Suara Takbir berkumandang syahdu dari Mesjid Pesantren Al Hidayah dekat rumahnya. Lelaki itu masih duduk termangu seakan-akan ada perasaan yang sulit untuk digambarkan dalam bentuk ekspresi apapun.
Wajahnya penuh khusyu memandang ke depan. Hatinya tergetar ikut bertakbir. “Esok sudah Lebaran lagi,” bisikan hatinya seolah mengingatkan lagi betapa cepat waktu berlalu. Secepat helaan nafasnya. Hidup ini begitu singkat. Sesingkat kedipan matanya.
Usia lelaki itu sebenarnya belum terlalu tua, masih 60 tahun. Perawakan tubuhnya memang kecil namun terlihat segar dan sehat. Wajahnya memancarkan aura bahagia. Hal itu terlihat dari setiap tutur katanya selalu diiringi senyum kedamaian. Ada filosofi yang selama ini dia terapkan dalam hidupnya.
“Banyak-banyaklah bersyukur. Hidup ini sangat singkat jangan buang-buang waktu hanya untuk mengeluh,” demikian Kiyai Haji Imron, imam Masjid di Pesantren Al-Hidayah itu memberikan ceramah untuk para jamaah Subuh. Lelaki tua itu sangat terkesan dengan pesan Haji Imron tersebut sehingga iapun menjadikan pesan itu sebuah filosofi hidupnya.
Sejak pensiun lima tahun yang lalu lelaki itu semakin bersahaja hidupnya. Walaupun uang pensiun bulanannya yang hanya dibawah upah buruh, namun dia masih tetap mampu untuk selalu bersyukur.
Ada nikmat yang sangat berharga yang selalu disadarinya setiap hari yaitu ia selalu masih punya kesempatan bangun setiap pagi. Mungkin kesempatan itu bisa jadi suatu hari sudah tidak ia miliki lagi.
Baginya setiap pagi adalah setiap hari baru. Setiap pagi itu pula senyum lelaki itu selalu menebar. Ia menganggap setiap hari baru adalah kemenangan karena setiap ia membuka mata dari tidur lelapnya, itu adalah rasa syukur tiada tara. Tuhan masih memberi kesempatan kepadanya untuk mengabdi. Sebuah kata kunci yang bisa jadi sering dilupakannya selama ini.
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu,” salah satu FirmanNya yang ada dalam cuplikan ceramah Subuh KH Imron tempo hari, kembali terkesan dalam hatinya. Tersimpan rapi di relung terdalam.
“Bicara tentang pengabdian tidak ada waktu sebagai pembatas sampai saat nanti maut menjemput.”
Getaran hatinya tiba-tiba saja berkata seperti itu. Anehnya ia meyakininya. Pada usianya yang sudah enam puluh tahun ini, mungkin masih belum terlambat ia bisa berbuat lebih berarti lagi dalam mengisi hidupnya selama dua puluh tahun lagi ke depan.
Mungkin sebaiknya ia pun harus melupakan apa yang pernah ia perbuat enam puluh tahun kebelakang. Tidak perlu diingat karena ia yakin catatan hidupnya sudah ada dalam arsip Pemilik Kehidupan. Sangat yakin semua yang baik dan buruk sudah tercatat di sana.
Suara Takbir masih berkumandang syahdu seakan menembus kegelapan malam. Lelaki itu masih duduk termangu. Tiba-tiba saja ia teringat Ibunya yang usianya sudah delapan puluh tahun.
Betapa ia kagum kepada Sang Ibunda yang begitu gigih dan tabah berjuang untuk menjadikan tujuh anak-anaknya agar mampu untuk mandiri. Pengabdian seorang Ibu yang luar biasa penuh totalitas sehingga menjadikan ke tujuh anak-anaknya berkarakter langit. Karakter seorang pengabdi sejati semata-mata hanya untuk perkenanNya.
“Selamat ulang tahun Ibu semoga selalu sehat, bahagia dan usiamu penuh dengan HidayahNya.” Ucapan lelaki itu ketika bulan Juli itu Sang Ibunda berulang tahun yang ke delapan puluh.
Saat itu ia melihat kebahagiaan terpancar dari wajah Ibunda yang sangat disayanginya. Delapan puluh tahun adalah usia yang patut disyukuri apalagi penuh dengan pengabdian tulus.
Lelaki itu masih duduk termangu sambil memandang kursi kayu berbentuk L dengan kembang-kembang warna hijau yang sudah kusam. Di sana ia selalu menemani Ibunda tercinta minum teh di pagi hari. Sarapan kupat tahu yang dibeli di pojok pintu gerbang masuk komplek perumahan di mana Ibunda tercintanya tinggal.
Atau kadang-kadang bubur ayam panas yang menjadi menu pagi. Bercanda ria sambil menonton sinetron pagi yang ditayangkan oleh sebuah stasiun televisi swasta.
“Ibu tuh di usia tua ini merasakan banyak nikmat. Apa yang diinginkan selalu mudah didapatkan. Banyaklah bersyukur kepada Allah.” Suara Ibunya sangat jelas terdengar lembut meresap ke seluruh relung hatinya.
Tadi itu adalah kata-kata bijak yang butuh perenungan secara mendalam. Usia tua yang selalu merasakan banyak nikmat. Rasa syukurpun ternyata termasuk nikmat yang kadang terlupakan untuk disyukuri. Bagi Sang Ibunda, tujuh anak-anaknya yang sangat mencintainya adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepadanya.
Lelaki itu masih termangu di sana memendam perasaan yang sangat sulit untuk dimengerti maknanya. “Lebaranku yang ke enam puluh. Ibu sudah tidak di sini.” Gumam lelaki itu.
Lelaki itu masih menganggap bahwa hidup ini begitu singkat mungkin lebih singkat dari kedipan mata. Lalu terdengar untaian doa-doa dan titik air mata mengungkapkan kerinduannya, ingin sekali bertemu dengan Ibunya.
Apakah rindu ini masih jauh untuk diraih? Atau hanya sebentar saja rindu kepada Ibunya akan menjadi kenyataan? Biarlah rindu kepada Ibunya dibawanya serta saat lelaki itu menutup mata.