Kata Pengantar
Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas rachmatnya dan nikmat hidup sehat wal’afiat, jasmani serta rohani, sehingga saya dapat melaksanakan kewajiban dan tugas rutin saya selama ini serta juga telah dapat menyelesaikan penyusunan sebuah buku kumpulan puisi-puisi karya sendiri.
Dalam waktu relatif singkat ini saya telah berusaha menyempatkan diri mencoba menyusun sebuah buku kumpulan puisi atau sajak karya asli saya sendiri dengan judul “LIHATLAH NEGERI INI”.
Buku ini berisikan 50 (lima puluh) buah sajak karya Edy Priyatna. Untuk puisi atau sajak saya ciptakan seluruhnya di Pondok Petir.
Selanjutnya saya berharap mudah-mudahan buku ini akan bermanfaat atau dapat dijadikan sebagai acuan mata pelajaran kesusastraan bagi siswa-siswi, khususnya bagi siswa-siswi yang gemar mempelajari ilmu Kesusastraan / Bahasa Indonesia.
Akhir kata dari saya sebagai penulis/penyusun buku ini, seperti kata pepatah lama yaitu “Tak ada gading yang tak retak”, maka perkenankanlah saya memohon maaf apabila di dalam buku ini ada terdapat kata-kata tidak berkenan.
Dan penulis selalu membuka pintu lebar untuk menerima saran dan kritik sangat bermanfaat tentunya bagi kita semua, apalagi dalam rangka proses belajar dan mengajar. Tak lupa penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada semua pihak telah membantu baik moril maupun materil atas tersusunnya buku ini, semoga keikhlasannya tersebut akan dibalas oleh Allah SWT. Amin.
Pondok Petir, 27 Oktober 2020
Penulis,
Edy Priyatna
Daftar Isi
Kata Pengantar…………………………………………………………………………..iii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………….v
Pesona Cinta………………………………………………………………………. 4
Langkah Kemenangan……………..………………………………………….. 5
Lihatlah Negeri Ini………………………………………………………………… 6
Kepada Negaraku…………………………………………………………………. 8
Tanpa Rembulan………………………………………………………………………. 9
Mengendap di Hatiku………………………………………………………………. 10
Kesan yang Sama..……………………….…………………………………… 11
Tanpa Harus Ada Tanda-tanda…………………………………………………. 12
Menciptakan Lukisan Indah……………………………………………………… 13
Kau Tetap Menyimpan Riwayat……….………………………………………. 14
Tak Jemu Mataku…………………………………………………………………. 15
Sajak Cinta Cerah………………………………………………………………….. 16
Hujan Deras………………………………………………………………………. 17
Memberikan Semangat Hidup………………………………………………….. 19
Wajahmu Masih Tertinggal……………………………………………………….. 20
Menahan Kerinduan……………………………………………………………… 21
Puisi Malam Gulita………………………………………………………………. 22
Kepada Saudaraku………………………………………………………………… 23
Angin Malam Ini…………………………………………………………………… 25
Tanah Airku…………………………………………………………………………. 26
Suara Lantang-lantang Merdeka………………………………. 27
Karna Indonesia………………………………………………………………….. 28
Semangat Keikhlasan…………………………………………………………….. 29
Negeriku Senantiasa Mewangi Sepanjang Masa………………………… 30
Sahabat, Masih Ada Aku Untukmu…………………………………………… 31
Negeri Itu Tak Lagi Memiliki Pagi………………………………………….. 32
Lihatmu Rindu, Langkahkan Satu Kaki……………………………………… 33
Tak Seperti Embun Diujung Rumput…………………………………………. 34
Hari Ini Aku Tak Dapat Kembali……………………………………………… 36
Rindu Kembali……………………………………………………………………… 37
Kasih Kedekap Dirimu..……………………………………………………….. 38
Bungaku Melayang Terbang…………………………………………………… 39
Pada Malam Sepi………………………………………………………………… 40
Korupsi Para Pejabat Negeri…………………………………………………… 41
Setelah Kemarin Meraih Kebahagiaan……………………………………… 42
Untuk Sebuah Cita-cita Mulia……………………………………………….. 43
Tanganmu Menyambut Napasku……………………………………………… 44
Menciptakan Kebersamaan yang Indah……………………………………. 45
Panggilan Suara Nyaring……………….…………..…………………….. 46
Aku Telah Tiada……………………………………………………………………. 47
Warnanya Telah Berubah………………………………………………………… 48
Semangatku Tak Pernah Padam………………………………………………. 49
Kepada Pemuda Indonesia………………………………………………………. 50
Lukisan Senja……..……………………………………………………………….. 51
Yang Melepaskan Isi Jiwa.…………………………………………………….. 53
Penanam di Desaku………..……………………………………………………. 54
Sajak Dalam Tanah……………………………………………………………….. 55
Maut Menjemputku……………………………………………………………….. 56
Ranum Menatang Telanjang………………………………………….… 58
Semua Racun Dunia……………………………………………….…… 60
Deskripsi Penulis…………………………………………………………. 62
Pesona Cinta
Puisi : Edy Priyatna
Pada desa negeriku ini
akan kubangun rumah-rumah
disemai dari banyak pohon
hingga tumbuh bunga-bunga indah
Saat kudirikan
akan kubuat pondasi yang kokoh
dibentang dari batu cadas
agar tak goyah kala gempa melanda
Setelah selesai
akan kulukiskan warna-warni
disemai dari banyak bunga
agar indah sejuk dan damai
Pada rumah-rumah itu
akan kutanam benih-benih kasih
yang kubawa dari pondok petir
sehingga menjadi indra cinta
(Pondok Petir, 22 Pebruari 2013)
Langkah Kemenangan
Puisi : Edy Priyatna
Sesungguhnya pada hamparan
bumi indah nan luas bebas
warnanya sudah sangat merah putih
dibalik kepekatannya tersirat jelas
seruan memekik keberanian suci
membanggakan segala hati
memacu terus berjuang
semangat kemerdekaan tiada henti
Terjaga dari keterpurukan
dari sebuah permainan emosi
karena pemicu memacu ganggu
pemusatan daya ingat
bukan rasa yang tumbuh
tertutup lapisan kemauan
hingga menghasilkan derita
padahal penderitaan bukan sifat kita
Hilangnya rasa berkemampuan
terganggu tanggapan hati
berganti pada dasar alami
melatih diri untuk biasa
akan kembali sendiri
kemudian membakar semangat
bangkitkan untuk maju kembali
mengikuti jejak para pahlawan
Kini waktunya menampilkan
laga pada hamparan
tanah tumpah darah kita
tanah air bangsa
maju selangkah demi selangkah
dalam kebersamaan
untuk bangkit kembali
untuk kibarkan bendera
semangat dalam berlomba
semangat untuk menang
semangat untuk juara
(Pondok Petir, 23 Pebruari 2013)
Lihatlah Negeri Ini
Puisi : Edy Priyatna
Lihatlah negeri ini dengan matamu lebar-lebar
semua orang menjadi malu karena ulahmu
sebentar lagi negara ini akan rusak berantakan
menjadi bulan-bulanan bangsa lain
sekali lagi bukalah mata hatimu
sebelum azab mendatangi dirimu
Sekarang ini kau masih perkasa
pandai sangat luar biasa sebagai professional
namun tapi berjiwa penjahat ulung
kau pintar berkelit dan berdalih
merampas semua uang dari semua sektor
perpajakan, pendidikan, pertambangan
perhutanan, pertambangan dan sebagainya
dari proyek fisik hingga pengadaan
semuanya ingin kau jarah
Belum habis yang satu timbul yang lain
kau sudah berkomplot dalam jaringan
melibatkan banyak orang
dari kroco hingga pejabat
bahkan pesuruhpun diikutkannya
berbagai cara dihalalkan
yang penting dapat kemudahan
