GAJI PERTAMA (Fiksimini)

Cerpen, Fiksiana116 Dilihat

Oleh: Heri Setiyono

Menjelang maghrib Guru Baharudin baru tiba. Setelah seharian mengajar, dan sore tadi ia harus memberikan tambahan les. Sisa peluh masih melekat di baju. Istrinya yang selalu berwajah teduh itu menyambut suka cita di ambang pintu.

“Ada tamu Pak, orang jauh. Sudah menunggu bapak dari dua jam lalu.”

“Dua jam?”

Ada rasa penasaran menyergap. Baru pertama kali ini ia kedatangan tamu yang rela menunggu berjam-jam. Rasa letihnya masih terasa, tetapi terkalahkan oleh keingin-tahuannya tentang tamunya. Sementara ia melihat lelaki bertubuh tinggi tegap berdiri melihat foto lama Pak Guru Bahar bersama murid-muridnya.

“Silahkan duduk,” kata Guru Baharudin ramah. Tersungging senyum di bibirnya.

Tamu itu pun duduk, merogoh ke dalam tas suatu bungkusan berbalut kertas coklat yang biasa untuk sampul buku.

“Saya Egi, semoga Pak Guru masih mengingat saya. Saya datang kemari  sengaja ingin bertemu Bapak. Hari kemarin saya mendapat gaji pertama saya. Karenanya saya ingin memberikan ini.” Ucap lelaki itu seraya menyodorkan bungkusan di tangannya.

Guru Baharudin masih mencerna kalimat tamunya. Diingatnya nama Egi dari sekian ratus muridnya selama ini. Diingatannya terbersit Egi siswa kelas enam yang setiap hari membuat masalah. Terakhir ia ingat betul kejadian bak kamar mandi sekolah yang menjadi najis karena ada yang buang hajat di dalamnya. Kalau tidak salah ingat pelaku kejadian itu adalah Egi ini. Si anak bandel namun pandai, yang kerap membuat pusing semua guru bahkan kepala sekolah pun angkat tangan.

“Mas ini… Egi yang itu…”

“Iya pak,” sergah tamu itu sebelum Guru Baharudin melanjutkan  kata-kata.

Memang ada kebiasaan di daerah ini jika anak mendapat gaji pertamanya bekerja selalu memberikan kado untuk orang tuanya. Adat ini pembuktian bahwa si anak telah melangkah dewasa. Mendapatkan gaji pertama yang tidak seberapa setelah bekerja sebulan penuh adalah semangat memulai langkah dalam mimpi-mimpi besar anak. Maka, orang tua akan menerima pemberiannya sebagai bentuk pengakuan.

Guru Baharudin mengatupkan kedua tangannya, menaruhnya dengan khidmat di atas perutnya. Matanya masih mengamati lelaki tegap didepannya. Berbagai pikiran dan kenangan  berkelebat di kepalanya. Lelaki di depannya adalah muridnya yang berpenyakit bandel stadium empat. Si yatim yang cerdas sehingga selalu luput dari hukuman berat. Entah kehidupan apa yang telah dilaluinya sehingga kini demikian berbeda. Saleh dan santun terpancar di dirinya.

“Saya sekarang menjadi guru Pak. Sebulan lalu saya diterima bekerja di madrasah. Saya selalu mengingat nasihat Bapak untuk memperjuangkan hidup sendiri. Hingga akhirnya saya tetap dapat bersekolah. Setelah penantian panjang saya pun bisa kuliah dan menjadi Guru.” Terang Egi dengan tangan terbuka seperti orang berdoa membuncahkan syukur yang teramat sangat.

Pertemuan itu tidak berlangsung lama karena Egi memohon diri untuk pulang ke kampungnya. Alasannya, ibunya sudah tua sehingga tidak bisa ditinggal teralalu lama sedang ada juga tanggung jawabnya memberi makan lele budidaya yang menopang ekonominya.

Guru Baharudin sebenarnya ingin agar lebih lama tamunya untuk tinggal. Tetapi tak kuasa menahannya. Ia terlalu takjub dan masih kaget. Ia mengingat dahulu hanya menuliskan beberapa kalimat di papan tulis yang ia sadur dari buku motivasi. Tidak disangkanya ternyata tulisannya membekas dan mengubah hidup muridnya.

Bungkusan coklat itu masih ditimangnya. Dirasakannya isinya lembut di jari.

“Ini mungkin kain batik,” pikirnya. “Ah, anak itu…” Guru Baharudin tak hentinya menggelengkan kepala.

“Berapalah gajimu yang kecil itu sebagai guru madrasah nak… Bahkan sampai hatimu menggerakkan dirimu hadir mengingat kepadaku,” batin Guru Baharudin trenyuh.

Diingatnya tadi siang Guru Baharudin mempersoalkan uang gajinya yang seakan tidak cukup untuk hidup, terlebih setelah mengambil kredit bank untuk renovasi rumah. Padahal, ia telah mendapatkan sertifikasi. Yah, meskipun sering dibayarkan tiga bulan sekali oleh pemerintah. Akan tetapi, statusnya sebagai guru bantu yang di SK-kan pemerintah daerah membuatnya lebih baik dari sekian ribu guru honorer lainnya.

Ada rasa malu dalam diri Guru Baharudin mengingat ia meminta tambahan honor dari sekolah. Sedangkan guru lain yang masih berstatus honorer gajinya masih sepertiga dari yang ia peroleh. Diingat-ingatnya gaji kecil pertamanya yang sangat memuaskan langkah awalnya. Kala itu meskipun sedikit secara jumlah tapi baginya ia mampu menggenggam dunia. Sedangkan kini buku tabungan hanya sebagai tempat parkir sementara untuk penggunaan yang tidak jelas dan berakhir melayang ke bank penyedia kredit.

Jari-jari Guru Baharudin mengetuk-etuk bibir meja. Pikirannya masih menerawang betapa ia berasa memiliki dunia tanpa syukur. Sebelum akhirnya alunan ayat suci dari kamar anak bungsunya mengaburkan lamunannya, bening air mata meluncur ke pipinya.

 

 

Heri Setiyono, S.Pd

No. pokok anggota PGRI 10094000266

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog PGRI “Menulis di Blog Jadi Buku”

Tinggalkan Balasan