Dharma Bakti

Cerpen, Fiksiana30 Dilihat

Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

              Matahari merangkak tinggi. Hari menjelang siang namun panas sejadi-jadinya. Langit biru yang membentang indah tetap setia memayungi bumi. Entah mengapa tanpa seberkas awan putihpun yang membawa titik uap air untuk hujan. Pohon-pohon yang berderet di sepanjang selasar sekolah selalu meniupkan kesegaran. Inilah sudut yang menyegarkan tatkala penat mengajar seharian melanda.

Kota B, tidak semegah kota-kota lain, meskipun demikian ia penuh hiruk-pikuk yang membuatnya hidup. Kota kecil berbatasan dengan pusat pemerintahan ini memang selalu mendeyutkan jantung setiap penduduknya yang selalu bergumul dengan aktivitas yang tiada henti. Termasuk aktivitas murid-muridku yang mungkin sedari sebelum subuh tadi sudah memeras otak untuk menjalani hari ini. Ah…Pastinya murid-muridku belajar sedari dini hari tadi, tapi bisakah mereka mengerjakan soal hari ini?

Memang hari ini hanyalah ujicoba untuk ujian kelulusan. Akan tetapi tetap saja menimbulkan beban tersendiri yang tentu saja tergambar jelas di raut-raut wajah lesu dan pasrah. Pensil yang entah mencorat-coret perhitungan apa dan kening yang berkernyit  karena perhitungan tidak menemui jawaban, menandakan jelas murid-muridku kewalahan.

Matematika mungkin tidaklah mudah bagi kebanyakan murid-muridku, terlebih di hari yang panas ini. Memeras otak untuk mendapatkan nilai lima pun mungkin harus dilakukan dengan perjuangan yang tidak kecil nilainya. Terkadang aku tercenung ketika mendengar dari  muridku bahwa soalnya susah, padahal hanya sedikit ada perbedaan dengan yang biasa diajarkan. Perbedaan yang sekedar menguji kreatifitas berpikir matematis ini ternyata menjadi hal yang ruwet di otak mereka. Seolah miselium dalam otak mereka tidak mengenai simbol-simbol yang seharusnya sudah biasa dan sering dihadapi. Ah… kenapa bisa begitu? Dan ketika kumasuki ruang ujian sekedar melihat bagaimana murid-muridku seorang murid menatap nanar  kepadaku seolah air matanya akan membuncah keluar.

“Pak ! Bolehkah saya tidak ikut ujian matematika?” Kata Anti muridku yang tiba-tiba mengangetkanku.

“Kenapa nak,… kerjakan saja sebisamu, carilah yang mudah-mudah dulu.” Ujarku menenangkan.

Kembali ia menunduk, diraupnya mukanya dengan kedua tangan sembari menghirup udara dalam-dalam kedalam rongga paru-parunya.

“Saya rasanya pusing pak, saya  ijin ke belakang dulu.” Pinta Anti.

Kuhanya mengangguk mengiyakan. Kumengerti memang tidak mudah untuk menjalani kewajiban mengikuti ujian ini, terlebih untuk seorang Anti yang selalu merasa pusing entah kenapa ketika melihat angka-angka terlebih pecahan. Ah… memang setiap anak berbeda-beda. Dan kulangkahkan kaki keluar kelas, dari sudut mataku masih saja kulihat tidak satupun yang berwajah cerah mendapati soal ujiannya.

***

Rupanya matematika menjadi momok bagi sebagian besar anak. Inilah yang kutakutkan. Sebagai guru aku menyadari bagaimanapun semua kompetensi harus dikuasai, termasuk matematika. Tetapi bila sebagian besar muridku gagal di matematika, Oh… ini mungkin akulah yang salah. Kesalahan utama mungkin ada dalam diriku.

Kumulai menginstropeksi diri, merenunggi segala macam metode yang kuberikan, menganalisis segala macam bentuk latihan yang kubuat mengingat-ingat kealphaan apa yang terlewat. Kemudian muncullah pertanyaan, salahkah aku bila kusibuk mengajar. Sepertinya pola mengajarku sangat normatif, artinya mengajar menurut “arahan’. Sepertinya aku mengajar bukan untuk muridku agar mereka mampu menemukan dirinya. Aku mengajar untuk prasyarat administratif saja sebagai guru.

Inilah titik awal kutemukan bahwa mengajarku yang mengikuti semua arahan para Pengawas, petunjuk dari Guru-guru Inti dan instruksi dari Dinas Pendidikan menjadikanku sebagai tukang mengajar. Semua mengarah kepada guru yang baik adalah guru yang dapat meningkatkan kemampuan dan kompetensi siswanya, inilah yang semula selalu kujadikan patokan.

