Tips Menulis Lebih Baik: Kajian Neurosains
Oleh Erry Yulia Siahaan
Bagaimana cara menulis dengan baik? Banyak jawaban yang bakal muncul dari satu pertanyaan ini. Dari para penulis yang relatif masih baru sampai mereka yang jam terbangnya sudah tinggi. Tips yang mungkin muncul biasanya bersifat umum. Misalnya, bahwa tulisan sebaiknya membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, mengocok emosi, dan sebagainya. Tips-tips itu antara lain berangkat dari pengalaman yang bersangkutan atau bersifat subjektif.
Sebuah ulasan yang tidak biasa muncul dalam Psychology Today edisi Senin, 27 Maret 2023. Bill Birchard mengemukakan tips untuk menulis lebih baik berdasarkan kajian neurosains terkait bagaimana tubuh (khususnya otak, saraf , dan otot) bekerja dalam merespon sebuah tulisan atau perkataan.
Beberapa tahun terakhir, para ahli di bidang ilmu psikologi, neurosains, dan linguistik gencar melakukan riset tentang bagaimana otak mengolah kata-kata dan makna. Data ini bersifat objektif (berdasarkan bukti sains) dan ini sangat membantu manusia untuk bisa berkomunikasi dengan lebih baik dan efektif.
Otak dan Tubuh
Birchard adalah seorang penulis, guru menulis, dan konsultan buku. Birchard banyak menulis soal neurosains dan psikologi.
Berdasarkan sejumlah referensi yang menjadi acuan tulisannya yang dibukukan itu, Birchard menjelaskan, kemunculan kata-kata ternyata bisa mengaktifkan lebih banyak rangkaian saraf dalam otak daripada yang pernah dipikirkan oleh para ilmuwan.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Adolpho Garcia pada Institute of Cognitive and Translational Neuroscience, Favaloro University di Buenos Aires, Argentina, melakukan percobaan. Mereka meminta sejumlah orang untuk membaca teks yang berisi kata kerja aktif dan kata kerja pasif.
“I am walking”, “I am juggling,” dan “I am applauding”. Yang artinya, “Saya (sedang) berjalan”, “Saya (sedang) menimang bola tetap di udara” (juggling berarti mempertahankan bola tetap di udara dengan menggunakan kepala, bahu, paha, kaki), dan “Saya (sedang) bertepuk tangan”. Ternyata kata kerja itu mengaktifkan rangkaian saraf bahasa mereka, yang ditandai dengan adanya garis abu-abu pada saraf di sepanjang area pelipis kiri. Juga, menyalakan rangkaian saraf yang mengontrol kaki dan tangan.
Implikasinya? Responden yang diteliti ternyata menggunakan neuron motorik mereka untuk melakukan tindakan yang disebutkan itu (“to walk”, “to jug,” dan “to applaud”) untuk memahami kata-kata tersebut.
“Jadi, jika ingin tulisan Anda baik, Anda harus mengaktifkan saraf motorik dan sensorik mereka dengan memilih komposisi kata yang tepat,” kata Birchard.
Kata-kata juga ternyata ikut mengaktifkan otot. Edita Fino dan kawan-kawan, tim peneliti dari University of Bologna, meminta orang untuk membacakan pernyataan sederhana, seperti “Mario tersenyum” dan “Mario senang”. Mereka mengukur voltase mikro di otot pipi yang tersenyum (otot zygomaticus mayor). Kedua pernyataan tersebut ternyata mengaktifkan otot-otot itu. Sebaliknya, pernyataan negatif – “Mario cemberut”, “Mario marah” – merangsang otot kerutan (yang disebut corrugator supercilia), sehingga terjadi kerutan di antara mata.
Adanya semua respon dari otot tersebut menimbulkan rasa ingin tahu dari David Havas dan rekan-rekan sesama peneliti dari University of Wisconsin, Madison, tentang apakah otot bertanggung jawab dalam menyebabkan pemahaman yang lebih baik. Mereka meminta sejumlah perempuan yang telah menjadwalkan diri mereka untuk perawatan Botox untuk berpartisipasi dalam percobaan (dalam perawatan ini toksin botulinum-A dipakai untuk melumpuhkan otot kerutan).
Mereka diminta membacakan 60 kalimat yang bernuansa sedih, marah, dan bahagia.
- Kalimat sedih: “You hold back your tears as you enter the funeral home.” Atau, “Anda menahan air mata saat memasuki rumah duka.”
- Kalimat marah: “Reeling from the fight with that stubborn bigot, you slam the car door.” Atau, “Kesal setelah bertengkar dengan orang bodoh yang keras kepala, Anda membanting pintu mobil.”
- Kalimat bahagia: “Finally, you reach the summit of the tall mountain.” Atau, “Akhirnya, Anda mencapai puncak gunung tinggi yang Anda daki.”
Jika otot membantu pemahaman, tim Havas berteori, para wanita Botox itu membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami kalimat sedih dan marah. Benar saja, mereka membutuhkan 200 milidetik lebih banyak. Dari situ tim Havas menyimpulkan, otot tubuh juga ikut membantu pemahaman. Jadi, bukan hanya saraf.
