Hai sobatku, izinkan saya untuk kembali bercerita tentang perjalanan usia mudaku di tanah rantau.
Saya akan bercerita tentang perpisahanku dengan keluarga tercinta di kampung halamanku. Malam itu, bulan purnama kembali hadir dan menerangi kampung Haumeni, Timor – Nusa Tenggara Timur.
Saya dan adikku (Selfi) serta kedua orangtuaku duduk bercerita di depan halaman rumah. Kami membentangkan tikar yang dianyam oleh ibuku (Theresia) dari daun lontar. Sementara, ayahku (Lazarus) sibuk mengepulkan asap rokok. Sesekali ia menyeruput secangkir kopi hangat.
Canda tawa dan cerita masa muda ayah dan ibuku ikut membangkitkan hasratku untuk merantau.
“Ayah dan ibu tercinta, apakah saya boleh merantau?” Tanyaku. Saat itu, ibuku langsung diam dan matanya berkaca-kaca, sembari ia mengibas air mata yang mengalir dari pipinya.
Sementara, ayahku beranjak dari tempat duduknya dan mendekatiku. “Nak, untuk apa kamu merantau?” Toh, kami kan sudah tua, siapa yang akan mengurusi kami berdua?
Pertanyaan dari ayahku bagaikan anak panah yang menusuk jantungku. Saya tidak bisa memaksakan kehendakku.
Karena cinta philia mereka memiliki ikatan kuat dalam setiap aliran darahku. Cinta Philia adalah cinta pertama dari ketiga cinta dalam dunia filsafat Yunani yakni; Eros dan Agape.
Cinta ini adalah cinta persahabatan antara anak dan orangtua, antar rekan kerja, kenalan dan siapa pun yang menaruh kasih dan perhatian lebih dalam kehidupan kita.
Suara ayam jagoku berkokoh pada pukul 02.00 WITA. Ayah dan ibuku setelah melalui pertimbangan yang matang, mereka pun bersedia untuk melepaskan kepergiaanku.
Saya Melangkah Bersama Suara Hati
Hujan rindu terjadi pada bulan Juli 2014 silam. Di tengah keriput tulang pipi ayah dan ibuku, mereka masih menyempatkan diri untuk melepaskan kepergianku di Bandara Internasioanl El Tari Kupang.
Bukan hanya itu saja, keluarga besar saya pun ikut hanyut dalam perasaan sedih, bangga sekaligus menaruh harapan ke atas pundakku.
Saya merasa berat untuk meninggalkan pulau Timor manise. Terutama keluargaku. Pohon keluargaku serasa tumbang dengan kepergianku menuju tanah rantau.
Akan tetapi, demi perkembangan diri saya, tiada pilihan lain, selain saya harus pergi. Saya pergi dalam keadaaan pikiran kosong. Apa yang bakal terjadi dalam hidupku, saya tidak peduli! Karena saya masih mempunyai suara hati.
Suara hati adalah kekuatan spiritual bagi setiap orang dalam menaklukan segala hal. Dalam hal ini, saya yakin dan percaya dengan pepatah klasik ini “Ke mana suara hati ingin membawamu, pergilah.”
Ungkapan ini memang terdengar sangat filosofis. Akan tetapi, akan menjadi lebih filosofis jika kita berani bertanya untuk menemukan jawaban dari setiap perjalanan hidup kita di tanah rantau.
Sobatku, saya berharap, anda masih memiliki hasrat untuk mendengarkan ceritaku. Untuk itu, cobalah sobatku ikut membayangkan kisah perpisahan anda bersama keluarga tercinta.
Jika anda merasa sedih, menagislah. Dan jika anda merasa gembira, tertawalah. Dan di situlah antara saya dan anda memiliki ikatan emosional yang serupa.
Akhirnya, setiap episode kehidupan yang kita jalani setiap hari, akan menjadi bahan cerita di hari tua. Yang terpenting, kita pun selalu berusaha untuk menorehkannya dalam dunia kepenulisan.
Bersambung……………………