EKALAYA IRPAN PAMUJI,S.Sos
Jika kita berbicara tentang seorang Penulis. Yang menjadi sorotan orang awam bahwa penulis itu kutu buku, tidak gaul atau seorang pendiam. Kata orang Krui bilang Kalem (Kalemohan) jika diartikan bahasa Indonesia orang yang lemas tidak bertenaga.
Off!!, asumsi demikian tidak benar. Justru seorang Penulis adalah oarang yang memiliki pergaulan yang luas dan selalu berusaha peka terhadapa lingkungan sekitar. Mengapa tidak? , jangankan peristiwa yang masih faktual, maupun viral dimedia cetak maupun elektronik. Jam Dinging pun yang ada dikamar akan diceritakan dengan penuh rasa dengan berbagai sudut pandang yang berbeda.
Menulis memerlukan imajinasi, nalar, rasa serta etika agar setiap kata yang terucap penuh dengan syarat makna . agar si pembaca terhanyut dan terbuay dalam kata-kata seolah-olah cerita dalam kehidupan nyata. Seperti contoh menulis dengan tulisan yang biasa tanpa sentuhan rasa, dan imajinasi . coba bandingkan dengan tulis dengan penuh imajinasi, olah rasa dan karsa. Seperti contoh berikut ini:
“Air hujan menyirami tubuhku”, coba jika kita tulis dengan : “Dinginnya memberikan kesejukan. Atau seperti seorang yang jatuh cinta. Dengan lantang : “Aku mencintai mu” coba kita dengan bahasa rasa : “ sudah lama Rembulan menyelimuti awan, kini nampak ku tertawan adik ku”. Mungkin zids zaman now mengatakan sudah jadul, sumpah dah ketinggalan. Tetapi itulah berbahasa. Karena bahasa adalah budaya.
Selain menulis bagian dari budaya. Menulis sangat bermanfaat sebagai media terapi, promosi, publikasi bahkan mengungap tabir kehidupan yang sulit dijangkau sekalipun bisa ditulis dan dirilis. Sehingga menjadi karya nyata baik bagi kehidupan saat ini, masa datang maupun masa lalu.
Sesuai tentang Literasi yang dikemukakan oleh Martha C. Penginton (1996:186) mengatakan bahwa, secara fakta dokumen tertulis dapat survive lebih lama dibandingkan manusia itu sendiri, karena bahasa tulisan mudah diperlihatkan dari generasi sesuatu ke generasi berikutnya.
Dengan menulis secara kontinue diharapkan sebagai habit (Kebiasaan). Sehinga menjelma menjadi Budaya Literasi yang memberikan dampak positif baik lingkungan kerja maupun masyarakat itu sendiri. Jadikan tulisan kita sebagai pencerah dan perubahan paradigma dari generasi ke generasi. Yang nantinya menjadi SDM yang mampu bersaing di kancang lokal maupun regional.