Ini berarti, pikiran dan tubuh bekerja sama untuk memproses bahasa dengan cara yang jauh lebih kompleks daripada yang pernah dipikirkan.
“Ratusan eksperimen seperti yang dilakukan oleh tim Garcia, Fino, dan Havas menunjukkan, untuk bisa berkomunikasi dengan baik melalui tulisan dan bicara adalah dengan melibatkan otak dan bagian tubuh sebanyak mungkin,” tulis Birchard.
Birchard menyarankan penulis untuk menggunakan kata-kata yang membuat orang terlibat, baik otak maupun otot, sehingga mereka terkoneksi dengan apa yang penulis katakan.
Penelitian Lain
Namun, ada studi lain yang menunjukkan bahwa keterlibatan besar justru datang dari mekanisme lain dari otak, yang disebut rangkaian ganjaran (reward circuit), mesin motivasi otak. Rangkaian ini bekerja sehingga kita mengetahui apakah suatu tulisan merangsang selera, layak dibaca, patutkah ditelusuri lebih jauh, atau apakah bermanfaat setelah dibaca.
Rangkaian tersebut, terutama di bagian tengah kepala, mengevaluasi segala macam rangsangan yang masuk ke pintu kesadaran. Tidak masalah apakah rangsangan itu berupa air atau anggur, misalnya, atau hubungan sosial dengan keluarga atau teman, dan sebagainya. Rangkaian ganjaran ini siap sedia untuk mengevaluasi setiap stimulus, untuk kemudian membawa seseorang kepada keputusan untuk bertindak atau tidak.
Semula, para ilmuwan mengira, pengaruh dari rangkaian itu terbatas bekerja pada dasar-dasar untuk bertahan hidup seperti soal makanan dan minuman. Tetapi kemudian, ilmuwan neurosains, termasuk Kent Berridge dari University of Michigan, kini berkeyakinan bahwa rangkaian itu juga memotivasi orang setelah menyerap rangsangan budaya seperti musik, seni, dan kata-kata.
Jika rangsangannya menyenangkan, rangkaian ganjaran menyala dengan menghasilkan dopamin. Dopamin memacu pelepasan opioid alami, termasuk hormon enkephalin yang bekerja seperti morfin dan anandamide yang bekerja seperti mariyuana. Jika rangsangan itu sangat menyenangkan, opioid alami tersebut menyalakan lima “hotspot kesenangan” seukuran kelereng di otak, menghasilkan kebahagiaan. Dengan kata lain, neurotransmitter pada rangkaian ganjaran ini mendorong motivasi.
Berridge dari University of Michigan dan Morten Kringelbach pada Aarhus University di Denmark adalah perintis dalam cara kerja rangkaian ini. Mereka menyebut kesenangan yang dipicu oleh dopamin dan opioid dari rangkaian itu sebagai “evolution’s boldest trick” (atau trik evolusi yang paling berani) yang bisa mendorong orang melakukan hampir semua hal.
Tips dari Birchard
Berdasarkan itu, Birchard memberikan tips menulis dengan lebih baik, berdasarkan sains. Prinsip dasarnya adalah penulis harus benar-benar bisa melibatkan orang dengan apa yang penulis sedang komunikasikan, dengan memberikan “hadiah” secara mental. Jangan hanya membuat otak bekerja keras, tetapi juga buat mereka “melayang” dengan bekerjanya rangkaian ganjaran lewat domanin dan opioid alami.
Delapan strategi yang ampuh, menurut Birchard adalah: Pertahankan komunikasi yang (1) sederhana, (2) spesifik, (3) mengejutkan, dan (4) menggugah. Kemudian pertahankan tulisan itu tetap (5) menggoda, (6) cerdas, (7) sosial, dan (8) bernuansa cerita.
“Dengan strategi ini, Anda menarik motivasi paling mendasar dari pembaca,” kata Birchard
Lebih detail, Birchard mengatakan, sebuah tulisan idealnya mengurangi kata-kata “iklan”. Maksudnya, memilih lebih banyak kata kerja dan kata benda, menghemat kata sifat dan kata keterangan. Tulisan sebaiknya membangkitkan perasaan, dengan menjaga tulisan tetap spesifik dengan cara “show, don’t tell” dengan tidak hanya membawa pembaca untuk “melihat”, tetapi juga “mengecap”, “mencium”, “mendengar”, dan “merasakan” lewat kata-kata penulis.
Tulisan yang baik harus bisa memunculkan reaksi baru, artinya tetap menyuguhkan kejutan-kejutan, dengan menggabungkan kata atau ide yang berbeda. Juga, menggunakan metafora sebagai trik cerdas. ***
Bernas sekali bu Erry …
Terima kasih telah berbagi wawasan yang sangat luar biasa … Salam hangat bu Erry
Sama-sama.
Terima kasih untuk apresiasinya.
Saya masih belajar, Ibu There.
Semangat ya kita