Ketika ditangkap pun tak merasa menyesal
kau pandai berkelit badan
kau pintar bersilat lidah
tidak mau mengakui salah
padahal sudah jelas terbukti
masih juga lakukan usaha
untuk kebebasan diri
kau pintar bersilat lidah
enggan dituding bermental murah
padahal dirimu manusia serakah
Lihatlah negeri ini dengan matamu lebar-lebar
semua orang menjadi malu karena ulahmu
sebentar lagi negara ini akan rusak berantakan
menjadi bulan-bulanan bangsa lain
sekali lagi bukalah mata hatimu
sebelum azab mendatangi dirimu
Lihatlah negeri ini dengan mata hatimu
semua rakyatnya menjadi miskin
semua rakyatnya menjadi gundah
semua rakyatnya menjadi gelisah
semua rakyatnya menjadi susah
semua rakyatnya harus menanggung akibat
(Pondok Petir, 21 Pebruari 2013)
Kepada Negaraku
Puisi : Edy Priyatna
Sentuhlah semangat butir pagi
dengan senyum yang ramah
bunga di taman nan indah
akan selalu kusirami
Sebagai janji bakti kepada ibu pertiwi
mengabdi kasih jiwa dan raga
mainkanlah melodimu
bukalah matamu nan lebar
Berdenyutlah terus jantung hatimu
karena akan kuikuti irama itu
agar membangkitkan gairah
pencinta nusa bangsa
Menuntun langkah-langkah kedepan
sebagai nasionalis sejati
senantiasa memuja tubuhmu
tak seperti embun diujung rumput
Bagai rasa tak berkesudahan
hingga diriku berharap
jiwamu membakar cintaku
tanganmu menyambut nafasku
(Pondok Petir, 24 Pebruari 2013)
Tanpa Rembulan
Puisi : Edy Priyatna
Senjaku terhalang kabut
merah jingga hanya terbayang
dibalik mega-mega hitam
titik-titik rindu mulai mengambang
menggantung diri di atas langit
turun perlahan satu demi satu
di tanah kosong
Lalu kubuka kain pengikat
tinggi di atas kepala luka
terbentur langit kosong
yang kini mendadak menjadi gelap
padahal hari masih petang
ingin rasanya menemani kekasih
memburu ujung rindu
Terlihat wajah nan sendu
tersaruk di belantara ragu
dengan langkah terus ke depan
membuat ku termenung
menanti sebuah susunan kata
sambil mereguk air-air rotan
guna melepas dahaga sesaat
Kini kembali kutatap langit
warna dan garisnya tetap sama
merah tak nyata lagi
walau hujan terlihat reda
malam tiba-tiba saja telah larut
nampak ada pendar cahaya
namun tak kulihat rembulan
(Pondok Petir, 26 Pebruari 2013)
Mengendap di Hatiku
Puisi : Edy Priyatna
Kau tetap menyimpan riwayat
pada pintu gerbang kecil
sesuatu senantiasa telah terhunus
mengalir cairan pekat berwarna putih
sebagai kelangsungan pemburuan
dapat membuat mati apa saja
Membangunkan jiwa
setelah malam berlalu
dan tetap menyimpan riwayat
menyimpan rasa sakit
yang menggerimis di mata indahmu
Bila saja kubenam rindu ke dadamu
ketika malam membelah senja
goresan kehidupan kuning jingga kemerahan
juga warna kenangan ada di matamu
Penutup hari pada minggu ini memucat
pintu dan jendela menelanjangi rembulan
purnama diam tak bergerak menanti fajar
udara di semesta sekedip bintang merenung
apakah ini
sepi berteduh di tubuhmu
daun-daun berdebu resah
waktu yang kau pinta mengendap di hatiku
(Pondok Petir, 06 Maret 2013)
Kesan yang Sama
Puisi : Edy Priyatna
Sebuah buku buram
mengingatkan aku lagi
akan gempa yang pernah kurasakan
di halaman berisi tumpukan-tumpukan
Waktu tersimpul jalin-menjalin tidak keruan
timbunan getaran itu kupikir adalah cobaan
dan orang yang sama denganku
di setiap lembar kata-kata di dalamnya
Setiap bunyi huruf yang ku baca
tak lain hanya angan-angan belaka
menyangkutkan cita-cita di atas langit
sungguh mengherankan
Di mana letak langit itu dan di mana orang yang sama
keberadaannya sirna bersama langit
tak terlihat oleh kaburnya mataku
saat kurasakan gempa sebelas tahun yang lalu
(Pondok Petir, 14 Maret 2013)
Tanpa Harus Ada Tanda-tanda
Puisi : Edy Priyatna
Tahun dua ribu dua belas
terdengar sebuah lagu yang amat tekenal
dalam sebuah kendaraan hitam
“…….dua-dua Januari tidak sendiri
berteman iblis yang baik hati
jalan berdampingan tak pernah ada tujuan
membelah malam mendung yang selalu datang
ku dekap erat………..ku pandang senyummu
dengan sorot mata yang keduanya buta
lalu kubisikan sebaris kata-kata
putus asa…………….sebentar lagi hujan”
Telah terjadi peristiwa besar
di mana dalam waktu beberapa detik
pada tengah hari bolong
namun dari pagi hingga siang tak terlihat adanya mendung
seperti tahun-tahun sebelumnya
ada orang di atas trotoar jalan
di hantam sebuah mobil hitam
delapan jiwa di cabut nyawanya secara bersamaan
atas perintah sang pencipta
tanpa harus ada tanda-tanda
(Pondok Petir, 14 Maret 2013)
Menciptakan Lukisan Indah
Puisi : Edy Priyatna
Air bagi penyair adalah unsur-unsur bahasa tulisan
mengalir menembus jantung gunung
menjadi renungan suatu angan-angan
tanah bagi penyair adalah seluruh keadaan hidup batin
Merasuk ke dalam tubuh tumbuhan
menjadi kebutuhan keberlangsungan kehidupan
api bagi penyair adalah pembakar jiwa
memanaskan tubuh mengobarkan semangat hidup
Menjadi penghangat gejolak hati
udara bagi penyair adalah impian
menembus mendekati langit jingga
menjadi jarak antara harapan dan kenyataan
Memilih angka-angka yang lain
larut dalam semangat
air tanah api udara
menciptakan lukisan indah abadi
(Pondok Petir, 15 Maret 2013)
Kau Tetap Menyimpan Riwayat
Puisi : Edy Priyatna
Kau tetap menyimpan riwayat
pada pintu gerbang kecil
sesuatu senantiasa telah terhunus
mengalir cairan pekat berwarna putih
sebagai kelangsungan pemburuan
dapat membuat mati apa saja
Membangunkan jiwa
melirik jam dinding
setelah malam berlalu
dan tetap menyimpan riwayat
menyimpan rasa sakit
yang menggerimis di mata indahmu
Suasana dingin hari sewaktu melewati
seperti angin yang berembus
membawa wewangian harum
membuat kuberhasrat mau
merasakan dirimu saat tak ada
saat kutepis adamu menjadi sunyi
(Pondok Petir, 16 Maret 2013)
Tak Jemu Mataku
Puisi : Edy Priyatna
Tak jemu mataku
melihat diri sendiri
sementara jari-jari
tangan terus mencari
Memilih huruf-huruf
hidup dan mati
otakku selalu berpikir
tanpa putus asa
Bergerak merayap
tak peduli kasatmata
untuk mencari kata-kata
merangkai keindahan
Tak jemu mataku
melirik jam dinding
yang menggantung di kamarku
mencari angka-angka yang lain
Larut dalam semangat
juga larut dalam lelah
namun benakku masih berpikir
lalu kuhisap sebatang rokok
Berharap senantiasa
mendapatkan kecerahan
kupandangi langit malam nan indah
menikmati keindahan
(Pondok Petir, 17 Maret 2013)
Sajak Cinta Cerah
Puisi : Edy Priyatna
Pagi ini kunikmati langit
berwarna biru segar nan indah
di terangi sedikit cahaya
