Memakna Puisi Anak (1) Pergilah, Corona

Terbaru29 Dilihat

Memakna Puisi Anak (1)

Pergilah, Corona (Achmad Albani Fariz)

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Puisi merupakan salah satu bentuk sastra yang imajinatif. Bebas. Seringkali kita menemukan kata-kata yang sarat makna dalam bentuk kiasnya.  Terlebih karya-karya para maestro sastra, yang mempunyai jam terbang tinggi dalam meluapkan ekspresi diri mereka.

Bagaimana dengan puisi anak? Mari kita simak puisi “Pergilah, Corona” karya Achmad Albani Fariz, siswa Kelas 4D SDN Kramat Jati 03 Jakarta.

Pergilah, Corona

Oleh Achmad Albani Fariz

Kau datang

saat Ramadhan menjelang

Kami risau

Kami tak bisa bersekolah

Pun tak pergi mengaji

Tak bermain dengan teman-teman

Tak jalan-jalan bersama keluarga

Corona ….

Pergilah

sebelum Ramadhan datang lagi

Kami ingin menyambutnya

dengan keluarga besar kami

Ingin bersilahturahmi

bertemu saudara di kampung nanti

Corona ….

kumohon pergilah

 

Lalu, Albani menuliskan pula puisinya dalam Bahasa Inggris, sebagai berikut:

Go, Corona

By: Achmad Albani Fariz

You came

Ramadhan was coming up

Our hearts ran wild

Took us out of school

No recitation

No playing with friends

No traveling with family

Corona …

Go away

Before the month of Ramadhan arrives again

We want to welcome him

with our extended family

Meet up with our brothers and sisters

In our hometown later

Corona ….

Please, go!

Judul “Pergilah, Corona” & “Go Away, Corona” dan badan puisi,  kaya akan pesan polos, ciri keapa-adaannya seorang anak. Kata-kata “Kau datang/saat Ramadhan menjelang/Kami risau/Kami tak bisa bersekolah/Pun tak pergi mengaji/Tak bermain dengan teman-teman/Tak jalan-jalan bersama keluarga/Corona …./Pergilah”, mengingatkan kita akan awal datangnya Corona dan pemberlakuan kebijakan menjaga jarak bulan Maret, menjelang Ramadhan (April-Mei).

Albani menjelaskan kerisauannya sebagai anak, misalnya tidak bisa bersekolah, dst. Nampak bahwa Albani memiliki kerinduan yang dalam untuk bisa bersekolah lagi, dalam artian hadir secara fisik di sekolah untuk belajar, bertemu teman dan guru, bermain bersama, berbagi cerita, dan sebagainya. Pemuda cilik ini menemukan sesuatu yang lebih daripada sekadar belajar di rumah. Amat wajar seorang anak merindukan hal ini. Anak seusia Albani memang masih ingin bermain. Melihat konteks puisi yang ditulis setelah beberapa bulan sejak pemberlakuan masa darurat pandemi, kita menjadi lebih maklum dalamnyaa kerinduan itu. Jika awal-awalnya mungkin belajar di rumah bisa dirasakan sedikit berbeda dan bisa jadi mengasyikkan bagi anak (lebih santai, lebih fleksibel), tidak demikian halnya setelah itu berlangsung berbulan-bulan.

Kata “Pun tak pergi mengaji” memperjelas kerinduan Albani  akan interaksi dengan temannya. Dalam artian, Albani biasa mengaji di luar rumah, mungkin bersama sekelompok teman dengan guru mengaji yang sama. Jelas, Albani melihat interaksi ini menyenangkan sehingga dirindukan. Dalamnya kerinduan Albani berkumpul dengan teman dan berinteraksi dengan banyak orang diperjelas dengan kalimat berikutnya yaitu “Tak bermain dengan teman-teman/Tak jalan-jalan bersama keluarga”. Kata “Kami risau” mengingisyaratkan bukan hanya Albani yang rindu, tetapi juga keluarganya.

Ada harapan yang menyentuh dari bagian kedua puisi ini, yakni saat Albani meminta Corona pergi sebelum  Ramadhan datang lagi. Bukan  “pergi pada bulan Januari atau Februari” misalnya, tetapi lebih ditekankan pada Ramadhan. Ada ungkapan “Kami ingin menyambutnya/dengan keluarga besar kami/Ingin bersilahturahmi/bertemu saudara di kampung nanti”. Ini  ungkapan rindu Albani untuk melihat kampung halaman, bertemu dengan handai-taulan di sana. Mengharukan. Betapa seorang anak memiliki kerinduan seperti ini. Seorang anak mampu memimpikan suasana kekeluargaan, yang harmonis, penuh silaturahim, damai, yang idealnya menjadi kerinduan segenap orang, segenap bangsa.

Pada bagian akhir, ini jugaa cukup menarik, Albani menuliskan “Corona …./kumohon pergilah”, bukan “Pergi!” misalnya. Penggunaan sufiks “lah” pada sebuah kata kerja (predikat) bisa dimaknai berbeda-beda. Akhiran “lah” bisa berarti cara untuk memperhalus perintah (“pergi”), menunjukkan kesopanan, atau mempertegas ekspresi. Fungsi sufiks “lah” lazimnya memang untuk menegaskan predikat, pernyataan bermuatan keyakinan (contoh: “Tentulah Corona akan pergi”), atau menekankan subjek dalam kalimat (contoh: “Coronalah yang harus pergi”).  Bisa jadi, pengertiannya adalah untuk mempertegas predikat “pergi” atau perintah untuk “pergi”.

Mari bandingkan dengan pilihan diksi pada bagian yang sama yang berbahasa Ingris (“Corona …./Please, go!”). Penggunaan kata “please” dalam Bahasa Inggris justru untuk memperhalus suatu perintah. Meskipun pada praktiknya, menurut pengamatan penulis, kata “please” bisa mewakili bentuk kenyaris-frustasian pengungkapnya setelah dia berulangkali mengucapkan perintah yang sama tetapi tidak berhasil. Misalnya pada adegan dramatis di medan percintaan, seorang pemuda menangis karena putus cinta. Seorang teman mengetahui hal itu dan menghampiri. Teman itu menanyakan ada apa. Pemuda lembut itu diam saja, enggan bercerita, lalu menyuruhnya pergi. Teman itu tidak beranjak. Berusaha ingin membantu, tetapi pemuda itu tak mau. Perintah “pergi” diulangi, teman itu tak juga pergi. Akhirnya, si pemuda bisa mengatakan “please, go” dengan nada lebih tinggi, dengan penekanan, lebih memelas, untuk menunjukkan dia tidak tahu lagi harus bagaimana untuk meyakinkan temannya itu bahwa dia benar-benar ingin sendiri, tidak ingin diganggu.

Yang paling tahu alasan pemilihan diksi sebuah puisi adalah penulis puisi itu sendiri. Dalam puisi “Corona, Pergilah”, Albani adalah orang yang tepat untuk ditanyakan.

Terlepas dari itu, lewat puisi tersebut, kita patut acung jempol untuk Albani yang sudah menunjukkan kemampuan berekspresi cukup baik melalui karya sastra, khususnya puisi. Kemampuannya menuliskan puisi itu dalam Bahasa Inggris juga patut dipuji, karena lahir dari anak seusianya.

Salam Literasi!

Tinggalkan Balasan