JODOH YANG TERTUKAR
Rasti spontan kaget saat mendengar cerita ayahnya beberapa hari yang lalu. Rasti menarik nafas panjang saat mengingat kata-kata ayahnya tentang perjodohannya dengan seorang laki-laki anak teman lama Pak Lukman, ayahnya.
“Tidak, Ayah. Saya sudah punya calon pendamping.” Ucap Rasti pelan seakan tidak ingin mengecewakan ayahnya meskipun dalam hati berontak.
“Ayah tidak memaksamu, Nak. Tapi Ayah sangat berharap kamu bersedia menerimanya.” Ucap ayah.
Beberapa saat keheningan tercipta. Mereka larut dalam pikiran masing-masing.
“Sebenarnya Ayah berhutang budi pada Pak Dirga.” Ayah mulai bercerita.
“Kamu masih kecil kala itu, Nak. Ayah terjerat utang pada rentenir. Hampir saja rumah tempat tinggal kita serta sawah sebagai sumber penghasilan kita satu-satunya melayang disita rentenir.” Ayah menarik nafas sejenak.
“Pak Dirgalah orang yang telah membantu membayarkan segala utang-utang Ayah.”
“Beberapa waktu yang lalu Ayah bertemu kembali dengan Pak Dirga di sebuah toko saat membeli pakan ternak. Ayah sangat senang. Hingga akhirnya Ayah mengajaknya untuk mampir di rumah kita.” Lanjut ayah.
Rasti mendengar cerita ayahnya dengan serius hingga keningnya berkerut, sementara ayah tampak sangat tenang dengan keteduhan di matanya.
“Untuk selanjutnya Pak Dirga beberapa kali mampir ke rumah. Kamu sudah bertemu beliau kan?” Tanya ayah meyakinkan.
“Iya, Ayah.” Jawab Rasti singkat.
“Saat melihatmu, beliau suka sama kamu, katanya kamu anak yang baik, sopan, dan rajin hingga beliau ingin agar kamu menjadi menantunya.” Tukas ayah masih dengan raut wajah tenang. Rasti hanya diam.
“Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Renungkanlah, Nak! Kau sudah dewasa, Ayah yakin kamu pasti bisa memutuskan yang terbaik.” Kata ayah dengan sedikit senyum di bibirnya dan berlalu meninggalkan Rasti sendiri di ruang tengah.
Sementara Rasti pun masuk ke kamarnya dengan rasa yang gundah. Direbahkan tubuhnya di kasur yang berseprei hijau muda kesukaannya.
“Kak Rustam…” Dilafaskan nama itu hampir tak terdengar. Sosok lelaki gagah telah memikat hatinya dan telah menjadi kekasihnya.
“Apakah aku sanggup menghianatimu, menghianati janji yang telah kita patri bersama?” Rasti menarik nafas panjang lalu menghembuskannya.
Rustam, guru penjas di sebuah Sekolah Dasar. Sementara Rasti dengan gelar Sarjana Pendidikan yang disandangnya, dia ingin mengabdikan dirinya pada masyarakat dengan menjadi guru walaupun hanya sebagai guru honorer yang gajinya tidak seberapa. Meskipun demikian Rasti bahagia menjalaninya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Rasti dalam hati.
Rasti gelisah. Dia hanya membolak balik tubuhnya. Tiba-tiba Rasti bangkit.
“Tidak. Ini tidak adil. Mengapa saya harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak saya kenal? Bertemu sekali pun tidak.” Rasti berontak.
“Dijadikan media balas budi lagi.” Gerutunya dengan jengkel. Nafasnya tak karuan karena emosi.
“Lebih baik saya kabur saja dari rumah. Pasti Kak Rustam setuju dengan keputusanku ini.” Yakinnya sambil meraih handphone yang diletakkan di atas meja hendak menelfon Rustam.
“Tapi… bagaimana dengan Ibu dan Ayah?” Rasti duduk di kursi dengan lesu. Seketika mimiknya berubah.
“Saya tidak mungkin mengecewakan Ayah.” Gumamnya.
“Kalau saya kabur karena masalah ini, Ayah akan menanggung malu seumur hidup. Apalagi Ayah sebagai kepala kampung, orang yang di segani di kampung ini.” Rasti mengguman.
“Saya anak Ayah satu-satunya. Kapan lagi menyenangkan hati orang tua? Ayah telah banyak berkorban untukku.” Kata Rasti.
“Sekaranglah saatnya saya membalas budi pada Ayah dan ibu yang telah sabar dan penuh cinta membesarkanku.” Ungkapnya.
“Mungkin ini yang terbaik. Jodoh, rejeki, dan ajal ada di tangan Allah.” Kata Rasti pasrah.