sinar mentari di ufuk timur
membuatku mengucap syukur berulang-ulang
kepada sang pencipta
berharap senantiasa mendapatkan kecerahan
Lama kuikuti datangnya matahari
sambal merasakan kehangatan alami
di soroti bias cahaya
sinar harapan merasuk hati
demi mengharap cinta kasih
dzat yang maha tahu
menciptakan jiwa berseri bahagia
Bergerak merayap
terbang tinggi ke angkasa
menuju ujung langit
mengabaikan ratusan hijab
pada awal membantah kenyataan
akhirnya berjalan tanpa kaki
memandang bumi yang raib
tak peduli yang kasatmata
meneropong jauh keliling dunia
menembus ruang-ruang hakikat
(Pondok Petir, 17 Maret 2013)
Hujan Deras
Puisi : Edy Priyatna
Sangat indah datang pada hari ini
menggerimis jatuhnya
setitik demi setitik airnya
ikhlas menapaki bumi
di perintahkan oleh sang pencipta
Walaupun harus pecah pada atap-atap gedung
pada genting-genting rumah
pada pohon-pohon rindang
pada daun-daun lebat
pada batang ranting kering
pada rumput-rumput ilalang
hingga akhirnya menyerap di tanah
membuatku terpukau
Di balik rasa dingin
belaian angin yang lembut
mengantar beberapa rintik
melalui pagar halaman
menuju teras rumah
daun-daun jendela
lalu ke sebagian muka tubuhku
Kemudian kau bersendagurau
bercerita panjang tentang cinta
kisah rasa kasih nan abadi
dalam perjalanan jauh
mengenang kembali masa-masa silam
dengan kata-kata begitu mempesona
membuatku tercengang
Di balik rasa dingin
ketika kau datang mengirimkan aroma tanah kering
kembali kuingat sesuatu saat kau menemani
saat aku duduk sendiri disini
saat aku baru saja pindah ke tempat ini
saat hutan-hutan lebat
saat masih banyak kebun-kebun
saat sawah-sawah belum menjadi gedung-gedung
membuatku terkesima
Di balik rasa dingin
tiba-tiba tubuhku berubah menjadi pohon-pohon
lalu kau datang mengunjungi
airmu jatuh menderas di mataku
(Pondok Petir, 18 Maret 2013)
Memberikan Semangat Hidup
Puisi : Edy Priyatna
Aku terhempas pada batu-batu
yang terpecahkan oleh waktu
padahal baru kemarin pendulang kembali pulang
setelah desa dilanda gempa
kumandang suara pujian pun
masih sayup terdengar
menjadi hiasan batang-batang pohon
berasap wangi-wangian kayu
Debu butiran arang melekat pada sandang lusuh
mentari menyoroti sinarnya yang jauh
menghitung noktah titik demi titik
hingga menyerap rasa panas
dari kejauhan kembali terlihat
para petani mulai membersihkan lahan
di atas sawah-sawah kering
menari rentak dengan pacul-paculnya
Di pintu halaman masjid seorang sesepuh bergurau
membiarkan angin membasuh dirinya
dengan selingkar sinar cahaya
setelah ia menyapanya dengan zikir
mendorong langkah menuju kearah kiblat
meninggalkan selonggok batu hitam
yang berbentuk kecil-kecil mengkilat jernih
dan ujungnya tajam seperti pedang
Akupun menimbun malam setiap hari
segumpal-segumpal kusimpan dalam diri
lentera kerap menerangi hatiku yang kelam
hingga dapat kuintai ujung rembulan
dan juga kutatap bintang-bintang
menyingkap tirai hijab nan gaib
memberikan semangat hidup
membangunkan jiwa untuk melangkah di pagi hari
(Pondok Petir, 19 Maret 2013)
Wajahmu Masih Tertinggal
Puisi : Edy Priyatna
Setelah tiba di pertemuan
kedua matamu langsung mencari
tempat rasa gembira dalam hariku
pada semua sahabat-sahabat
yang suka berkarya
yang sering berbagi
yang selalu setia
yang senantiasa ada
dalam alam angan-angan
Hingga menjadi sebuah pertemuan nan indah
dan membuat rasa cinta dan kasih yang amat mengharukan
Setelah kembali pulang
kedua matamu langsung terpejam
terkenang dalam tidurmu
semua masa saat kita bersama
bersedagurau sehari penuh
saling berkarya
saling bercerita
saling bergembira
saling melepas rindu
dalam kebersamaan
Hingga kini wajahmu masih tertinggal di hatiku
dan takkan ada seorang yang mampu menghapusmu………
(Pondok Petir, 20 Maret 2013)
Menahan Kerinduan
Puisi : Edy Priyatna
Waktu dari pagi ke pagi
telah lama hati tak haru
mencekam dan mendebarkan ketika diadu
di atas roda besi menderu
suara lantang tanpa irama saling bersahutan
rasa harum masa lalu asmara mengayun dada
mengarah ke udara
melesat ke langit
menuju tanah baru
tanah rangkat hijau
Di bawah peneduh
kita terus bernyanyi
melesuri jalan berliku
mengarungi arus mega sejuk damai
mengabadikan persahabatan kita di bawah pelangi
Sampai tiba waktunya
semua dari awal
pasti kan kembali lagi
harapan terbang melayang dalam angan
suka cita masih jauh di ujung sungai
menahan kerinduan bertemu
kereta terus bergerak bagaikan peluru
menyusuri rel jauh di atas tanah panjang
melewati pos ronda para penjaga
singgah sebentar di stasiun cinta
hingga berhenti selama-lamanya
(Pondok Petir, 21 Maret 2013)
Puisi Malam Gulita
Puisi : Edy Priyatna
Senja telah terlewati
mentari pun mulai menyebarkan gelap
sementara beranda hati masih terluka
cemara menderak memanggil kita pulang
saat jingga mulai menghilang
gerak langkah cepat tidak biasa
lambat dan berat mengiring kelam
membuat kita tak tahu arah kembali
hingga kita saling terdiam
dan kita hanya dalam puisi
Pada malam telah larut
saat lidahku mulai kelu
tiba-tiba terdengar satu suara
angin hembusan nafasmu
membuat rasa rindu nan mendalam
dan ingin kugambarkan kisahmu
dengan goresan sajak-sajak indah
namun semuanya itu telah berlalu
bagaikan angin lalu yang hembuskan
semua cintaku padamu
Ketika perubahan waktu
malam pekat saat ini
aku ingin kamu datang
tanpa harus di jemput lagi
namun bila tak hendak
segera katakan jangan tunda
karena aku akan berteriak keras
kepada diri yang hidup
kepada diri yang mati
bangunlah kembali berdiri dan berlari
(Pondok Petir, 22 Maret 2013)
Kepada Saudaraku
Puisi : Edy Priyatna
Ketika senja menjadi atap
rumah pemimpin tertinggi
bangsa kita yang selalu berperkara
membuat lelah semua jiwa
di tengah habisnya harapan hidup
saat berkata di nilai sederhana
saat orasi di anggap dusta
tak selalu pernah di gubris
hingga semua kata tak bermakna
pengusaha telah kehilangan hati
kau tiba-tiba hadir dengan ikhlas
tanpa senjata
tanpa atribut
tanpa suara
melakukan unjuk rasa
bertemankan api meninggalkan suara raga
Mungkin sejarah pertama bangsa ini
akan bermakna bagi rakyatnya
sementara penguasa amat menyayangkan
kendati simpati maupun sangat prihatin
namun kau telah menyadarkan semua mata
negara sudah dalam keadaan kotor dan harus di bersihkan
Sikap tercela yang kau lakukan
membuat semua hormat padamu
kau di sayangkan karena dia tak tahu makna
kau sudah bicara walaupun tanpa suara
Sekarang kau tidur terbaring lemah
