Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Pasar. Entah mengapa selalu sebal kudengar kata itu. Berawal dari masa remaja sekolah menengah pertamaku. Aku disuruh membeli daging di pasar. Tak kutahu mana penjual yang harusnya kutuju. Maka diperdayanya aku karena salah memilih pedagang. Daging yang ku pesan diganti dengan cacahan jeroan dan tulang yang dijejalkan diantara daging bagus pesananku.
Untunglah aku bukanlah anak bodoh, setelah kuperiksa belanjaan, kutemukan kejangggalan. Kutanyakan pesananku yang tidak sesuai itu. Berharap mendapatkan ganti sepadan dengan apa yang kubayarkan. Bukannya mendapatkan ganti malah makian yang penjual itu lantang dengungkan. Benar saja tangan kanannya yang memegang pisau daging besar mengacung-acungkan dihadapan hidungku. Aku gigil. Bukan takut, lebih tepatnya kaget, karena entah didorong oleh kesamaan profesi atau solidaritas pedagang pasar, penjual daging lain dan pedagang lainnya malah makin mendukung penjual sialan itu. Makin terpojoklah aku dinistakan sebagai pembeli yang mencari gara-gara. Padahal aku menuntut ganti atas kecurangan.
Maka surutlah aku. Dipaksanya aku mundur, pergi menjauh oleh seorang preman pasar. Mukaku merah padam. Air mata menggenang kutahan-tahan. Mulutpun terkunci rapat. Gigi sampai bergemeletuk menahan marah dan takut.
“Pergi sana” disorongnya badanku bersama belanjaanku.
Sejak itulah aku tidak mau dan tidak akan mau lagi berbelanja di pasar. Dimanapun itu.
Sialnya ketika sekolah menengah atas. Sekolahku berada persis dibelakang pasar. Untuk menuju ke sekolah terpaksa harus melewati tempat paling kubenci di dunia ini. Pasar. Benar saja di hari pertama masuk sekolah, ketika aku melewati pasar, langkahku terhenti oleh dua orang anak remaja bertampang sangar, bengis dan tidak bersahabat.
“Heh, minta uang katanya !” Mencegatku dan memalak.
Aku yang berdarah muda, panas seketika terlebih dipalak oleh anak seusia adikku. Meski aku sendirian dan mereka berdua aku tak gentar. Paling tidak jangkauan tendangan dan pukulanku lebih jauh bisa mengenai mereka. Entah kepala, wajah atau dada aku tidak ambil pusing, akan kulawan.
Namun ternyata bayanganku itu berbeda. Kulihat tidak jauh dari belakang mereka. Kira-kira seratus meter beberapa orang preman pasar mengamati. Mereka bersiap seperti mau mengeroyokku. Jebakan. Untung belum kulayangkan pukulanku.
Kurogoh sakuku, kudapati uang recehan kembalian dari ongkosku naik mobil omprengan. Kulemparkan, sambil kudengungkan dengan mengacungkan tinju sambil berlalu cepat-cepat.
“Awas kau…” kulayangkan kakiku. Kuambil langkah seribu. Menjauh.
Besoknya kuambil jalan memutar yang lebih jauh untuk menghindari tempat laknat itu. Pasar.
Dua anak remaja itu sepertinya memang sedang di-training oleh para preman pasar itu. Hal biasa yang dilakukan untuk mendidik mental jalanan.
Semakin lama aku semakin benci dengan pasar. Bukan hanya kumuh, tetapi bagiku sungguh mengganggu ketenangan pikiranku. Maka, aku bertekad mengambil jurusan hukum untuk menjadi politisi. Agar bisa memiliki posisi di tampuk kekuasaan untuk mengubah setiap pasar menjadi real estate, mega mall.
Benar saja dua puluh tahun berlalu. Aku memiliki biro hukum yang membuatku kaya raya bak sultan. Kemudian aku menjadi salah satu penguasa lantaran kecerdikan akal politikku dalam pemilihan kepala daerah. Maka berjalanlah rencanaku yang sudah sejak lama kususun. Kuberangus pasar-pasar dengan orang-orang suruhanku. Pasar-pasar terbakar, api berkobar-kobar kala tengah malam laksana menari di kegelapan. Para pedagang kelimpungan dan menangis. Mereka mencoba memadamkan api dengan usaha sekenanya. Sedangkan pemadam kebakaran sudah kurencanakan tak akan datang tepat waktu. Datang pun tidak akan mampu memadamkan api yang membara di semua pasar secara simultan dan bersamaan. Aku menikmati pemandangan elok itu di sebuah tivi layar lebar di ruang santai sambil menikmati kopi. Membayangkan esok hari kubangun diatas lahan pasar yang telah semuanya kubeli itu menjadi pabrik-pabrik dengan tenaga kerja asing yang lebih kompeten seperti robot.
“Ahh, inilah pembalasanku.” Gumamku sambil menyeruput kopi yang manis mengaliri tenggorokanku.
>>>
Heri Setiyono, S.Pd, NPA anggota PGRI 10094000266