“Besok saya harus membicarakan hal ini pada Kak Rustam.” Rasti kembali merebahkan tubuhnya di kasur.
Meskipun masih ada keraguan dalam dirinya, namun Rasti berusaha meyakinkan hatinya. Hingga akhirnya, di ujung malam, Rasti pun terlelap dalam tidurnya dengan sedikit senyum di bibirnya.
***
Keesokan harinya, Rasti bangun lebih pagi dari biasanya. Meskipun kurang tidur namun hatinya merasa lega. Setelah menyiapkan sarapan, lalu bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
Di meja makan telah menunggu ayah dan ibunya untuk sarapan bersama. Mereka menikmati nasi goreng dengan telur ceplok dan sambel.
“Ayah.” Rasti memulai pembicaraan.
“Saya menerima perjodohan itu.” Ucap Rasti singkat.
“Benarkah, Nak?” Pak Lukman kaget tapi sangat senang. Terbias dari senyum di bibirnya.
“Iya, Ayah. Saya tidak mau mengecewakan Ayah. Karena saya yakin, Ayah akan memberikan yang terbaik buatku.” Ucap Rasti berusaha untuk yakin.
Setelah menyelesaikan sarapan dan menyiapkan segala keperluannya, Rasti pun pamit pada kedua orang tuanya.
Di tempat lain, pagi itu di sebuah warung kecil yang menyajikan bubur ayam, seorang pemuda gagah dengan postur tubuh yang OK, dengan kostum olahraga, nampak mulai gelisah menunggu seseorang.
Dialah Rustam, sang guru penjas yang menjadi pujaan hati Rasti. Tak berapa lama Rasti pun muncul mengendarai Yamaha Mio merahnya.
“Assalamualaikum, Kak!” Sapa Rasti.
“Waalaikum mussalam.” Jawab Rustam singkat.
“Sudah lama menunggu, yaa?” Tanyanya dengan senyum manis. Yang ditanya tersenyum pula membuat wajah gagahnya semakin jelas.
“Ada apa? Saya jadi penasaran nih.” Tanya Rustam.
Beberapa saat Rasti terdiam, tak berani menatap wajah Rustam. Raut wajahnya pun mulai berubah membuat Rustam semakin bertanya-tanya.
“Ada apa, Rasti?” Tanyanya menyelidik.
“Saya mohon maaf, Kak. Mungkin kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini.” Kata Rasti pelan. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca.
“Ayah telah menjodohkanku dengan anak teman lamanya yang telah berjasa dalam keluarga kami. Sebagai anak yang berbakti, inilah saatnya saya harus membalas jasa kedua orang tuaku.” Rasti terisak.
Mendung yang dari tadi menggantung di kelopak matanya, kini mulai terjatuh menjadi titik-titik air mata.
Sementara Rustam tak berkata apa pun. Sesekali hanya menelan ludah. Keheningan tercipta beberapa saat.
“Kau yakin dengan keputusanmu?” Tanya Rustam kemudian. Yang ditanya hanya diam.
“Sebenarnya saya sangat menyayangi Kakak. Keputusan ini terpaksa saya tempuh, Kak.” Jelas Rasti.
“Kau anak yang baik, Rasti. Saya salut denganmu. Saya hargai segala keputusanmu.” Ucap Rustam mantap.
“Terima kasih telah memberi kebahagiaan selama ini, Kak.” Ucap Rasti dalam isak tangisnya.
“Saya minta maaf, Kak.” Rasti berlalu meninggalkan warung itu. Sementara Rustam masih duduk sendiri di sana. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
***
Beberapa hari kemudian keluarga Pak Dirga pun datang melamar Rasti secara resmi. Mereka hanya menentukan bulan pernikahan, belum menentukan tanggalnya karena kedua calon mempelai harus mengurus berkas untuk mengikuti sidang pra-nikah sebagai kelengkapan berkas pengajuan pernikahan di KUA, dan pemberian izin nikah dari pimpinan kepada setiap anggota POLRI yang akan melaksanakan pernikahan.
Rasti baru tahu ternyata calon suaminya adalah seorang anggota POLRI. Itulah pertemuan pertamanya dengan Rukman, laki-laki yang akan menjadi suaminya. Dia sangat gagah dengan seragam Polisi yang dikenakannya.
Setelah segala urusan selesai, pernikahan pun dilaksanakan. Kini Rasti resmi menjadi Ibu Bhayangkari, Ibu Rukman. Begitulah para tamu, ibu-ibu Bhayangkari menyapanya ketika menghadiri resepsi pernikahan mereka. Beberapa Bhayangkara teman-teman Rukman mengejeknya, bahkan ada yang memuji istrinya yang sangat cantik.
