Oleh Heri Setiyono, S.Pd
Ketika kutulisankan surat ini pada malam yang hening itu, bintang-gemintang masih bertengger malas dan bulan masih keemasan berbinar sehingga pada semesta itu kulihat bibirmu yang tipis tersenyum begitu anggun, namun begitu jauh tertelan bayang-bayang hutan yang gelapnya menyelimuti hingga ufuk cakrawala tanpa ampun memudarkan cahaya temaran perasaan, meninggal jejak teriak semacam teriakan jeritan pilu supaya jangan ditinggalkan sendirian dalam keterasingan.
Daun-daun berguguran seperti waktu yang gemas merobeki tanggal di kalender yang berterbangan berkeliaran di jalanan hingga kumal berdebu kemudian menguap dan tertidur beralaskan fatamorgana, seperti sekumpulan kelelawar yang riuh beterbangan menggasak buah-buahan kemudian terkapar dalam lorong gua peraduan yang basah oleh kegetiran dunia dengan segala konspirasi dan kebohongan dijejalkan dalam kepala-kepala kosong diantara telinga yang lebar-lebar menjala kepalsuan untuk dihidangkan sebagai sarapan pagi nanti.
Kutuliskan surat ini di tepian angin yang menggerakkan baling-baling kincir musim kemarau di atas pohon menjulang ke dirgantara kelabu warna perasaan rawan sehingga berputar ke masa dimana anak-anak kecil belajar dengan lentera dan jelaganya menorehkan jejak pada bait-bait putih lembaran buku yang nantinya tergantikan layar-layar bercahaya menyilaukan mata dan sudah lama berkaca-kaca dalam kedukaan yang demikian dingin menusuki tubuh peradaban bernama pendidikan.
Ibu masih bercerita tentang perbedaan dan saudara-saudaraku yang miskin dilarang sekolah, dilarang sakit, hanya diperbolehkan berkumpul di ujung gang menyenandungkan lagu asmara yang belum pernah mereka rasakan, dan tidak akan pernah mereka rasakan karena keadilan telah diperjual-belikan dalam kotak-kotak kamar saling berjauhan, tetapi aku masih bisa mendengar cerita Ibu dengan perasaan sendu menggerakkan diriku yang begitu kosong sehingga setiap larik tulisanku adalah kota yang hidup dalam kenangan timbul –tenggelam tercetak diatas peta dunia yang warnanya tidak lagi hijau namun merah semerah daging yang dimakan mentah-mentah atas nama kemajuan gaya hidup kemewahan.
Surat ini kutulis dengan keinginan agar semua ini cepat berlalu, tetapi ketidakberdayaan telah merayap menuju ujung-ujung negeri tempat kusaksikan rombongan pengungsi dengan perahu-perahu mendaratkan buntelan nasibnya yang penuh darah, sampai kini darah itu masih menetes dan akan selalu menetes di sekujur tubuh lunglai bumi yang hutannya telah berperang melawan penggundulan dan kehidupan di dalamnya telah dipenjarakan dalam gunung es yang tidak mengenal matahari.
Kutanggalkan penaku ketika tulisanku mencapai tepian lembaran kertas yang hanya secuil dari pengetahuan, melipatnya membentuk pesawat terbang yang sejatinya tidak akan pernah terbang jauh menuju kelas yang kini ditinggalkan padahal awalnya memang telah dibangun untuk dirobohkan lagi secepat penguasa yang datang dan pergi lagi.
Heri Setiyono, S.Pd, NPA PGRI 10094000266