Tulisan yang Tak Terbaca

Gaya Hidup, YPTD38 Dilihat

“Hadeuh..udah capek-capek nulis, panjang pula, gak ada yang baca apes deh, kurang apa coba, semua ilmu udah dikerahkan tapi tetap aja gak ada yang baca..bikin patah semangat aja”

“Udah bagus-bagus bikin artikel, komplit dengan illustrasi foto-foto yang keren, tapi gak ada yang baca, sementara yang bikin biasa-biasa aja bisa menangguk viewer dan komen yang banyak”

Begitulah kira-kira keluhan yang diucapkan saat artikel yang ditulis miskin apresiasi pembaca. Kadang ada kecenderungan sebagian dari kita lebih melihat keluar, dan kurang mau melihat kedalam diri sendiri ketika menghadapi masalah seperti diatas, karena apa?

Karena merasa sudah melakukan hal yang maksimal dalam pandangan sendiri, merasa sudah memberikan yang terbaik, sehingga lupa pada hal-hal yang juga harus menyertai kerja maksimal tersebut, terutama tidak dibarengi dengan keikhlasan saat menuliskan artikel tersebut.

Padahal problem yang dihadapi itu adalah problem yang biasa dialami oleh setiap penulis. Seperti halnya pedagang, tidak selalu dagangan yang digelar laris manis terjual. Kadang dari pagi sampai sore tidak satupun pengunjung yang mengunjungi dagangannya. Begitu Juga penulis, kadang lapaknya ramai, kadang juga sepi, itu adalah hal yang biasa.

Cara terbaik mengatasi hal-hal seperti itu adalah, instrospeksi diri, lihat kekurangan yang ada di dalam diri sendiri, apa yang belum dievaluasi. Tingkatkan terus kualitas kontennya, jangan pernah bosan melakukan inovasi terhadap tulisan, cari pola penulisan yang enak, yang sesuai dengan kemampuan diri sendiri.

Secara pribadi, sampai saat ini saya terus mencari, dan berusaha untuk tidak mengulangi kegagalan dalam membuat satu artikel. Terus mengikuti perkembangan imformasi, sehingga apa yang dituliskan selalu Up To Date, dan terus berupaya untuk menyuguhkan artikel yang disukai pembaca, meskipun itu belumlah selalu tercapai.

Kenapa artikel yang terlihat biasa-biasa saja tapi menuai banyak viewer dan komentar? Inilah yang kadang faktor subjektif yang tidak mudah difahami, padahal artikel yang seperti itu pada umumnya mampu menyajikan sesuatu yang mengena dihati pembaca. Artinya, konten yang disajikan memang dibutuhkan oleh pembaca.

Salah satu alasan saya untuk terus menulis adalah, sambil mempelajari cara menulis yang benar, juga membangun personal branding. Ternyata, dengan terus menulis, semakin banyak saya tahu kesalahan saya dalam menulis. Dan dengan terus menulis, saya tahu passion saya, dan tahu kekurangan saya.

Soal tingkat keterbacaan atau jumlah viewer, itu hanya penyemangat saja, bukanlah sesuatu yang menjadi target dalam menulis. Setiap tulisan itu punya takdirnya sendiri, dan punya pembaca tersendiri. Biarkanlah tulisan yang mencari pembacanya. Tugas penulis hanya menulis, dengan menyajikan tulisan yang terbaik.

Memang viewer itu akan sangat mempengaruhi semangat dalam menulis, tapi kalau menulis sudah menjadi kebutuhan, atau bagian dari passion, soal tingkat keterbacaan itu bukanlah persoalan, yang penting setiap hari harus menulis, dan menghasilkan tulisan. Mengambil manfaat dari akrivitas menulis, dan itu banyak sekali manfaatnya.

Merugilah orang-orang yang tidak menulis, karena menulis itu banyak sekali manfaatnya. Dengan menulis, kita pasti akan membaca, sedangkan membaca itu adalah akrivitas membuka jendela dunia, dengan demikian, akan bertambah pengetahuan. Banyak pengetahuan, maka akan semakin banyak pula yang bisa dibagikan.

Ilmu yang bermanfaat kalau dibagikan, maka akan terus bertambah, dan tidak akan pernah habis. Semakin banyak berbagi pengetahuan, maka semakin banyak yang akan merasakan manfaatnya. Sebaik-baiknya manusia, adalah yang banyak memberikan manfaat bagi banyak orang.

Berbagi pengetahuan itu bagian dari ibadah, sementara menulis itu berbagi pengetahuan. Itulah salah satu manfaat dari sekian banyak manfaatnya menulis. Kata Pramoedya Ananta Tier,

“Orang yang menulis itu, tidak akan hilang dari sejarah dan peradaban. Setinggi-tingginya ilmu seseorang, kalau dia tidak menulis, maka dia akan hilang dari sejarah dan peradaban.”

Menulis bisa dimulai dari hal-hal yang sederhana, bisa dari cuma menulis catatan harian, dari hasil melihat, mendengar dan membaca, hal-hal yang ada di sekeliling kita. Hal sederhana itu dituliskan, lalu dibagikan Kerala orang banyak, dan yang membaca memetik manfaatnya, maka itu sudah menjadi ibadah bagi penulisnya.

Tinggalkan Balasan