dengan mata tertutup
di depan orang banyak
dengan matanya terbuka
sunyi telah menggugah masalah-masalah
penderitaan
penganiayaan
pembohongan publik
punyalahgunaan
pendustaan
pengkorupsian
serta asa-asa negeri yang telah sirna
sehingga bermanfaat bagi kemajuan bangsa ini
kami berharap kau segara terjaga
karena kami ingin menanyakan siapa namamu
(Pondok Petir, 23 Maret 2013)
Angin Malam Ini
Puisi : Edy Priyatna
Angin malam ini
damai membilas tubuh-tubuh berpeluh
wajah-wajah pasi tidur berbaris tanpa topi
berbantalkan semangat pada tilamnya
Angin malam ini
terus menelusuri jalan-jalan darah
memasuki tulang-tulang belakang
mengibarkan bendera pada tiangnya
Angin malam ini
menyentuh dada membuatku terjaga
mengingatkan doa-doa tabur bunga
harum mu tak pernah sirna
Angin malam ini
secantik rembulan menjenguk
bumi tatkala tiba
membawa pewangi raut wajah
semua tercipta arena keinginan
saat inginku tak bisa
seakan tak sanggup meraih yang jauh
(Pondok Petir, 24 Maret 2013)
Tanah Airku
Puisi : Edy Priyatna
Tempat pengumpulan tonggak sejarah
nan melahirkan darah-darah kita
cermin melihat luka-luka
tempat untuk sirna dalam resah
saksi dari semua permasalahan
arena pertarungan merebut kekuasaan
suber mata air dan air mata
Sumber semua tulang-tulang
yang memuncratkan sumsum-sumsum
alam yang satu dalam damai
tempat kita selalu berpijak
di mana tonggak-tonggak yang menegakkan
bilakah kita ingat tanah ini
bila kita sedang dalam kesusahan di atas kegembiraan
Air jernih mengalir berlimpah
dari mata dalam perut bumimu
semua melihat dan menikmatinya
semua mendengar suara angin mendesing
dari samudera melewati pantai yang indah
menembus kesejukan pengunungan
membuat ikan-ikan menari di riak sungai
Burung-burungpun bernyanyi di pepohonan
adalah nyanyian bumi nan kaya raya
sudah letihkah kau melindungi kami
dan kita pemiliknya yang beruntung
karena isi alam ini anugerahNya
kita selalu bersyukur ikhlas kepadaNya
semoga bumi dan langit senantiasa damai karenaNya
(Pondok Petir, 25 Maret 2013)
Suara Lantang-lantang Merdeka
Puisi : Edy Priyatna
Kini aku terdiam seribu basa
dengan wajah yang masih muram
menghapus peluh air mata kiri dan kanan
mengeja jarak yang melukai hati
mencincang kata-kata yang ku anggap merdeka
dari hidup yang dulu jauh sesudah perang usai
dengan mendengar suara-suara lantang
yang berteriak dengan bahasa asing
Dalam mengadu berbagai macam alasan
pada sebuah diskusi yang besar
pada catatan hidup yang belum bersih
dari raut wajah bernoda biru
disiksa atau tersiksa
aku berusaha tersenyum walau membeku
panggailan suara nyaring
tetap tak di dengar oleh para penghuni tanah
Rindu yang tulus takkan lekang oleh waktu
adalah senandung pengantar tidur
status yang tertancap dalam kalbu
yang berduka bagaikan mayat tanpa rumah
saat berlari di setubuhi takut
tidak panjangpun tak berani di tunggu
kerinduan bagai api yang selalu menyala
dalam tidur masih tergambar warnanya
Ada waktunya kita mengenal lemah
bukan larut dalam kekalahan
ada saatnya kita mengenal kuat
bukan larut dalam ketakutan
suatu saat pasti kan datang
kita tak mungkin lagi selalu penuh rasa
di atasi dengan mantra-mantra
di tidurkan dengan cerita bintang dan rembulan
di beri angan keindahan pelangi-pelangi
sesungguhnya kita butuh keterbukaan dan kenyataan alami
dan nilai kita bukan kalah atau menang
juga bukan sedih dan senang
karena kita yang terbang membelah langit (Pondok Petir, 26 Maret 2013)
Karna Indonesia
Puisi : Edy Priyatna
Hari hujan semakin dekat
tapi karna semakan dekat
dengan komputer warnet
membuat cemas ayah dan ibu
ketika datang waktunya
harap tenang ada yang ujian
Karna tenang menghanyutkan
ia tak gentar menghadapi
lancar laksanakan semua ujian
keluarkan kemampuan daya maksimal
ketika datang waktu usai
harap di kumpulkan dengan tertib
Saat pengumuman tiba
hati mulai berdebar
tiba-tiba menjadi kejutan
karna lulus dengan terbaik
nilai rata-rata sepuluh ia dapatkan
sungguh luar biasa sangat membanggakan
Karna itu bapak datang……….
pemilik sekolah internasional
mengajak anak untuk bergabung
tanpa harus bayar biaya sekolah
tapi mesti ikut syarat ujian masuk
karna anak jenius lulus di terima dengan baik
Ketika bapak datang menjemput
karna menolak dengan alasan
di sana tak ada mata
pelajaran sejarah Indonesia
“Saya orang Indonesia…….,” katanya tegas.
“….bagaimana saya akan menjadi Indonesia,
kalau tidak pernah belajar sejarah Indonesia?”
(Pondok Petir, 27 Maret 2013)
Semangat Keikhlasan
Puisi : Edy Priyatna
Deretan rindu nan panjang
mengelana tanpa arah
membawa sajak-sajak
kesenyapan malam
hanya berkawan mimpi-mimpi
Keinginan bertemu kan datang
senantiasa tak bertuan
mengembara ke ujung negeri
mengejar semua bayang-bayang
untuk rindu yang terus menggelisahkan
Langkah kehidupan alam dunia
hanya sekejap saja
tanpa terasa usia
bertambah senja
semakin tiba di penghujung tahun
Waktu ini menjadi penilaian
gambaran kualitas hidup
jadikan peningkatan diri
menuju prestasi
lebih baik lagi di masa mendatang
Lembaran baru segera tiba
siapkan dengan isi
jangan sampai kosong
semangat perjuangan
harus selalu ada dan terus berkobar
Dengan roh kehidupan nan menjiwai
bersimpuh tiada henti
guna kehidupan lebih baik
dengan segala keikhlasan
senantiasa berkah dari Sang Pencipta
(Pondok Petir, 28 Maret 2013)
Negeriku Senantiasa Mewangi Sepanjang Masa
Puisi : Edy Priyatna
Saat ini aku berdiri di pematang sawah
luasnya sudah mulai berkurang
namun masih melihat indahnya gunung hijau
lukisan sempurna Sang Pencipta
tanah airku
Setelah kusebrangi bukit nan sedikit tandus
karena tumbuhannya sirna
akan berlari menuju pantai yang biru
di iringi hembusan angin sejuk
hingga terdengar suara ombak menderu
tanah airku
Langkahku terhenti dalam puisi
lalu melukis di dalam benak
gempuran badai mendera hati
letusan gunung menghetak jiwa
getaran bumi membelah hidup
sayup-sayup terdengar jeritan tangis ibu pertiwi
tanah airku
Ketika terjaga aku merunduk sedih
karena tak mampu melakukan apa-apa
hanya tangis tertumpah bersama doa
berharap melihatmu kembali bangit
benderamu selalu berkibar tinggi
senantiasa mewangi sepanjang masa
(Pondok Petir, 29 Maret 2013)
Sahabat, Masihkah Ada Aku Untukmu
Puisi : Edy Priyatna
Menepi dalam ketenangan
lepas bebas dalam alam kabir
pelangi fatamorgana mengurai
memulangkan luka sendiri
Lupakah aku akan segalanya
ketika terjaga dalam sorotan terik mentari
memaknai harfiah realitas
