Saeran : Mimpi Eliana (Bagian 3)

Fiksiana, Novel, Terbaru321 Dilihat

 

Cerita Sebelumnya

“Haaanss…..” Aku menyebut nama laki – laki yang memanggilku.

Suara yang keluar dari mulutku terdengar lirih, aku ragu apakah dia benar mendengarnya.

Kali ini, bukan hanya mulutku yang tertutup, aku pun tak kuasa membuka kelopak mataku. Dingin … bekuuu …. entahlah.

_ _ _ _ _ _ _ _ _

“Apakah dia sudah sadar ? Astaga semua bajunya basah. Sebaiknya aku mengganti bajunya.”

Sayup – sayup aku mendengar suara itu. Aku masih sulit membuka kedua mataku. Perlahan aku mencoba menggeser posisiku dan menggerakkan jari kaki dan tanganku.

“Nona, kau sudah sadar?” Suara itu terdengar lagi. Kini sudah lebih jelas terdengar di telingaku. Aku merasakan dia duduk di sebelah kananku, di atas kasur ini. Karena tubuhku sedikit berguncang ketika dia menghempaskan tubuhnya.

Aku mencoba lebih keras lagi membuka kelopak mataku, dan … berhasil. Dalam cahaya lampu yang temaram, aku segera mengenali suasana di sekitarku.

Ini adalah kamar home stay yang aku tempati tadi.

“Siapa kamu ?” Aku mencoba berteriak, namun sepertinya suara yang keluar dari rongga mulutku masih belum begitu keras. Karena sosok laki – laki ini terlihat biasa saja. Dia tidak terlihat kaget dengan teriakanku.

“Beristirahatlah. Aku sudah mencoba menghubungi pemilik home stay ini untuk mengurus keperluanmu.” Ucapnya sambil bangun dari tempat tidur  dan berjalan ke arah pintu.

Aku tidak mampu membalas perkataannya. Namun, entah mengapa, aku merasa ada sedikit ketenangan yang aku rasakan ketika suara itu terdengar di telingaku.

“Tolooonggg …. jangan pergi,” pintaku. Kali ini tampaknya suaraku begitu keras, sehingga laki – laki itu membalikkan tubuhnya.

“Maaf, tapi aku harus pergi. Aku janji, tidak lama lagi pihak home stay akan mengurusmu.” Ujarnya, dia mendekatiku.

“Tidaaaakkkkk ….. jangan pergi ….. Aku mohon padamu.” Aku meraih tangan kanannya.

Buliran air mata jatuh di kedua pipiku. Aku mencengkeram tangan kanan laki – laki itu.

“Baiklahhh. Tapi setidaknya izinkan aku berganti pakaian dulu di kamarku. Bajuku juga basah.”

Aku mengangguk perlahan. Kemudian laki – laki itu pun melangkah keluar kamarku.

Klik. Pintu ditutup kembali dari luar.

_ _ _ _ _ _ _ _

Basah ? Tadi dia bilang bajunya basah ? Aku mencoba menggerakkan kedua tangan dan kakiku dengan lebih bebas. Aku meraba baju yang kupakai. Basah!

Ahh, aku harus ganti baju. Untung saja, aku bawa baju ganti di tas ku. Aku pun mencoba turun dari tempat tidur dan melangkah ke arah lemari di dekat kamar mandi. Tempat aku menyimpan tas ku.

Namun …..

“AAAhhhhhhhhh……” Aku terjatuh dari tempat tidur.

Terdengar langkah kaki tergesa berjalan di dalam kamarku.

“Astagaaa…. Nona! Kau tidak apa – apa ?”

Rupanya laki – laki itu tadi. Ia mengagetkanku lagi dengan kedatangannya.

“Iiiiyaaa …. Aku… hanya jatuh dari atas tempat tidur.”

“Hanya ?” Tanyanya sambil membantuku berdiri. Kemudian dia membimbingku untuk duduk di sofa mini yang terletak di sudut kamar.

Rupanya dia sudah benar – benar mengganti bajunya yang basah. Aku sempat menarik kaosnya ketika tadi dia membantuku berdiri.

“Mmmmm …. bajumu masih basah. Kau harus menggantinya. Di mana bajumu ? Biar aku bantu mengambilkannya.”

“Tidak usah. Biar aku ambil sendiri.” Jawabku sambil berjalan tertatih menuju lemari.

“Kau benar – benar keras kepala.” Ucapannya terdengar sedikit kesal.

Aku tidak menghiraukannya. Perlahan, aku raih tas yang ada di dalam lemari dan mengeluarkan baju dari dalam tas.

Selanjutnya aku masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya.

“Jangan coba – coba kunci pintu kamar mandi itu. Kalau Nona pingsan lagi nanti, siapa yang bisa menolongmu?” Katanya setengah berteriak.

Aku sedang berusaha melepaskan bajuku yang basah dan menggantinya. Pintu kamar mandi ini memang sengaja tidak aku kunci.

Ucapan laki – laki itu benar. Beberapa waktu yang lalu, aku pernah pergi ke home stay ini bersama Hans, ketika itu aku memutuskan untuk berendam di bath tub, sementara Hans memilih berjalan – jalan di kebun yang ada di sekitar home stay.

Saat aku mau keluar dari kamar mandi, aku tidak bisa membuka pintu kamar mandi. Aku pun panik karena gawaiku ada di meja kecil di samping tempat tidur.

Akhirnya, aku hanya bisa pasrah menunggu Hans datang kembali ke kamar.

Setelah itu pun, kami harus menghubungi pihak home stay untuk bisa membuka pintu kamar mandi.

Kini, aku sudah selesai mengganti bajuku. Aku melihat diriku melalui pantulan di cermin. Rambutku berantakan, mataku sayu dan rona wajahku muram.

Apakah ini yang dinamakan sakit karena cinta ? Setelah kepergian Hans yang tanpa berita, aku memang merasa sangat kesepian. Separuh jiwaku rasanya ikut bersama Hans.

Aku menatap cermin itu dengan seksama. Memperhatikan gambar diriku yang nyaris tidak aku kenali lagi.

Eliana yang terkenal sebagai perempuan tangguh, pintar, dan berprinsip, ternyata hanya seorang perempuan yang rapuh dan nyaris gila karena cinta.

“Semua ini gara – gara kamu, Hans.” Aku menggeretakkan gigiku, menahan emosi yang meluap.

Sekarang aku melihat gambaran Hans dan Elisa di sana, bersama kedua orang tuaku. Mereka tampak tersenyum mengejekku.

Aku meraih gelas yang ada di samping wastafel, dan mengayunkan lenganku untuk melemparkannya ke arah cermin.

“Hentikaaannn!” (bersambung)

 

Tinggalkan Balasan