Cerpen 2: Ketulusan yang Membebaskan (Bagian 2)
Setibanya mereka berdua di lantai dasar gedung sekolah, Nafla berhenti dan berbalik menghadap Fanny, dan dengan lembut bertanya.
“Ada apa sebenarnya dengan dirimu, Fanny?” tanya Nafla dengan tenang.
“Nafla! Kamu gak perlu berpura-pura tidak tahu?” balas Fanny dengan nada tinggi. “Jangan berpura-pura polos! Apa alasanmu berusaha merebut Rendy dariku!”
Mendengar tuduhan itu, Nafla hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Sebilah sembilu seakan menggurat begitu pedih mengiris hatinya.
Meski hatinya terluka atas tuduhan yang dilontarkan Fanny terhadap dirinya, namun Nafla menyadari sepenuhnya untuk tidak mengikuti keinginan untuk membalas kemarahan Fanny dengan nada yang sama.
”Maaf, Fanny,” terdengar suara Nafla lirih. “Mengapa menuduhku demikian? Aku tidak pernah memiliki keinginan untuk melakukan seperti tuduhanmu itu. Bagiku, tidak ada ada masalah denganmu, jika benar Rendy telah menemukan kebahagiaannya bersamamu, “ ungkap Nafla datar
“Asal kamu tahu, Fannya,” imbuh Fanny. “Meski aku dan Rendy telah menjalin hubungan selama empat tahun, bukan berarti hubungan kami akan berakhir bahagia. Aku menyadari sepenuhnya, perubahan sikap Rendy belakangan ini. Mungkin inilah jawabannya,” lirih Nafla menjelaskan kepada Fanny.
Hatinya menjerit dan menangis, ketika mulutnya menjelaskan semua kisah kasihnya bersama Rendy. Dalam hatinya, ia telah bertekad untuk melepaskan Rendy untuk pergi bersama Fanny.
‘Jika Rendy lebih merasa bahagia bersamamu, aku ikhlas melepaskannya untukmu, Fann,” kembali Nafla menegaskan kepada Fanny.
Fanny tertegun, dirinya tidak menyangka bahwa Rendy, pemuda yang sangat dikagumi dan dicintainya ternyata adalah kekasih Nafla, gadis berhati lembut berdiri tegar di hadapannya, meski hatinya mengalami luka mendalam.
Mendengar penjelasan Nafla, Fanny hanya mampu terdiam. Dirinya dapat merasa sedih dan malu, menyaksikan Nafla yang terluka karena pengkhianatan cinta yang dilakukan Rendy dan dirinya.
“Semula, aku berharap bersama Rendy, aku memahat hari-hari indah kami. Namun fakta menunjukkan bahwa diriku bukan perempuan impian Rendy,” kembali Nafla menjelaskan dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Tapi ternyata, Rendy lebih memilih dirimu, Fann! Demi kebahagiaan Rendy, aku rela melepaskan Rendy untukmu. Pergi dan bawalah Rendy menemui kebahagiaannya bersamamu,” pinta Nafla dengan suara yang semakin parau.
Menghadapi kenyataan demikian, perasaan bersalah mulai menggerogoti jiwa Fanny. Perlahan dirinya mendekat dan mencoba menyentuh pundak Nafa.
“M-maafkan aku, Nafla,” terdengar suara serak Fanny menyampaikan permintaan maafnya kepada Nafla, menahan rasa bersalahnya.
“Sungguh, aku tidak tahu jika Rendy adalah kekasihmu, lebih dahulu” perlahan Fanny mencoba menjelaskan kepada Nafla.
Namun, dengan cepat Nafla membalikkan tubuh sambil menggelengkan kepalanya, dan berkata:
“Tidak, Fanny! Kamu tidak bersalah. Aku yang salah. Aku bukan perempuan yang diharapkan Rendy. Bagi Rendy, diriku mungkin perempuan membosankan, yang tidak dapat memberikan kebahagiaan dalam hidup Rendy,” ungkap kekecewaan Nafla terhadap dirinya sendiri.
Meski begitu berat dirinya melepaskan Rendy, namun Nafla menyadari bahwa kebahagiaan Rendy lebih penting daripada rasa sakit yang harus dialaminya sendiri.
Wajah langit terlihat muram, seakan turut merasakan kepedihan yang di alami Nafla pada malam itu. Dalam kesepiannya, terlihat Nafla duduk di sudut kamarnya yang sederhana, pikirannya melayang ke masa-masa penuh kehangatan yang membalut jiwanya.
Sesaat, bayangan wajah Rendy yang tersenyum manis, hadir, melintas, dan menemani sepinya malam menyelimuti hati Nafla. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Nafla memejamkan mata, mencoba menahan bulir bening jatuh di punggung pipinya yang halus.
Namun, upaya Nafla gagal, tanggul genangan bulir bening itu pun pecah. Mengalir deras tak mampu menahan desakan jiwa Nafla di derai luka hatinya. Rasa sakit yang menghantuinya terus menyiksa dirinya. Terlebih rekaman kenangan mimpi indahnya bersama Rendy, menari-nari di kelompok mata Nafla.
“Akh, tidak seharusnya aku begini. Aku harus bahagia, jika menginginkan Rendy bahagia,” bisik Nafla pada dirinya sendiri.
“Aku harus kembali menyambut hari cerahku. Jangan biarkan dirimu hanyut dalam duka. Bukankah bahagia Rendy adalah bahagiamu? Biarkan Rendy menemukan dan menjalaninya bahagianya,” bisik hati Nafla menguatkan dirinya.
Malam kian larut menelusuri kegelapan yang kian menjelaga. Tanpa meminta persetujuan semesta, malam terus melesat menembus kegelapan. Menyapa ramah sepi yang menggoda, dan tiada lelah menyentuh dinginnya malam yang setia menemani. Siap menjemput pagi berhias senyum manis mentari yang bermalas-malasan bersinar.
Demikian Nafla. Meski tertatih, Nafla harus belajar menerima kenyataan bahwa cinta sejati tidak selalu harus memiliki. Nafla harus menyadari bahwa cinta yang paling tulus adalah cinta yang rela melepaskan demi kebahagiaan orang di cintanya.*** Tamat
@senimelipatluka, 27 November 2024