Harga Sebuah Rasa Malu

Edukasi, Humaniora37 Dilihat

 

Seperti hari – hari sebelumnya, hujan mengguyur dengan deras di pagi hari. Saya sempat ragu untuk berangkat ke sekolah, karena hujan tampaknya semakin lebat menjelang pukul 07.00 wita. Namun, saya tetap berkeyakinan bahwa ada anak – anak yang setia menunggu saya di sekolah untuk belajar bersama. Sehingga saya pun memutuskan untuk tetap berangkat menuju sekolah.

Saya pun mengenakan jaket anti air yang tebal, lumayan menghangatkan tubuh. Tidak lupa helm pun dipakai, sebagai alat pelindung kepala sekaligus sebagai penangkal hujan, agar tidak membasahi kepala.

Ketika hujan mulai reda, suami saya segera menyalakan motor dan kami pun berangkat ke sekolah. Sepanjang perjalanan, saya melihat beberapa anak berlarian menebas hujan yang masih tersisa. Mereka tidak menggunakan payung ataupun jas hujan. Kasihan!

Saya sendiri bersama suami tidak menggunakan jas hujan, karena jas hujan satu – satunya sudah kotor setelah dipakai untuk bekerja di sawah saat hujan kemarin.

Setelah turun dari motor, saya pun bergegas menuju ke kelas, karena waktu sudah menunjukkan pukul 07.35 wita. Wah, terlambat 5 menit, pikir saya.

Di kelas sudah ada 3 orang siswa, Joshua, Pratama, dan Mina. Saya pun mengajak mereka untuk beribadah terlebih dahulu sambil menunggu teman yang lain. Namun, saya perhatikan bahwa mereka bertiga tampak ragu – ragu dan sepertinya melihat ada yang aneh pada diri saya.

Jujur, saya pun merasa demikian. Seperti ada yang kurang, namun apa ?

Tiba – tiba, saya teringat sesuatu, masker!

Astaga, rupanya hari ini saya lupa tidak memakai masker.

Saat itu juga saya merasa serba salah dan malu. Apalagi beberapa anak kemudian datang dan memasuki ruang kelas. Saya menjadi semakin kikuk, karena mereka semua memakai masker.

Lalu, saya pun minta bantuan Joshua untuk menanyakan masker cadangan yang biasanya tersimpan di kantor guru kepada salah satu rekan guru, namun ternyata stock masker di sekolah juga habis.

Akhirnya saya pun meminta bantuan Pratama untuk membelikan masker di kios dekat sekolah. Saya merasa lebih lega setelah memakainya.

Cermin Bagi Guru

Sebagai seorang guru, kadang kita merasa menjadi superior. Serba bisa, serba hebat, serba segalanya, apabila dibandingkan dengan siswa. Tak jarang kita pun menjadi semena – mena dan melupakan hakekat guru sebenarnya yang harusnya digugu dan ditiru.

Terkadang, susah juga mengakui kesalahan, meminta maaf, dan sekedar mengucapkan terima kasih kepada siswa.

Pada posisi saya tadi pagi, di mana saya merasa malu terhadap anak – anak karena saya tidak memakai masker, saya memilih untuk minta maaf dan menanggung malu dibandingkan dengan diam saja dan tenggelam dalam rasa superior tadi.

Terbayang kembali sebuah peristiwa di mana saya menegur Jeni dan   karena tidak memakai masker, saya memberikan “hukuman” kepada mereka. Baca cerita selengkapnya Nilai Lebih di Balik Keindahan Seni Kolase

Jika saya mementingkan ego saya, maka saya memilih untuk tetap mengajar sepanjang hari tanpa memakai masker. Namun, saya berusaha untuk membayar rasa malu tersebut.

 

Tinggalkan Balasan