Printer (Fiksimini)

Cerpen, Fiksiana40 Dilihat

 

Oleh: Heri Setiyono

Jika di kelas enam B memiliki Pak Ikhsan yang cerdas komputer meski terbilang tidak muda . Di kelas kami, Kelas A, punya seorang guru yang “gapyak” berkebalikan dengan Pak Ikhsan. Bu Kus namanya. Meskipun begitu, aku mengaguminya sebagai pakar bahasa  Indonesia jempolan.

Ketika upacara  bendera, Bus  Kus mampu melihat hingga kebelakang barisan siswa putra karena demikian jangkung. Apalagi ketika menjadi pembina upacara, Annis kecil yang “nyempil” di  pojok belakang mampu ditegurnya  . Tri dan Roki juga sering kena semprot karena paling usil. Pernah mereka berdua mencemplungkan sekawanan kecebong kedalam akuarium kelas. Mereka pikir lucu. Annis yang mengira itu ikan malah senang sekali memperhatikan para kecebong itu megal-megol. Mas Koki kami yang lucu sampai kaget, matanya melotot. Eh, ikan mas koki kan memang melotot dari lahir ya.

Aku ngeri kalau kawanan kecebong itu jadi besar. Kelas kami pasti banyak kodok. Kung-Kong-Kung-Kong berisik sekali. Anehnya meski banyak murid bandel di kelas, Bu Kus selalu menertawakan kenakalan kami. Mungkin tak pernah kulihat wajah marah di  dirinya.

Suatu hari aku membantu Mas Sugeng membersihkan ruangan TU. Tidak hanya aku, Cintya, Nuna dan Hasna juga ada. Entah mengapa pekerjaan bersih-bersih selalu yang disuruh anak perempuan. Padahal nanti ada tambahan pelajaran dari Pak Agus untuk Ujian Nasional. Bagaimana mau konsentrasi kalau aku capek.

“Tiara, bantu beresin kertas print-print-nan, bisa ya,” pinta Mas Sugeng.

Aku mengangguk malas. Pengen cepat-cepat ke warung Mbok Yem. Membeli es buat sekedar mengusir kering tenggorokan. Sedang kawan lainnya sudah selesai dengan tugasnya dan ngacir kesana.

“Nanti kalau printernya sudah berhenti, kertas-kertasnya dirapikan lalu taruh meja Bu Lutfi ya. Aku mau pulang dulu. Laper.” Kata Mas Sugeng sambil lalu menuju pintu.

Rumah Mas Sugeng hanya di belakang sekolah. Setiap jam dua belas ia pasti pulang makan siang.

Tugas bersih-bersihku hampir beres tinggal menata kertas, mudah. Tinggal kertas yang keluar dari printer dirapihkan dan dikumpul di meja, selesai. Tetapi aku lupa, printer ternyata belum selesai mengeprint aku menyenggol kabel di belakang benda kotak putih itu. Printerpun berhenti entah kenapa. Celingukan karena bingung, akhirnya kutinggal pergi saja, kertas-kertas di  tanganku kutaruh meja sekenanya. Ketika keluar kulihat dari sudut mataku, Bu Kus menuju kantor TU.

Esok hari nya ketika aku membantu membawakan buku-buku tugas siswa ke meja Bu Ningrum. Aku menguping pembicaaran Bu Kus dan Bu Wid. Bu Kus nampak serius bercerita, makanya aku sedikit mencuri dengar.

“Bu, di kantor TU ada setan e. “ Kata Bu Kus dengan muka serius.

“Kemarin to Bu, pas aku ngambil kapur di kantor TU. Kok, sepi pikirku. Ujug-ujug to Bu, printer kantor hidup. Nge-print sendiri. Langsung lari keluar kantor aku. Serem, Bu.” Kata Bu Kus.

Bu Wid yang mempercayai ada hantu di sekolah malah semakin membumbui kejadian itu. Maka jadilah Bu Kus makin bergidik. Padahal sebenarnya akulah yang tak sengaja membuat printer macet sebelum selesai mencetak. Wajar jika printer itu kembali mencetak ketika tidak macet lagi. Dalam hatiku, aku merasa bersalah kepada Bu Kus. Tapi biarlah, toh memang ada hantu di sekolahku yang sering main ayunan di bawah pohon angsana. Sayangnya cuma aku yang bisa melihatnya.

Tinggalkan Balasan