Bayang Ketakutan (3)
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Menjelang acara perpisahan kelas 6, Aurel ditunjuk untuk tampil di atas pentas memimpin hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai dirigen. Sendirian!
Ayah dapat merasakan bagaimana tekanan yang membebani Aurel. Sebagaimana ia sendiri pernah juga stres mana kala harus tampil di pentas memberikan sambutan atas nama panitia dalam sebuah acara pengajian umum yang diadakan oleh remaja masjid di lingkungannya.
Tapi kegiatan pisah-kenang ini adalah momen terakhir bagi Aurel di masa sekolah dasarnya. Tak akan ada lagi kesempatan kedua. Itu tidak boleh ditolak.
Ayah memberikan motivasi hampir tiap saat bersama Aurel. Di saat makan, saat jalan-jalan, saat belajar, juga di saat-saat ayah membonceng Aurel sepulang dari sekolahnya.
Ayah mendownloadkan beberapa video tutorial gerakan pemanduan nyanyian Indonesia raya. Aurel harus menghapalnya. Sebenarnya bukan dihapal, tapi dimengerti. Toh gerakannya lebih banyak berulang-ulang.
Hari H-1, Aurel kehilangan selera makan. Ayah jadi kuatir. Ia mencari cara bagaimana Aurel bisa berlatih percaya diri berada di pentas sendirian, di depan teman-teman, guru, Kepala Sekolah, wali murid, dan beberapa tokoh yang diundang.
“Sebelum naik ke pentas, berdoalah agar kamu tidak kehilangan konsentrasi. Tarik nafas dengan kuat, lalu hempaskan. Perasaanmu harus dibuat setenang mungkin.” Ayah memberikan trik-trik tertentu agar rasa gugup Aurel bisa dikendalikan.
“Nanti akan ada ratusan pasang mata yang tertuju pada satu titik. Ke Aurel! Tapi jangan lihat mereka. Perhatikan saja pohon² di dekat pagar sekolah. Tatap saja tiang kabel telepon atau listrik. Benda-benda tak bernyawa itu tidak akan mempengaruhi pikiranmu. Syukur-syukur kalau orang-orang yang terlihat di depanmu bisa dianggap sebagai patung.”
“Ini kesempatan terakhir. Ketenangan menjadi satu-satunya sikap yang tepat untuk menghindari kesalahan. Kamu hanya perlu fokus pada lagu pengiring.”
Meskipun tidak sepenuhnya membuat Aurel lepas dari tekanan, tapi saran-saran ayah sangat berarti untuknya.
Malam itu, ketika nama Aurel disebut oleh pemandu acara dan dipersilahkan naik ke pentas, ayah yang menunggunya di dekat tangga panggung berbisik, “Kamu anak yang hebat!”
Aurel menaiki tangga dengan pelan. Tak nampak sedikitpun lututnya gemetar.
Semua berjalan normal. Hingga nyanyian berakhir. Ayah langsung memeluk anaknya dengan suka cita.
Tak ada kata sanjungan. Tidak ada upah. Hanya pelukan hangat dan kecupan di kening yang didapat Aurel. Sudah terbukti bahwa ia bisa dibanggakan.
Andai saja saat itu ada kesalahan, maka itu akan menjadi kenangan yang akan dianggap lucu pada suatu saat kelak. Kesalahan yang tidak mungkin bisa dihilangkan dengan melakukan perbaikan pada penampilan berikutnya, sebab itu acara terakhir kali yang akan diikuti Aurel di sekolah tersebut.
Ayah menampakkan kebahagiaannya sedemikian rupa. Seolah-olah tidak pernah menyangka Aurel akan berani dan bisa tampil di atas pentas, di depan ratusan hadirin.
Bayang ketakutan itu telah berhasil ditundukkan Aurel. Entah sekedar ditundukkan ataukah memang benar-benar sudah pergi.