keredupan senja sisipkan sunyi
Sahabatku
berpalinglah sebentar walaupun jauh
tempatkan aku di ronggamu
datanglah dari letak diri
sampaikan isi hatimu
aku rindu kebersamaan
Sahabatku
tolong tatap raut muka ini
lihat dada nan lapang
sorot tajam mata hati
sahut suara dari mulut
semua yang kumiliki
masihkah ada aku untukmu
(Pondok Petir, 29 Maret 2013)
Negeri Itu Tak Lagi Memiliki Pagi
Puisi : Edy Priyatna
Menurut kata sahibulhikayat
ada sebuah negeri impian
konon negeri ini
menjadi negeri para penangis
berpenghuni jutaan kesedihan
dalam dongeng-dongeng tragis
di mana semua isi buminya hampir sirna
Menurut kata sahibulhikayat
ada sebuah negeri impian
sebuah republik
yang para pemimpinnya tertidur
sepanjang hari
di atas kursi-kursi hangat
di balik ruang janji-janji
hingga tak sadar hartanya di curi
Menurut kata sahibulhikayat
ada sebuah negeri impian
ternyata negeri ini
sudah tak punya rembulan
bahkan tak punya matahari
yang ada hanya bayang-bayang ilusi
menutupi para penguasa memperkaya diri
Menurut kata sahibulhikayat
siapkan dengan isi
jangan sampai kosong
semangat perjuangan
harus selalu ada dan terus berkorban
kini negeri itu tidak lagi memiliki pagi
karena di sini esok tak pernah pasti
(Pondok Petir, 30 Maret 2013)
Lihatmu Rindu, Langkahkan Satu Kaki
Puisi : Edy Priyatna
Dengar getarannya
dengar suaranya
sajak-sajak kumandang
di langit biru berhitam
Ketika mata air menjulang
di bawah rumpun bambu
saat sawah mulai meninggi
batang-batangnya tergerai
Di ringi suara tiruan bunyi papan bersangit
kau masih mendengar getarannya
setelah lepas dari pandangan
tak terhindar pada mataku
Pada desa negeriku ini
akan kubangun rumah-rumah
di semai dari banyak pohon
hingga tumbuh bunga-bunga indah
Saat kudirikan
akan kubuat pondasi yang kokoh
di bentang dari batu cadas
agar tak goyah gala gempa melanda
Setelah selesai
akan kulukiskan warna-warni
di semai dari banyak bunga
agar indah sejuk dan damai
Pada rumah-rumah itu
akan kutanam benih-benih kasih
yang kubawa dari pondok petir
sehingga menjadi rumah-rumah cinta
Lihatmu rindu lihatku juga
langkahkan satu kaki
kuraih tubuh menbentang
kupegang tangan tanah
kupeluk batang sawah
kubelai pulau-pulau
kucium mulutmu demi cinta
(Pondok Petir, 31 Maret 2013)
Tak Seperti Embun Diujung Rumput
Puisi : Edy Priyatna
Sebenarnya pada hamparan
bumi indah nan luas bebas
warna sudah sangat merah putih
dibalik kepekatannya tersirat jelah
seruan memekik keberanian suci
membanggakan segala hati
memacu terus berjuang
semangat kemedekaan tiada henti
Tersadar dari keterpurukan
dari sebuah permainan emosi
karena pemicu memacu ganggu
pemusatan daya ingat
bukan rasa yang tumbuh
tertutup lapisan kemauan
hingga menghasilkan derita
padahal penderitaan bukan sifat kita
Hilangnya rasa bertenaga
terganggu tanggapan hati
berganti pada dasar alami
melatih diri untuk biasa
akan kembali sendiri
akan berubah nyata
kemudian membakar semangat
bangkitkan untuk maju kembali
Sekarang waktunya menampilkan
laga pada hamparan
tanah tumpah darah kita
tanah air bangsa
maju selangkah demi selangkah
dalam kebersamaan
untuk bangkit kembali
untuk kibarkan bendera
Kemauan dalam berlomba
gelora untuk menang
semangat untuk juara
sentulah semangat butir pagi
dengan senyum yang ramah
bunga di taman nan indah
akan selalu kusirami
sebagai janji bakti kepada ibu pertiwi
Membaktikan kasih jiwa dan raga
mainkanlah melodimu
bukalah matamu nan lebar
berdenyutlah terus jantung hatimu
karena akan kuikuti irama itu
agar membangkitkan gairah
pencinta nusa bangsa
bangkinkan untuk maju kembali
Mengendalikan langkah-langkah ke depan
sebagai nasonalis sejati
senantiasa memuja tubuhmu
tak seperti embun di ujung rumput
namun sebagai rasa tak berkesudahan
hingga diri berharap
jiwamu membakar cintaku
tanganmu menyambut nafasmu
(Pondok Petir, 01 April 2013)
Hari Ini Aku Tak Dapat Kembali
Puisi : Edy Priyatna
Hari ini aku baru sadar
telah terjerumus
telalu jauh kedasar hatimu
menelusuri sawah hijau
menhyebrangi sungai bening
melintasi hutan belantara
gunung-gunung menjulang
awan putih langit biru
berdebar jantung
bungamu amat harum
begerak masuk kesemua urat nadiku
meleleh keseluruh nafasmu
tak pernah ku pikirkan luka
Hari ini aku telah terjerumus
terlalu jauh kedasar hatimu
kau sangat menyenangkan
jalan sunyi yang berliku
sebelum mengalir pahit
di sisi rel kereta tepi sawah luas
pengujung jalan ini
Hari ini aku tak dapat kembali
karena telah terlalu jauh
memasuki hatimu
tanpa tahu dimana akhirnya
atau hingga waktu tiada kita
(Pondok Petir, 02 April 2013)
Rindu Kembali
Puisi : Edy Priyatna
Mulanya malam ini aku melewati rumahmu
jalan raya menjadi batas perintang
lamunanku terasa panjang
tentang tawamu duku
di halaman depan rumah
menjadi selambar goresan
terdapat bayangan angan
Bias dalam kaca
ada rasa kecewa
yang lepas dalam nafas
semua pembicaraan kita
akan berubah nyata
tercatas jelas di halaman muka
buku rinduku
Biarkanlah aku terbang
bersama burung-burung malam
walaupun medannya cukup sulit
dan menelan segala energi
selama waktu masih terus berjalan
untuk kembali turun pada pagi hari
ke kampung halaman
Ketahuan ada kasih yang hilang
pada sayap-sayap retak
terbukti ada cinta yang putus
pada ekor terpatuk lawan
terbukti ada rasa rindu yang dalam
pada tembolok merambat ke paruh
membawa dirimu ke mimpi tidurku
Kini biarkanlah aku sediri beralih
melepaskan lelah perjalanan
di atas pembaringan putih
panjang membentang harapan
sejenak melupakan segala rasa
menepiskan semua keraguan
untuk senantiasa selamanya bersamamu
(Pondok Petir, 03 April 2013)
Kasih Kudekap Dirimu
Puisi : Edy Priyatna
Andaikan keranjinganku dapat menarik perhatianmu
atau malah merupakan angka nol besar bagimu
maafkanlah aku karena aku suka nol kecil
aku dapat melihat di dalam mataku
pada lintup bayangannya ada sedikit pendar cahaya
ketika senja aku bersandar di pondoknya
Kemudian terhantar dalam tidur yang indah
dalam rindu kubelai rembulan
dan kusapa bintang-bintang
kulipat pelepah daun panjang menjadi hiasan
sambal kurebahkan diriku yang letih
lalu kuberi minum bibirku yang dahaga
kepenuhi semua gairahku yang telah menanggung rindu
Prima bertemu ketika kita masih terasa asing
tak ada rasa selain dukaku melangkah di jalan itu
bulat polos tidak terselubung
bergerak lemah masygul
sedih seperti gagal
membisu dalam kekecewaan
membelenggu diri yang telah bergulat mati-matian
Sebagai sajak………..