Dalam hati Rasti merasa bersyukur ternyata ayahnya memang tidak salah pilih. Rasti pun tersenyum bahagia, mencoba menghilangkan keraguan dalam hatinya.
Pesta pun usai. Rasti harus meninggalkan kedua orang tua yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Isak tangis tak terelakkan dari mereka melepas anak semata wayangnya harus pergi demi mendampingi suaminya. Hingga di ujung jalan Rasti tak lagi melihat ayah ibunya yang melambaikan tangan padanya.
“Sudahlah, jangan menangis. Saya akan menjagamu, memberikan cinta dan kasih sayang seperti mereka mengasihimu.” Ucap Rukman sambil mengusap air mata di pipi Rasti, istrinya.
Rasti diam. Ada yang aneh dalam hatinya. Entah…..
Mobil melaju semakin jauh, jauh meninggalkan rumahnya, meninggalkan segala masa lalunya dan berusaha menatap masa depan.
Setelah sampai di halaman rumah Pak Dirga, Rukman menggenggam tangan istrinya lembut. Kembali rasa aneh itu muncul dalam hatinya. Ada getar-getar aneh yang membuatnya gugup. Jantungnya berdetak kencang. Namun Rasti berusaha menyembunyikannya.
Mereka menapak pintu rumah yang masih dihiasi dengan dekorasi yang megah. Di sana masih berkumpul keluarga besar Pak Dirga, Bu Siska istrinya, om dan tante Adnan, serta adik laki-laki Rukman.
Alangkah terkejutnya Rasti saat melihat seorang laki-laki yang berdiri, berjejer di antara mereka. Dia adalah Rustam mantan pacarnya. Rasti hendak kabur, namun tangan Rukman semakin kuat menggenggam lengannya.
“Selamat datang anakku. Sudah lama Papa dan Mama menunggumu di sini.” Kata Bu Siska sambil memeluk menantunya.
Rasti berusaha tersenyum menyambut pelukan hangat ibu mertuanya.
“Rasti, kenalkan, ini Rustam adikku.” Kata Rukman.
“Saat pernikahan kita kemarin dia sedang ada urusan di luar kota.” Jelas Rukman.
Rasti diam, tak sanggup berkata apa pun. Tubuh Rasti lemas seakan tak bertulang. Untung saja lengan kokoh suaminya mampu menopang tubuh mungilnya.
“Bawa istrimu ke kamar untuk beristirahat, Nak! Mungkin dia lelah.” Kata Bu Siska.
Saat mereka sedang berdua, ketika Rasti merasa sudah lebih kuat, akhirnya Rasti menceritakan masa lalunya dengan Rustam, adiknya.
“Sudahlah Rasti, saya sudah tahu semuanya, segala kisah tentang kalian berdua telah diceritakannya padaku.” Jelas Rukman.
“Rustam telah merestui pernikahan kita. Dia anak yang baik. Kami sangat dekat jadi tidak ada rahasia di antara kami.” Jelas Rukman panjang lebar.
“Saya janji akan menyayangimu seperti dia mencintaimu, malah lebih dari itu.” Lanjutnya dengan senyum yang manis sekali membuat jantung Rasti kembali berkecamuk, kayak ABG aja…..
“Saya salut denganmu yang berani mengambil keputusan untuk menikah dengan orang yang sama sekali tidak kau kenal demi bakti dan kasih sayangmu pada orang tua.” Rukman diam sesaat.
“Hingga saya juga yakin bahwa kamu akan menerima dan menyayangiku seperti kamu menyayangi mereka. Terima kasih sayang…..” Rukman tersenyum. Sebuah kecupan kecil mendarat di keningnya dan membawanya ke dalam pelukannya.
Rasti menangis dalam pelukan orang yang telah menjadi bagian dalam hidupnya. Artinya, getaran-getaran aneh yang dirasakannya sekarang adalah Rasti mulai mencintai suaminya. Masa lalu biarlah menjadi masa lalu, masa depan mari kita songsong bersama. Itu janji Rasti.
“Terima kasih sayang.” Ucap Rasti lembut tepat di telinga Rukman.
Ada rasa bangga yang tiba-tiba menyelinap dalam hati Rasti, bahwa setiap perempuan punya kesempatan menjadi seorang istri, tapi tidak semua perempuan berkesempatan menjadi Ibu Bhayangkari.
Maros, 16 Desember 2020
Wassalam
Johra: Penulis pemula, penulis yang masih belajar menulis, ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan yakni SMK Tridharma MKGR Maros.