Memakna Puisi Anak (3): “Ojekan Sepi, Bengkel Tutup”

Terbaru33 Dilihat

Memakna Puisi Anak (3):

“Ojekan Sepi, Bengkel Tutup”

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Sumber: https://nature.desktopnexus.com/wallpaper/239781/

Pandemi membawa banyak dampak bagi kehidupan, termasuk mata pencaharian. Bagaimana anak-anak menangkap realita ini dan menuangkannya dalam puisi?

 

Salam Persaudaraan

Sudah mendekati ujung tahun. Sebuah catatan  yang pastinya mengisi banyak buku harian adalah pandemi Covid-19 beserta berbagai dampaknya. Tak bisa dipungkiri, pandemi membawa pengaruh besar bagi kehidupan banyak keluarga. Ada yang kehilangan saudara, ada yang kehilangan dalam bentuk lain: mata pencaharian.

Pada ulasan ketiga “Memakna Puisi Anak” ini, mari kita simak pesan Gloria Mareta Sibarani melalui puisi “Rindu” dan Sakinah Nur Arifah melalui “Aku Sedih”.

 

Rindu

Oleh: Gloria Mareta Sibarani

 

Kebiasaanku di pagi hari

Semangat, beranjak ke sekolah

Gembira bertemu teman-teman

Belajar bersama penuh keceriaan

 

Kini,

Keadaan berubah

Sekolah dari rumah, belajar jarak jauh,

Membuatku rindu

Pada senyuman teman dan guruku

 

Hari demi hari berlalu

Masalah Covid-19 belum selesai

Serasa beban makin berat

Ayah-bunda terlihat makin bingung

membuatku segan menanyakan

tugas-tugas belajarku

 

Oh Tuhan

Bantulah kami

mengatasi masalah virus ini

 

Enyahkanlah musibah ini

dari muka bumi ini

 

Aku Sedih

Oleh: Sakinah Nur Arifah

 

Hari demi hari, telah kulewati

Tanpa tahu pasti, kapan Corona pergi

 

Aku sedih

Jauh dari teman-temanku

Jauh dari saudaraku,

Dari keluargaku

 

Aku sedih, di rumah saja setiap hari

Tanpa pergi mengaji, tanpa rekreasi

 

Aku bosan, terus saja heran

Corona tak diundang, tapi tetap datang

 

Aku bantu Papa

Aku bantu Mama

Karena aku banyak di rumah

 

Aku dengar

Teman Papa terkena Corona

Tak boleh dibesuk

Bengkelnya tutup

 

Aku sedih

Ojekan Papa sepi

Karena orang takut pergi-pergi

 

Corona, cepatlah pergi

Kami akan menyambut Tahun Baru ini

Dengan gembira

Bersama Papa, Mama, teman, dan saudara

 

Gloria mengutarakan perubahan dramatis situasi sehari-harinya dengan datangnya Corona. Pada bait pertama, Gloria bercerita tentang betapa menggembirakan saat dia memulai kegiatan paginya. Semangat ke sekolah. Ceria belajar bersama teman. Berbeda drastis saat pandemi datang. Sekolah harus dari rumah. Itu membuat Gloria rindu pada suasana belajar di sekolah, pada teman dan guru. Hal yang sama yang dihadapi banyak anak, setidaknya sebagaimana isi puisi pada ulasan-ulasan sebelumnya.

Sakinah mengawali puisinya langsung pada kegundahan tentang pandemi yang seakan tak berujung. Sakinah sedih karena harus di rumah saja setiap hari. Tanpa pergi mengaji. Tanpa rekreasi. (Baca ulasan pada Memakna Puisi Anak (4))

Ada benang merah dari cerita kedua anak ini, yaitu tentang kondisi ekonomi keluarga. Gloria mengutarakan: “Hari demi hari berlalu/Masalah Covid-19 belum selesai/Serasa beban makin berat/Ayah-bunda terlihat makin bingung/membuatku segan menanyakan/tugas-tugas belajarku”

Sementara Sakinah secara lebih gambling menuliskan: “Aku dengar/Teman Papa terkena Corona/Tak boleh dibesuk/Bengkelnya tutup“. Selanjutnya, “Aku sedih/Ojekan Papa sepi/Karena orang takut pergi-pergi”.

Dua anak dengan dua kisah, sama-sama bisa merasakan beban dalam keluarga dan mengekspresikannya dengan kata-kata. Dengan cara mereka. Kata “Ayah-bunda makin bingung” mungkin direspon sebagai “kebingungan biasa”. Tapi, kata-kata selanjutnya yaitu “membuatku segan menanyakan/tugas-tugas belajarku” sungguh mengiris hati. Seorang anak memiliki perasaan yang begitu tajam tentang kondisi orangtuanya. Di sini jelas, yang dihadapi bukanlah “kebingungan” biasa. Gloria menangkap pesan itu. Hingga Gloria (dalam bayangan saya) enggan menanyakan pelajarannya karena takut lebih menyusahkan kedua orangtuanya. Ya, betapa besar dampak pandemi ini.

Dalam puisi Sakinah, jelas tergambar dampak tersebut khususnya bagi mereka yang perekonomiannya  menengah ke bawah, seperti tukang bengkel, tukang ojek, dan lainnya. Sakinah, “mendengar” kabar bahwa teman ayahnya terkena Corona. Tak boleh dibesuk. Dengan mengungkapkan apa yang (hanya) didengarnya itu ke dalam puisi, kita tahu bahwa kabar seperti itu sangat istimewa atau luar biasa bagi Sakinah hingga dia mengekspresikannya.

Juga soal ojekan ayahnya yang sepi, orang takut pergi-pergi. Selain ikut prihatin atas kondisi orangtuanya, Sakinah memperlihatkan daya nalarnya yang cukup baik. Bukan karena ayahnya tak mau bekerja, tetapi kondisi yang menyebabkan ayahnya terkendala dalam bekerja.

Saya percaya, ada sesuatu yang istimewa dalam diri anak-anak ini. Sampai-sampai, hanya dari apa yang didengar dan dilihat, sudah cukup memberi sinyal tentang kesulitan orangtua mereka. Kemudian, muncul perhatian mereka.

Bagaimana dengan kita? Semoga kepekaan kita tidak kalah tajam dengan anak-anak ini.

Salam Literasi!

 

Tinggalkan Balasan