kau di bunuh kehampaan dan kebodohan
membuat jiwa bergetar
saat sorot mataku tak berkedip menatapmu
serasa ada benda tajam mengalir dalam darah
membersihkan seluruh jantungku
dalam bayangan matamu yang bening
jika suatu saat nanti kita bertemu kembali di jalan itu
maka akan kudekap dirimu dan juga jalan itu
(Pondok Petir, 04 April 2013)
Bungaku Melayang Terbang
Puisi :Edy Priyatna
Dihargai semua orang
setiap saat tanpa melihat waktu
bunga lima helai daun mahkota
mengandung cinta kasih sayang
lambang anti kekerasan
senantiasa menerima keadaan
baik dan buruk secara alami
Semerbak pada hembusan angin
mengundang para sahabat
dalam rasa bersukacita
beradaptasi dengan duri lurus
menahan kerusakan melindungi diri
terlihat sejuk dipandang mata
bermanfaat nan amat sangat
Merah putih hingga jingga
daunnya hijau sepanjang jaman
wanginya tak lekang oleh waktu
selalu cantik karena berduri
saat udara bersuhu rendah
mendatangkan rasa menggigil
dan kuteteskan rasa haru
Telah membebani otakku
terus terpatri dalam hati
mendatangkan rasa menggigil
kenapa menjadi lupa pada diri
melayang terbang
tak melihat mata rasa
sehingga mati rasa
Seperti dingin terpaut luka
dan timbul abses cinta
akan kembali sendiri
akan berubah nyata
melayang terbang
dari kesenyapan
terpelesat ke angkasa
(Pondok Petir, 04 April 2013)
Pada Malam Sepi
Puisi : Edy Priyatna
Barangkali sebagian diriku
akan tetap berdiam di sini
menjadi kenangan lama
namun aku ingin pergi jauh
entah kemana
Selaku warga alam fana lainnya
yang melihat secara baik segala kehidupan ini
sementara semua luka akan kusembuhkan
karena pasti akan sirna sendiri
seperti dulu
ketika kita berjumpa pertama kali
Selepas masih secara paling indah
walau bagaimanapun aku akan tetap
mempertahankan rasa kasih yang tertinggal
pada saat pagi
aku berangkat melangkah
mengikuti arah jejak angan
kembali menelusuri jalan berliku berdebu
Kardia pun berdetak
mengejar waktu berputar
kau sangat melindungi bermanfaat
kau amat berguna bagi siapapun
ketika senja pada bayang sirna
hari masih tetap terus mengalir
aku tak pernah berhenti pada batas
karena dewi fortuna di antara ada dan tiada
(Pondok Petir, 05 April 2013)
Korupsi Para Pejabat Negeri
Puisi : Edy Priyatna
Musim ini terjadi lagi
bagaikan kompetisi bola dunia
sebuah berita tidak menyenangkan
bukan karena ada kalah atau menang
tetapi kisah kasus pejabat-pejabat lalai
dalam mengemban tugas negara
yang sangat menyedihkan rakyat
seperti selalu tiada henti
Musim ini jumlah tikus-tikus bertambah lagi
tikus-tikus negeri yang menggrogoti uang rakyat
telah tercatat diseluruh media
padahal sudah dijaga ketat agar tidak merajalela
namun masih tetap terulang kembali
lolos dan bebas dari penjagaan
yang lebih menyakitkan
ditangkap pun akan sia-sia
Musim ini penipuan terjadi lagi
bukan sebagai prediksi
bukan basa-basi
bukan kisah fiksi
bukan cerita sensasi
bukan berita informasi
bukan berita ilusi
kicauan burung-burung gereja diatas gedung tinggi
Musim ini terjadi lagi
korupsi para pejabat negeri
kisah nyata senantiasa jadi cerita
yang menjadikan
semua rakyat menangung akibat
semua rakyat menjadi tambah menderita
(Pondok Petir, 06 April 2013)
Setelah Kemarin Meraih Kebahagiaan
Puisi : Edy Priyatna
Pada pagi hari ini
aku siapkan sebuah anak panah
rasa dukaku yang dalam
untuk dilepaskan keatas langit
setelah kemarin meraih kebahagiaan
yang tak dapat dinilai berapa besarnya
Hujan belum mau jatuh ke bumi
ketika aku melangkahkan kaki kecil
meski kabut senja
membuat samar mata memandang
jauh di depan masih ada seberkas sinar
namun keyakinan masih diserang keraguan kalbu
Pada siang harinya
akan aku sampaikan cerita ini
langsung pada matahari
saat angin mulai bergerak
ditengah datangnya kecerahan
hingga membuat diriku merasa lebih lega
Cerah pada langit mulai bergerak
menandai lubang-lubang hitam
kendati angin badai membelai jiwa putih
menghempas memperpanjang waktu
untuk tiba disudut ruang baru
mengabadikan air kesedihan
Pada malam harinya
aku akan titipkan busur pada bintang
agar mereka menyampaikan
rasa kasihku yang besar
pada rembulan yang telah pergi
agar dapat kembali lagi dengan bulatnya
(Pondok Petir, 07 April 2013)
Untuk Sebuah Cita-cita Mulia
Puisi : Edy Priyatna
Demi kutatap matamu
tergambar ada cinta tertahan
menanti indikasi luapan mendung
tanpa terucap peluklah daku
leburkan aku dalam hujanmu
sebuah kebimbangan di depan pintu hati
yang masih terkunci rapat
ketika kita memegang lilin
kolaborasi akhir waktu lalu
Ketika itu aku tahu kau tak tahu
telah datang rintik-rintik kesejukan
yang terbaring diatas mega kelabu
tertahan turun oleh kegalauan
dalam benak nan kacau
sebuah ketidaktahuan yang mendebarkan
yang membuat sirna rasa sakit
lama membenam tahun-tahun lalu
sebelum pertemuan itu tiba kemarin
Waktu akhirnya titik-titik air berjatuhan
terasa deras hati ini tersiram
ketenangan telah menyelimuti
jiwa yang terbanjiri kehangatan
oleh tujuh pasang mata nan indah
sebuah kenangan cinta abadi
takkan terlupakan selama-lamanya
tercatat pada langit biru
untuk sebuah cita-cita mulia
(Pondok Petir, 08 April 2013)
Tanganmu Menyambut Napasku
Puisi : Edy Priyatna
Singgunglah semangat butir pagi
dengan senyum yang ramah
bunga di taman nan indah
akan selalu kusirami
Selaku janji bakti kepada ibu pertiwi
mengabdi kasih jiwa dan raga
mainkanlah melodimu
bukalah matamu nan lebar
Bergeraklah terus jantung hatimu
karena akan kuikuti irama itu
agar membangkitkan gairah
pencinta nusa bangsa
Mengendalikan langkah-langkah kedepan
sebagai nasionalis sejati
senantiasa memuja tubuhmu
tak seperti embun diujung rumput
Laksana rasa tak berkesudahan
hingga diriku berharap
jiwamu membakar cintaku
tanganmu menyambut napasku
(Pondok Petir, 09 April 2013)
Menciptakan Kebersamaan yang Indah
Puisi : Edy Priyatna
Sebentuk realisasi kehidupan yang berjalan
suka dan duka
dalam cerah membentang mega kelabu
dalam kegembiraan ada kesusahan
dalam suka terbesit kesengsaraan
kaki tidak dapat digeraki
tetapi hidup tidak untuk disesali
Jagat terkadang tak seindah yang terlihat
biru dan hitam
dalam gulungan kerap mangsai
dalam senyum besar para pemimpin
ada tangisan kecil rakyat
saat epidemi tiba dari muka hingga ke batas
saat itu pula penyelewengan naik ke permukaan
hati ini ingin menjerit
Bukit nan selalu ramahpun menjadi murka
sejuk dan membara
dalam gelap tangannya berdarah
dalam menuntut rasa kemanusiaan
penuh perjuangan hidup hingga mati
setiap bala bantuan datang bagi rakyat
setiap itu pula kebahagiaan pemimpin tiba
masuk ke dalam kalbu nan resah
Aktif penuh cita-cita
suka dan duka
namun lidah ini terasa kelu
kehidupan adalah bangkit
