PESAN DI PAGI HARI

Gaya Hidup, YPTD0 Dilihat

 

Aku pegang kedua tali tas yang memeluk punggungnya. Aku pun tersenyum sambil terus ayunkan langkah. Angin berhembus menerpawajahku, Ku nikmati kesejukan suasana pagi itu.  Menghirup aroma kotaku sambil memejamkan mata dan ku hembuskan kembali seiring terbelalaknya bola mata. Sungguh aroma kebebasan yang telah ku dapatkan kembali, setelah seminggu lamanya ku terbaring di atas kasur.

’’ Selamat Pagi Dunia ? Kau begitu cantik Pagi ini ! ’’

Kalimat  yang sedikit puitis menjadi sapaan pertama sebelum aku duduk di taman sekitar kompleks perumahan. Sama sekali aku tidak menghiraukan orang -orang yang akan berkomentar melihat tingkahku. “ Apakah aku gila ? atau baru gejala ? Ah… aku baik- baik saja! “ batinku bersahutan.

Aku tidak sabar menyambut hari besok, menyaksikan reaksi  pedro, godel, nisa, raisa, nanas dan keke menyambut ku kembali sekolah. Mereka adalah sahabatku yang sangat baik. Doa mereka tak pernah berhenti untuk kesembuhanku disaat sakit. Jadi teringat  pak thamrin wali kelasku yang telah memberi  tugas dari seminggu yang lalu untuk  membacakan teks sumpah pemuda di upacara memperingati  hari Sumpah Pemuda 28 Oktober besok. Ku tarik tas yang sedari tadi membalut punggung ke pangkuanku, ku rogohkan tangan ke dalamnya, mengambil secarik kertas berisis teks sumpah pemuda. Inilah tujuanku datang ke taman, selain melepas penat  aku bisa menghapal materi- materi pelajaran di sini. Entahlah, walaupun ramai konsentrasiku lebih baik disini. Baru saja ku membaca judulnya, tiba- tiba kebisingan puluhan suara mesin memekik dari seberang jalan di ujung taman sana. Kepalaku yang sudah siuman jadi pusing lagi dan gendang telingaku hampir pecah mendengarnya. Ku lemparkan pandangan ku jauh- jauh kea rah sumber , sekelompok anak muda bermotor dengan modifikasi aneh. Laki- laki bercelana dengan model dengkul robek dan berbaju serba hitam beratraksi ugal- ugalan. Lebih parah, sekelompok perempuan berbusana mini mengendarai satu motor berboncengan lebih dari satu orang.

‘’ Yak ampun… cewe macam apa itu, dikiranya bagus apa ?’’ gerutuku dari kejauhan.

Angin sore mulai bertiup kencang menyapu mataku yang masih fokus ke seberang  jalan sana, membuat mataku perih dan berair.

’’ Aduh… kemana kertas yang baru saja ku pegang?”

Aku terperanjak dan sadar kertasku telah dibawa angin tadi. Aku bangun dari duduk, menelusuri jalan berumput dan seskali membungkuk mencari kertas itu di bawah bangku dan semak tanaman.

 

‘’ Nak, ini kertasmu ?”

Suara bernada lemah itu membuat aku berbalik badan. Seorang lelaki tua bertumbuh tinggi dan kurus tengah berdiri dihadapanku.

“ Iya kek, ini kertasku, terima kasih kek,” jawabku kegirangan

“ Kau hanya menghapalkannya nak?’’ Tanya kakek itu

“ Iya kek, tanggal 28 Oktober besok, saya akan membacakan teks sumpah pemuda ini,” jawabku seadanya.

“ Yang dihapal itu terkadang dilupakan, kenapa tidak kau coba tanamkan ?”

Aku tertegun dan bertanya- Tanya akan maksudnya. Ku tatap sekali lagi wajahnya yang berahang tajam, Nampak jelas dari sorot matanya kelelahan dari kerja keras yang panjang. Kulit wajah yang mengendur dihiasi rambut- rambut  yang sudah memutih di kumis, alis dan rambutnya. Kakek ini sudah sangat tua, tapi masih cerdas berbicara, walau sesekali bicaranya tersedak oleh batuk.

“ Jika kertas itu hilang terbawa angin, pudar diguyur hujan dan hanyut dalam alirannya, apakah sumpah yang ada dalam kertas itu masih akan menjadi bagian dari sumpah para pemuda kini?”

Pertanyaan kakek yang membuatku berfikir keras. Kemelut hati  dan pikiranku mengolah kata- kata untuk menjawab pertanyaan itu. Dengan raut wajahku yang tak mampu berkata- kata, kakek tersenyum melihat ku, memecahkan ketegangan.

“ Duduklah Nak disini! Aku kakek Salman, aku seorang veteran yang pernah memperjuangkan sumpah pemuda Indonesia.’’

Mataku membulat lebar dan mulutku seakan berkata ‘o’. Ditengah pertemuan ini, kakek Salman baru memperkenalkan dirinya setelah pertanyaan- pertanyaan yang panjang.

‘’ Aku Fitri kek, pantesan kakek sangat mempertanyakan sumpah pemuda.” Balasku yang kemudian duduk di sampingnya.

“ Kau tahukan istilah karakter pemuda adalah cerminan bangsa ?”

“ Oh, tentu tahu kek! Jika pemuda berkarakter artinya bangsanya juga berkarakter,” jawabku setahunya, sebagai usaha agar tidak kalah dengan pertanyaan kakek Salman.

