Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Lorong ini terasa panjang dan udara berat membuat sesak. Setiap mata yang memandang dari balik jeruji menatap nanar. Sementara, seorang ayah dan anak gadisnya berjalan bergandengan. Aku di belakang mereka berdua, mengamati berbagai tanda tangan yang tertoreh di punggung kemeja jingga sang ayah. Seluruh goresan tinta itu bersisihan dengan cetakan nomor tahanan 025. Barulah kusadari seluruh tanda tangan itu dari teman-temannya di penjara. Hari ini adalah harinya. Sedangkan gadis cilik enam tahun itu tidak tahu yang menanti ayahnya di balik lorong ini adalah sebuah hukuman mati.
Gadis cilik itu masih menggendong tas sekolahnya, seragamnya masih pula dikenakan dengan rapi. Ia tidak henti-hentinya menceritakan kejadian-kejadian di sekolahnya tadi. Dari Bu Guru yang memberinya sepasang kaus kaki baru karena kaus kakinya ketahuan berlubang dan jarinya kelihatan. Hingga menceritakan teman sebangkunya yang ia tenangkan karena menangis mengingat ibunya yang meninggal seminggu lalu.
“Kita sama-sama tak punya ibu, aku akan menjagamu. Semua akan baik-baik saja.” Kata gadis kecil itu mengulangi yang dikatakan kepada teman sekolahnya.
Sang ayah tersenyum senang kepada anaknya, wajahnya selalu gembira kala anaknya datang menjenguk, meski sering aku hanya melihatnya tercenung sendiri. Pikirannya entah kemana, pandangannya kosong, mungkin merenungi nasibnya yang entah mengapa membawanya kepada tempat yang tidak layak disebut sel tahanan ini.
“Jika kau belajar dengan rajin dan tumbuh dengan baik ayah akan sangat senang sekali.” Katanya kepada sang anak.
Aku tak mampu berkata-kata, tugasku hanya mengawal mereka tapi entah mengapa ini menjadi demikian menyiksa. Tidak. Aku pun tak bisa melakukan apa-apa. Apalagi menolong kehidupan keduanya.
Ujungg lorong terlihat. Beberapa petugas dari dinas sosial merangkul sang anak, membesarkan hatinya dan membimbingnya berbelok ke lorong menuju pintu keluar. Aku membukakan pintu besi yang menjadi sekat lorong. Anak gadis beserta yang lain masuk. Kemudian aku mengunci pintu besi itu kembali.
Bersama seorang penjaga lainnnya sang ayah digiring ke ruangan eksekusi. Dalam benakku hanya kulakukan tugasku, tidak ada iba dan jangan menampakkannya. Oh, nuraniku berteriak.
Beberapa langkah mencapai pintu ruangan sang ayah masih tak melepaskan pandangannya kepada anaknya. Gadis cilik itu masih disana. Memegang terali besi di balik pintu. Ia memainkan wajahnya yang lucu, membuat ekspresi-ekpresi yang hanya ditujukan kepada ayahnya. Sang ayah membalas dengan ekspresi lucu yang sama, ia menambahkan dengan tarian dan lambaian tangan. Mereka tersenyum dan tetap bahagia.
Satir. Lidahku makin kelu, mungkin itu kebahagian terakhir mereka. Tapi aku harus melakukan tugasku. Kutepuk pundaknya untuk masuk ke ruangan. Ia pun masuk meski ada penolakan, namun para penjaga lebih kuat mendorongnya. Si gadis cilik menghitung sampai sepuluh dan wajah ayahnya tidak kunjung muncul dari balik jendela penjara seperti biasanya.
Heri Setiyono, S.Pd
Terinspirasi drama korea “Miracle in the Cell”
NPA PGRI 10094000266