dari putaran dan keterpurukan
betapa beruntungnya kita ini
telah hidup di negeri berdaulat
walau keadilan masih belum begitu dijunjung tinggi
Menggembirakan kita belajar hidup
kendati belum maksimal
kesinambungan berjalan perlahan
bertahan dalam damai tanpa perang
negeri sejuk karena kerukunan
menciptakan kebersamaan yang indah
menuju masa depan dengan keihklasan
dalam perlindunganNya pada setiap waktu
(Pondok Petir, 10 April 2013)
Panggilan Suara Nyaring
Puisi : Edy Priyatna
Saat ini aku terdiam seribu basa
dengan wajah yang masih muram
menghapus peluh air mata kiri dan kanan
mengeja jarak yang melukai hati
Melenyapkan kata-kata yang ku anggap merdeka
dari hidup yang dulu jauh sesudah perang usai
dengan mendengar suara-suara lantang
yang berteriak dengan bahasa asing
Suara hidup suka dan duka
dalam mengadu berbagai macam alasan
pada sebuah diskusi yang besar
catatan hidup yang belum bersih
Tentang raut wajah bernoda biru
aku berusaha tersenyum walau membeku
panggilan suara nyaring
tetap tak di dengar oleh para penghuni tanah
(Pondok Petir, 11 April 2013)
Aku Telah Tiada
Puisi : Edy Priyatna
Mencapai tiba waktunya
aku akan tunjukan pada kalian
sekaligus aku tutup diriku
tapi jangan kalian anggap aku ini siapa
anggap saja aku makhluk baru
Telah hampir setahun bersamamu
dan setiap hari selalu kalian robek diriku
atau anggap saja aku makhluk lama
yang bangkit dari keterpurukan
lalu akan segera beranjak pergi
Mendarat mampir diruang diri
semua tercipta karena keinginan
saat inginku tak bisa
seakan tak sanggup meraih yang jauh
takkan pernah kembali lagi
Tanpa kalian sesali diriku
harapku agar kalian pahami ini
aku belum menginginkan kalian saat ini
namun jika aku telah membeku
kalian pasti tahu bahwa aku telah tiada
(Pondok Petir, 12 April 2013)
Warnanya Telah Berubah
Puisi : Edy Priyatna
Sikunya amat tajam
diasah goresan hitammu
menusuk dan membakar dengan gemas
membuat kobaran api sepi menjadi kelam
Saat menjadi bunga dalam mimpi
durinya menjalar pada ranting
tak ada tangan-tangan yang datang
hingga tak terpetik lagi
Akan datang setelah bait-bait dalam sajak
terlulis dengan kegosongan
hitamnya dimasukkan ke dalam gelas
raut wajah terlihat tak jelas
Saat ini warnanya telah berubah
hingga membuatku terjaga
dan sadar bila membiarkan emosi
bagai tak memiliki cermin untuk introspeksi
(Pondok Petir, 13 April 2013)
Semangatku Tak Pernah Padam
Puisi : Edy Priyatna
Engkau selalu memiliki matahari
yang mencari sajak indah
untuk kusunting sebagai hiasan kata-kata
pada tiap lekuk cantiknya
Senggat melahirkan berahi sepanjang hari
setiap malam kucumbu dengan senandung
alunan gita lembut nan merdu
ketika pagi menjelang kupeluk dengan puisi
Bagi karena kejauhanmu
yang tak pernah ingin berhenti mencuri
maka kau tak pernah tahu
dengan mimpi-mimpi aku mencarimu
Ibarat asa yang tertandu di kelopak mata
tertahan ditelan prahara
terlihat wajahmu berona putih
ranum bercahaya indah
Sore ini kau kembali bertakhta
merajut ulang keramaian masa lalu
bersenda gurau nikmat nan syahdu
meskipun semuanya tak pernah nyata
Lamun aku mampu merasakan hadirmu
laksana angin sejuk dalam perjalanan
tawa ekspresifmu yang tanpa suara
lentera ruang mimpiku
Celoteh keinginanmu
yang terdengar dari kejauhan
adalah halaman kehidupan
semangatku tak pernah padam
(Pondok Petir, 14 April 2013)
Kepada Pemuda Indonesia
Puisi : Edy Priyatna
Nang dulu telah berjuang
kemudian menjadi pahlawan
kini telah mewarisi
janji sumpah yang senantiasa bergema
Jangan berhenti di seluruh penjuru nusantara
kami putra dan putri Indonesia berjanji
akan menjaga untuk tetap bersatu
mengabadikan lentera nusantaramu
Untuk melebur semangat
menjadi pedang yang tajam
untuk selalu menjaga tetap bergema
kami putra dan putri Indonesia
Mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia
sebatas mentari tenggelam di seberang timur
(Pondok Petir, 24 April 2013)
Lukisan Senja
Puisi : Edy Priyatna
Jarum jam di dinding terus berputar
tak pernah berhenti
hari pertama mulai berkesan
penantian mendebarkan hati
menyentak rasa suka citaku
Kecil hati selalu putaran itu
geraknya begitu cepat
padahal belum sempat berkata maaf
pada mereka semua
orang tuaku
keluargaku
saudaraku
sahabatku
atas kesalahan yang melimpah dalam hidup
Jarum jam di dinding terus berputar
tak pernah berhenti
pagi terlihat sangat cerah
embunnya menguap pancarkan sinar
membangunkan jiwa pelangiku
Beradulah sebentar
aku akan mengatakan sesuatu
ampunilah dosa-dosaku ya Allah
ampunilah dosa-dosaku ibu
ampunilah dosa-dosaku ayah
ampunilah dosa-dosaku istriku, anakku
ampunilah dosa-dosaku adik-adikku, kakak-kakakku
ampunilah dosa-dosaku saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku
Jarum jam di dinding terus berputar
tak pernah berhenti
siang datang begitu pesat
serupa terang mentari melayang
menembus batas rinduku
Sanggupkah menunggu barang sejenak
mengapa kau tak menjawab pertanyaanku
goresanmu telah melingkari hati
melepas semua rindu pada malammu
bayangmu biaskan jiwa yang tenggelam
Jarum jam di dinding terus berputar
tak pernah berhenti
malam masih tetap terjaga
bagai gelap yang telah sirna
menghilang dibalik rembulanku
Mewujudkan mimpi-mimpi indah
kenangkan di dada tentang jiwa
teteskan kesejukan dalam damai
torehkan keindahan dalam ramai
hingga tembus dalam ruang dan waktu
akan kuterbangkan angan
Terhadap lukisan senjamu
kunyanyikan kidung-kidung malam
untuk penutup langitmu
lalu kutulis dalam lembar-lembar hati ini
tentang cerita malam serta pesan dan kesan
agar tetap dapat tersimpan semua cita-cita kita
(Pondok petir, 25 April 2013)
Yang Melepaskan Isi Jiwa
Puisi : Edy Priyatna
Hayat ini mulai ringkih
setelah melangkahkan kaki
pada malam tak bergairah
kemudian………..
dibiarkannya langit hitam nan kosong
Sayur tak bersuara
ketika datang hampa udara
menunda turunnya hujan
dibiarkannya lembar goresan beku
dengan setangkai pena kaku
Tercatat tajam dalam sajak
menusuk dada yang sesak
dibiarkannya matahari melumat tubuh
memancarkan cahaya sinar
yang melepaskan isi jiwa
Beramanat damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
sambil menghitung dengan pasti
panggilan yang mampir di ruang diri
padahal kematian bukan sekedar kepindahan
(Pondok Petir, 26 April 2013)
Penanam di Desaku
Puisi : Edy Priyatna
Bangkitlah dengan semangat kebahagiaan
lupakan keresahan-keresahan
bercahayalah dengan keseimbangan
cerahlah dengan senyum matahari
berawan putih di langit biru
Berladang kuning di sawah hijau
di tanah merah berlapis coklat
lapisi abu-abumu dengan jingga
lalu hujanlah untuk melepas segala kerinduan
keindahan hati…..
kesejukan ruang……
kedamaian jiwa…….
keramaian desa……..