“ Pemuda sekarang ini sudah sangat rapuh,” diputarkan bola matanya memandang jauh sekelompok pemuda bermotor ugal- ugalan. Nampak jelas di matanya kekecewaan atas perjuangan yang panjang.

“ Mereka telah jauh tertelan modernisasi dan melupakan semangat nasionalisme, pemudazaman sekarang sangat berbeda dengan zamanku dulu yang berjiwa besar tehadap nasonalisme.”

Sungguh ucapan yang sangat tenang  dari lelaki tua ini. Tapi ada perasaan ingin berontak menyelusup hatiku.

“ Kek, mengikuti modernisasi itu sudah menjadi tuntutan zaman. Jika tidak, bisa- bisa kita ketinggalan zaman. Menurutku tidak semua pemudamelupakan nasionalisme. Hanya bedanya, pemuda dulu berjuang untuk bangsa dengan angkat senjata, tapi sekarang kan kitasudah merdeka…”

“ Mengikuti boleh, tapi apa artinya jika pemuda sekarang lebih mengagungkan bangsa lain, berani menjual tanah air, lebih bangga memajang bendera bangsa lain daripada bendera bangsanya,  menertawakan bahasa ibunya dan  memecah belahkan persatuan bangsanya dengan aksi tawuran,  geng motor,  fanatic yang berlebihan dan,…” kakek berhenti berbicara ,mengatur laju nafasnya yang terasa sesak akibat kata- kata yang panjang. Melihat kakek yang seperti itu, hasrat ingin berontak tak bertunas di hatiku, hanya mulut yang terkatup rapat menanggapinya.

’’ Ingatlah Nak! Sampai kapanpun tidak ada yang namanya kemerdekaan. Kau akan terus terjajah oleh bangsamu dan dirimu sendiri,” lanjutnya dengan terbatuk- batuk.

“ Dahulu kita dijajah bangsa lain atas nama colonial, setelah merdeka kitapun masih dijajah pemimpin kita atas nama aturan yang tujuannya hanya untuk memepertahankan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Bahkan kita tak sadar, diri kita sendiri menjajah atas nama obsesi dan kehendak berkedok nafsu hanya untuk suatu eksistensi sesaat yang hanya bikin sesat.”

Aku hanya berangguk kecil, mencoba memahami untaian kata dari seorang kakek veteran yang sudah lemah itu.

Hari mulai gelap. Seiring mentari merayap keperaduannya, ada satu pesan kakek Salman,

“ Walau kamu adalah perempuan tapi kamu adalah bagian dari pemuda Indonesia nak. Berjanjilah pada dirimu sendiri untuk mencintai tanah air, menghormati bangsa mu dan gunakan bahasa Indonesiamu dengan benar.  Sungguh Indonesia akan menjadi Negara yang disegani bangsa lain karena pemudanya yang berkarakter tinggi. Kau harus siap memimpin masa depan, ajaklah pemuda- pemudi di sekolah mu untuk menghayati Sumpah Pemuda itu. Nasib bangsa ada di tangan kalian.”

Sungguh sebuah penutupan yang sangat mengesankan. Membuatku merinding dengan penyampaiannya yang lembut namun mampu mengambil ruang di hatiku.

Keesokan hari, 28 Oktober 2003. Matahari yang cerah menyambutku pagi itu. Ciuman hangat dari ayah dan ibu mengantarkan ku keluar gerbang rumah untuk pergi ke  sekolah. Sambutan hangat masih terasa dari sahabat- sahabatku Sarah, Adit dan Udin. Aku merasa ada jiwa baru yang tumbuh di dadaku, mungkinkah  jiwa pemuda?

Dari kejauhan, aku melihat pak Bidin, wali kelasku melangkah cepat menghampiri ku dengan ucapan syukur yang tulus.

“ Aku siap pak, membacakan teks Sumpah Pemuda hari  ini!” sambutku bersemangat.

“Apa kamu sudah merasa sehat betul? Bapak khawatir kamu pingsan, karenaupacara akan berlangsung berjam- jama dan hari akan menjadi panas.” Air muka pak Bidin berubah rapuh.

“ Jika pemuda dulu berjuang berjam- jam , berhari- hari bahkan bertahun- tahun untuk merumuskan Sumpah Pemuda ini demi persatuan bangsanya mereka rela mempertaruhkan segala yang mereka punya. Maka, jika hanya berjam- jam aku harus berdiri dibawah terik mentari melawan sedikit lelah untuk membacanya, semua itu tidak ada apa- apanya. Aku sanggup pak!” ku coba meyakinkan pak Bidin.

Pak Bidin hanya tersenyum dan mempersilahkan ku masuk  barisan.

 

SUMPAH PEMUDA

Peringati Hari Sumpah Pemuda, Lihat Tampilan Museum Sumpah Pemuda Yuk! - Semua Halaman - iDEA

Kami Putra dan Putri Indonesia

Mengaku Bertumpah Darah yang Satu

Tanah Air Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia

Mengaku Berbangsa yang Satu

Bangsa Indonesia

Kami Putra dan Putri Indonesia

Menjunjung Bahasa Persatuan

Bahasa Indonesia

 

Upacara telah berjalan dengan lancar. Aku telah membacakan sumpah itu, artinya aku telah berjanji untuk itu. Tanah airku, bangsaku, bahasaku yaitu satu Indonesia. Jiwaku adalah jiwa pemuda juga  jiwa kakek Salman  yaitu satu jiwa Indonesia

Tinggalkan Balasan