Tikungan Menuju Surga(2)

“Met, ibu berangkat dulu,” suara ibunya terdengar diikuti suara pintu tertutup. Kembali angan Slamet tak menentu. Dia ingin memiliki sepeda motor seperti teman- temannya. Ingin sekolah tinggi. Bisa menjadi pegawai.

Cinta Bercahaya

Cinta Bercahaya Tung Widut   Bila dada mulai sesak Rasa yang tak tertahan Rindu telah memenuhi ruang Tak pernah jumpa bersemuka Hanya layar bercahaya yang mempersatukan hati Perlahan kepercayaan mengisi

Jam-jam Terakhir

Jam-jam Terakhir Tung Widut Hari begitu sibuk dengan beribu tugas Yang tak pernah disentuh selama corona mewabah Setumpuk tulisan yang tak pernah dipahami Dibuang jauh saat hura-hura datang lebih menyenangkan

Tidur Malam

Tidur Malam Rung Widut Hujan tak lekang dingin Merapat menjalar melalui celah cendela kamar Beriring bunyi jengkejrik abadi saat malam Mata mulai menguap merindukan bantal Tak mampu berjalan dalam gelap

Hujan Malam

Hujan Malam Tung Widut Kesegaran yang dirapkan tiba Rintik hujan sebentar menjadi deru kesegaran Makin menjadi seirama gericik air dari sela genting Sejuk merasuk menembus tulang Tak bisa dinikmati bulir

Bayangan di Kaki Senja

Bayangan di Kaki Senja Tung Widut Terlihat bayangmu kala senja Berdiri memandang jauh ke alam bebas Menyapa matahari yang akan meninggalkan siang Keperaduan karena malam telah datang Terlihat bayangmu kala

Kebebasan

Kebebasan Tung Widut Sisihkan empat windu kekangan Dengan hati luka menerjang kawat berduri yang melingkar di jari manis Batalkan janji suci yang penuh kepalsuan Tak lagi ada rindu yang membuat

Tidak Ada Lagi Postingan yang Tersedia.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.