Musim telah lewat walau perlahan tapi amat pasti
kenangkan pertemuan-pertemuan
simpanlah dengan rasa kasih
sayangilah dengan cinta suci nan abadi
berkesan indah di dalam sejuk
Beramanat damai di dalam ramai
di atas segala bentuk isi jantungmu
kibarkan bendera semangat
lalu beningkan mata airmu untuk kebersamaan
sahabat sehati………
sahabat seruang……….
sahabat sewaktu………..
sahabat sejati…………
Yaum adalah lembaran baru bagimu
jejak langkah-langkah mulai tertanda lagi
akan ada banyak pelangi yang menghiasi sawahmu
senantiasa memberikan nikmat para petaninya
perkenankanlah aku menuturkan goresan hati
Secantik rembulan menjenguk bumi
semua tercipta karena keinginan
semangat ulang tahun
tolong catat dihatimu
aku juga penanam di desaku
(Pondok Petir, 27 April 2013)
Sajak dalam Tanah
Puisi : Edy Priyatna
Detail sajak-sajak sunyi
terukir data-data penyair
pada batu-batu pualam indah
yang ditanam sebagai tonggak
Di arah tanah kavling
lalu setelah selesai membaca
tak perlu ditanyakan lagi
siapa yang terdahulu dilahirkan
Keadaan ini aku pergi ke desa
membawa pesan dari sahabat
kabar gembira dari semesta
dikala langit sedang berwarna-warni
Lapisan bianglala indah
kemudian air jatuh membawa nasihat
memberi kekuatan penuh semangat
pada hujan dalam bulan
Kurun memberi harapan
sementara angin menggerakan tubuhku
tunas dan buah pun tumbuh
karena pergumulan tabu
Siapa aku, siapa kamu
siapa kita, siapa waktu
sehingga berjalan begitu akrab
langkah hati mewujudkan percakapan
Mewujudkan sajak-sajak yang terus mengalir
maka disinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala
dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan
untuk hari esok……………
(Pondok Petir, 28 April 2013)
Maut Menjemputku
Puisi : Edy Priyatna
Manakala maut menjemput
tiada seorangpun mampu menolak tuk turut
tubuh menggigil penuh rasa takut
tak berdaya melawan malaikat maut
Seketika jiwaku terasa sarat
entah mengapa tubuhku menjadi berat
apakah ini yang dinamakan sekarat
jiwa masih tak yakin
Maka maut telah menjemput
terlalu banyak dosa yang kuperbuat
tanpa ada waktuku untuk bertaubat
kemarin aku masih tertawa ria
Musim ini diam seribu bahasa
kemarin aku masih berlari gembira
hari ini berdiripun tak kuasa
kemarin aku masih menulis cerita
Tanggal ini menggerakkan jaripun aku tak bisa
tubuhku terbujur kaku tak bernyawa
tak pedulikan jerit tangis mereka
yang membawaku menuju peraduan terakhir raga
Merindukan hingga kiamat tiba
yang entah berapa tahun lagi lamanya
kini dalam gundukan tanah aku sendiri
tiada suatu apapun yang menemani
Tetaplah pada jalur jiwaku
semua harta milikku kini tak berarti
anak, orangtua, keluarga, saudara dan teman
meninggalkanku seorang diri
Serta aku benar-benar sendiri
menyaksikan siang dan malam tanpa matahari
membiarkan cacing dan serangga menggerogoti jasad ini
dalam gelap yang pekat dalam sunyi dan sepi
Seketika mataku terbuka lagi
aku terjaga dari mimpi
tanpa terasa air mata membasahi pipi
subhanallah ternyata Tuhan telah membuka mata hati
Karena takut tak kan menyesakkanmu
dengan serangkaian peristiwa ini
dihadapanMu kubersujud berserah diri
bertaubat dan melaksanakan kewajiban Illahi
(Pondok Petir, 29 April 2013)
Ranum Menantang Telanjang
Puisi : Edy Priyatna
Gerimis belum mau jatuh ke bumi
ketika aku melangkahkan kaki kecil
meski kabut senja membuat samar mata memandang
jauh di depan masih ada seberkas sinar
namun keyakinan masih diserang keraguan kalbu
Sebaran pada lendir kelemayar memberi petunjuk
jalan berliku kian sarat kelelahan
mengikis habis sedikit demi sedikit
setubuh daya raga memberi pilihan
patah atau semangat yang hinggap
Jeluk hati yang selalu ada keluh
mengganggu benak untuk berperang
setelah habis mengasah pikiran
jejak-jejak dapat tertapak
meninggalkan rasa sia-sia
Bening pada langit mulai bergerak
menandai lubang-lubang hitam
kendati angin badai membelai jiwa putih
menghempas memperpanjang waktu
untuk tiba disudut ruang baru
Melestarikan air kesedihan dan gelas kegembiraan
pada dinding yang melukiskan angan
tempat membuat cinta dan cita
untuk dipersembahkan Sang Pencipta
dengan harap terhingga pada kelemahan hati
Binar itu akan datang
disetiap tarikan hembusan nafas
disetiap detak-detak jantung
akhir sebuah keyakinan kiranya takkan sia-sia
Ingin angin malam mendekap kesunyian
Saya yang sendiri berjalan dipersimpangan
bulan hilang ditelan kelam awan
memandang lelap wajahmu
kuharap ada kepastian
manakala kau terjaga di keesokan fajar
Pacak seksi bertubuh padat
penuh coretan hitam
terurai panjang menggemaskan
tergambar jelas dilembar daun kuning nan kering
terlihat membentang merangsang
Jangan terbalut sehelai benang
tampak buah yang ranum menantang telanjang
meronta-ronta mengelak menggelinjang
ketika kelopak keriput dibelai puisi
lalu tangan-tangan menyusuri kembang
(Pondok Petir, 30 April 2013)
Semua Racun Dunia
Puisi : Edy Priyatna
Berkenaan kisah sebuah cerita
tentang negeriku negerimu dan negeri kita
menebus jiwa hilang
dan rembulan hadir memayungi kita
dirimu mendekapku dalam rengkuhan gelora
Kampung dengan masa kejayaan membentang
seisi negeri gegap gempita, bersukacita
mabuk kepayang hingga bencana menyerang
memporakporandakan bumi pertiwi
hancurkan tanah leburkan air
Sederhana bila kalian kerap egoistis
sulit untuk bersatu padu
karena kesadaran sirna
keangkuhan terus merajalela
bukankah segala sesuatunya perlu pakai hati nurani
Termangu dan pikirkan
banyak peristiwa yang telah terjadi
musibah besar dalam negeri ini
adalah pertanda kita semua
sadar berbuat dan bertaubat pada Sang Pencipta
Dogma banyak contoh yang baik yang bertebaran
bangunanlah bangsa ini dengan benar
hindari pertikaian dan jauhi kekerasan
menjadi pemimpin jujur dan
bijaksana perlu kau camkan
Bentuk adalah tanah kelahiranmu
tanah tumpah darahmu berjuang
membaur bersama pacu detak rindu
untuk kemajuan bangsa kita
seterang dan menderangnya sang surya
Ekspres bangkit dan bekerja
hapuskan miras dari benak
juga tebaran narkoba jahanam
karena semua itu racun dunia
membuatmu saling bertikai tanpa berpikir panjang
Berpeluk dalam buaian purnama yang mulai menyembul
memacumu saling berlomba kemaksiatan
menjadikan dirimu rajin bermalas-malasan
menciptakan rasa resah dan gelisah
hingga terperosok ke jurang penyesalan
Gelegaklah tanpa batas
belajarlah tiada henti
berkreativitaskah tanpa putus asa
berjuanglah setiap saat
berperanglah pantang mundur
Tidak pernah berhenti
jangan pernah surut
untuk sebuah cita-cita mulia
memajukanlah negeri dan bangsa ini
tempat jiwamu bersemayam di masa depan
(Pondok Petir, 01 Mei 2013)