Kemudian aku ingat bahwa kutekankan bahwa murid-mudiku harus bisa. Duh… teganya aku menekankan hal yang muskil. Remidial berulangkalipun jika memang tidak selaras dengan bakat dan minat hanya akan selalu menjadi harapan anak akan mampu menguasai matematika.

Anti kutahu dia belajar mati-matian sesuatu yang tidak sesuai dengan bakatnya  tidak selaras dengan minatnya, dia belajar untuk bisa mengerjakan soal matematika. Dan masih banyak lagi selain anti yang juga sama meski berjuangnya meskipun mereka hanya menjalani dengan pasrah. Teganya aku sebagai guru menjejali dengan banyak remidial dan latihan. Semestinya waktu mereka banyak digunakan untuk mengeksplorasi bakat dan minatnya sendiri. Menggali dan menemukan passion diri sebelum usia yang menentukan jalan hidupnya.

“Sudah hal yang wajar bila matematika tidak banyak anak yang mengusainya. Dan anak-anak bersusah payah belajar itu adalah proses yang wajar, lumrah sajalah kawan.“ Kata Dwi,  rekan sejawatku menimpali kegelisahanku tatkala kucurahkan kegelisahanku padanya.

“Sudah, katrol saja nilai mereka…” Eka menambahkan.

“Di sekolah kita masih mending hanya mengkatrol, mentraktir nilai bahkan mentraktror nilai anak. Di sekolah lain lebih parah, dengan sengaja lembar jawab ujian diganti jawabannya oleh guru-gurunya supaya anak bernilai bagus semua. Supaya gengsi sekolah tidak turun.” Ungkap Dwi.

“Iya, sudah katrol saja nilai mereka, menambahkan nilai sudah wajarlah untuk kerja keras mereka.” Kata Eka meyakinkanku.

Memang hal muskil seorang anak yang tidak berbakat melukis diremidial berkali-kalipun akan tetap tidak dapat melukis apalagi menjadi pelukis terkenal. Begitupula dalam hal matematika, dan nampaknya kami para guru hanya menganggap biasa, dan kami terus menjejali murid-murid dengan materi demi harapan kompetensinya meningkat.

Akan tetapi, aku merasa hal itu benar-benar menjadi bumerang bagi anak. Semestinya mereka tidak kehilangan kesempatan memperdalam minat dan bakatnya.  Parahnya lagi tidak sedikit dari anak-anak akhirnya dibohongi dengan nilai dari gurunya.

Tatkala menuliskan nilai, Nuraniku gamang, ragu dan cemas, terpaksa kutraktor nilai mereka mencapai ketuntasan padahal sejujurnya aku mengelabuhi diri agar tidak ditegur karena selalu dalam pandangan atasan maupun pengawas bahwa keberhasilan mengajar adalah keberhasilan anak mencapai ketuntasan KKM.

***

Semenjak itu kumulai merubah pola mengajarku yang normatif. Kuajarkan matematika bukan dengan memaksakan mereka berpikir logis-matematis, tetapi berusaha menghadirkan matematika menjadi bagian menyenangkan dalam sudut pandang mereka. Kuajarkan matematika dalam banyak persoalan dan masalah untuk dipecahkan dengan percobaan dan penelitian. Kuhadirkan dalam cerita-cerita tokoh matematika untuk mengembangkan bakat anak-anak dengan kecerdasan linguistiknya, hingga pada akhirnya bagaimana proses suatu teorema dapat menjadi sebuah rumus yang dipakai hingga sekarang dalam dunia matematika.

Harapanku bahwa semua muridku ketika lulus bukan menjadi generasi yang tidak tahu harus kemana jalan hidupnya. Kuinginkan mereka menjadi ahli-ahli yang mampu mewarnai kehidupan. Kuinginkan mereka kreatif, kritis dan solutif sehingga mampu meraih cita-citanya tidak menjadi generasi yang tanpa bekal dalam menghadapi dunia yang penuh persaingan sehingga harus menelan pahitnya kehidupan.

Tidak akan ada lagi semua anak yang harus bisa. Bahkan semua anak yang juara kelas semboyan itu sudah lama kutinggalkan. Kucoba mendidik dengan dharma baktiku sebagai guru untuk menjadikan mereka berbeda, spesial, khas dan ahli dibidangnya masing-masing. Kehidupan ini membutuhkan generasi yang mumpuni, tetapi tidak ada anak yang menonjol disegala bidang, mereka pasti hanya memiliki spesialisasi di salah satu bidang saja. Gardner sang ahli ilmu psikologis pernah berkata “ Tidak ada anak yang bodoh dan pintar, yang ada adalah anak yang menonjol dalam salah satu atau beberapa kecerdasan.”

“Ahh…Jangan lagi ada muridku yang melewati harinya dengan kebosanan dan kecemasan di sekolah karena matematika.” Batinku.

***

Heri Setiyono, S.Pd, NPA PGRI 10094000266

Tinggalkan Balasan