tas yang tergantung di pundaknya serta sebuah koper, begitu juga dengan Sumarni, Zulaidah, sedangkan Yunita memikul ransel di pundaknya dan sebuah koper. Berempat sudah aman, namun koper Yunita tidak dibenarkan untuk dibawa ke kabin pesawat, melainkan diharuskan dimasukkan ke dalam bagasi. Tidak hanya cukup sampai disitu saja, tetapi Yunita juga harus merogoh koceknya untuk membayar beban biaya bagasi.
Selesai cek in berjalan menaiki tangga menuju waiting room, sekilas semberut terlihat di wajah Yunita. Bagaimana tidak, barang yang bisa gratis di bagasi hanya seberat tujuh kilogram saja, sementara koper tanpa isi sudah seberat empat kilo, belum lagi ditambahkan isinya. Yunita sudah mempersiapkan segala atribut baju adat melayu yang nantinya akan ia pakai pada saat di kegiatan perpusnas expo. Yunita dan Zulkaidah sama-sama membawa perlengkapan untuk pentas seni, sehingga bawaanya lebih dari yang semestinya. Yunita masih terdiam ketika saya pamitan dan menitipkan tas tetengan yang dibawa seraya berlalu darinya, pergi ke toilet dan sekaligus menuju mushala yang ada di ruang tunggu untuk menunaikan ibadah sholat. “Ya, Bagaimana lagi. Maskapai penerbangan sudah menentukan aturan ukuran ideal koper yang boleh masuk kabin pesawat.” Batinku sembari menarik nafas. Dari belakang, menyusul Eli Arita dan Sumarni, sedangkan Zulkaidah menemani Yunita di kursi tunggu. Selesai sholat, saya segera menuju tempat Yunita dan Zulkaidah berada, untuk bergantian menunggui barang bawaan.
Pesawat yang kami tumpangi ternyata delay, akhirnya kami pun pasrah menunggu sampai pemberitahuan berikutnya. Masing-masing berusaha menyibukkan diri dengan gawainya, di benak berkecamuk rasa yang semula tidak pernah terpikirkan. Aku melayangkan pandangan ke luar jendela kaca pembatas ruang tunggu dengan koridor, tempat di mana datangnya pesawat, sembari membayangkan suasana yang akan dilallui nantinya di Jakarta, tampa disadari seulas senyumpun terselip di ujung bibir.

Tinggalkan Balasan