Oleh : Heri Setiyono, S.Pd
Hai Pram apa kabarmu? Setelah kemarin aku mendengarkan pengalamanmu kembali ke kota kecilmu dalam sebuah pentas seni sekolah kini akan kuceritakan mengenai sebuah penderitaan.
Siapa orang di dunia ini yang tidak merasa menderita. Semua orang menderita. Tetapi lebih tragisnya justru banyak yang berlebihan iri terhadap kehidupan yang lain sedangkan mereka tidak melihat hidupnya secara utuh. Senyatanya setiap orang menderita dan kehidupan yang gemilang pun dipenuhi penderitaan.
Tersebutlah nama Arta, dalam bahasa daerahku namanya bermakna uang. Nama yang hebat bukan? Dalam hidupnya tidak pernah ada kekurangan materi sedikitpun. Sebagaimana orang tunya memberikan nama, Arta memiliki kehidupan yang lebih daripada orang lain. Rumah, kendaraan, jabatan dan segala macam materi keduniawian yang membuat orang iri ada padanya.
Tetapi, bukankah orang selalu terlalu iri dengan kehidupan mapan semacam itu. Lain denganku yang biasa saja, malah kadang kasihan dengannya. Arta yang luar biasa dalam kehidupan yang penuh harta tidaklah merasa lengkap. Karena ada satu keinginan yang tidak dapat dicapainya. Menikah, itulah keinginannya.
Suatu ketika Arta dan kawan-kawannya menemui karibku Orca. Orca seorang cenayang. Terlahir dalam kelompok gypsi yang mempercayai setiap decade terlahir anak-anak beraura pelangi yang disebut rainbow childs. Orca salah satu dari siklus kelahiran itu. Namun, aku lebih suka dengan menyebutnya indigo.
Kemampuan Orca adalah melihat refleksi kehidupan seseorang. Dia dapat melihatnya kala orang yang ia baca bercermin maupun melihat kedalam matanya. Tahulah aku mengapa dia selalu menyebut mata adalah jendela yang menghubungkan jiwa ke masa yang dilalui dan masa yang akan datang.
Maka datanglah Arta dan kawan-kawannya kepada Orca. Mereka menannyakan masalah kehidupan. Cinta, adalah pokok utama yang ditanyakan para gadis muda itu. Menanyakan apakah mereka berjodoh dengan orang yang disuka atau dengan artis pujaannya. Gila memang. Tetapi itulah yang memang terjadi di kehidupan masa muda SMA-ku. Beberapa lebih memilih membaca tabloid dengan ramalan zodiac daripada datang kepada anak seperti Orca. Alasannya, tentu saja akan lebih menarik hidup sebagai sebuah kejutan. Sedangkan Orca, oh… dia tahu segalanya hingga ke rahasia dalam hati. Itu lebih ngeri daripada ketangkap basah oleh kepala sekolah saat melompati pagar untuk bolos.
Orca menjawab setiap Tanya. Hanya kepada Arta dia tidak bisa menceritakan apa-apa. Mengenai siapa jodohnya kapan ia akan menikah dan bagimana hidupnya nanti. Orca tidak mau menjawabnya.
Arta saat itu sangat penasaran dan menceritakannya kepadaku. Aku sendiri tidak begitu mengerti. Hanya dua hal, arti dari Orca tidak mampu menjawab pertanyaan. Karena dia tidak mampu membacanya, terkadang setiap orang memiliki takdirnya sendiri yang ditutupi. Atau karena memang tidak ada masa depan yang terlihat. Aku hanyamenjadi pendengar yang baik karena akupun tidak mau terlibat dengan hal-hal konyol semacam ini.
Dalam pikiranku kemungkinan kedua lebih mungkin. Dan ini terjawab setelah sepuluh tahun berlalu, tepat setahun setelah pernikahanku. Arta belum juga menikah. Sedangkan usia kini lebih dari cukup untuk menikah. Kehidupannya terasa hampa, harta memang tidak mampu membeli semua kebahagian. Masalah pendamping hidup yang dirindukan pun tidak kunjung datang. Arta meninggal tepat saat isteriku dinyatakan hamil oleh dokter.
Maka tahulah kini, bahwa memang Orca tak mampu melihat dalam mata Arta mengenai pendamping hidupnya. Karena memang dia akan mati sebelum dia akan menikah. Masalah mengapa ia meninggal yang kutahu hanyalah karena kanker paru-paru, tentang masalah lain yang menderitakannya aku tidak mau tahu dan tidak pernah juga mau mencari tahu.
Pram, mungkin kau masih ingat bahwa kita dalam kelopok GIFTED semasa SMA adalah orang yang paling dipandang menderita. Padahal kita biasa saja. Meski saat ini kita dianggap mencapai titik puncak pencapain dalam kehidupan. Karir dan semacamnya. Titik balikmu kala dahulu menyadarkanku untuk jangan terlalu iri ataupun kasihan kepada orang lain. Sebab aku hanya akan melihat kehidupan hanya sebagai sebagian wajah bulan. Hanya hemisphere-nya bukan seluruhnya utuh, kita tidak pernah melihat kehidupan secara utuh. Hanya melihat penderitaan dan gemilang pencapaian. Jalan berliku didalamnya sering kita abaikan.
Pram, tahukah kau bahwa di dunia ini ada juga yang iri terhadap hidup kita? Kuyakin kau tidak peduli karena menemukan titik balikmu dalam hidup.
Dari sahabatmu
Kalden
Heri Setiyono, S.Pd, NPA PGRI 10094000266