Maaf, bukan ingin melecehkan peribadahan dan upacara keagamaan, dengan mencuplik kata beribadah puisi. Judul tulisan yang ke 19 di KMAA (Karena Menulis Aku Ada) itu sedikit banyak menyinggung tentang puisi Joko Pinurbo Penyair idola saya. Hampir sama dengan puisinya Sapardi Djoko Damono (SDD)yang mempunyai kekuatan kata – kata sederhana tetapi efek maknanya luar biasa.
Saya suka puisi meskipun dalam di website itu belum sekalipun menulis puisi. Puisi itu sebuah peribadahan, permenungan dan pengendapan perasaan menurut saya. Kalau dirunut saya sebetulnya sudah menulis puisi sejak 1988. Ketika merasakan jatuh cinta pada seseorang di kala SMA. Puisi itu memberi kesan indah, semua perasaan, kecemasan, kegalauan dan mimpi bisa dituangkan dengan puisi.
Seperti berdoa, puisi lahir dan muncul mewakili perasaan. Ungkapan kritis, atau rasa kesepian serta kerinduan sebuah peristiwa manis yang pernah mampir dalam hidup.
Beberapa puisi saya sudah dikumpulkan dan menjadi antologi bersama teman- teman komunitas sastra.
Apa yang kamu ketahui tentang puisi? Pertanyaan itu menggelayut, selalu berbeda sudut pandang tiap orang tentang puisi. Ada yang senang puisi yang menampilkan kekaguman pada alam, menyusun dengan rima dan kata – kata bersusun, teratur AB AB . Ada yang menceritakan puisi seperti sedang ngobrol atau sedang melakukan komunikasi verbal.
Puisi W S Rendra lahir dari kegelisahan sosial dan politik. Puisi SDD seperti buku Sutradara itu Menghapus Dialog kita, menampilkan kesederhanaan kata tapi dengan makna amat dalam. Puisi Joko Pinurbo seperti yang tertuang di buku berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, mungkin pelesetan dari Selamat Menunaikan Ibadah Puasa,
Lihat salah satu cuplikan syairnya:
Dari kamar mandi
yang jauh dan sunyi
saya ucapkan
Selamat Menunaikan Ibadah Puisi
Sabda sudah menjadi saya.
Saya akan dipecah- pecah
menjadi ribuan kata dan suara
Tubuhku kenangan
yang sedang
menyembuhkan lukanya sendiri …
Kita adalah cinta yang bejihad melawan trauma
Bagi penyair menulis puisi adalah ibadah. Saya sendiri menyukai puisi, tapi tidak memproklamirkan diri khusus menulis puisi. Saya tidak sekonsisten para penyair hanya senang memainkan kata, entah disebut puisi atau sekedar merangkai kata mirip puisi. Sedangkan menurut referensi yang saya puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat irama. Matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (sumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia )
Saya sering menabrak rumusan puisi, sering tidak mengindahkan irama dan lupa kaidah rima, larik dan bait. Terkadang hanya mencoba mengindahkan kata, tanpa ada kedalaman makna.
Tapi puisi adalah bahasa kejujuran, di baris – barisnya muncul segudang rasa dan sejuta makna. Makanya dalam cekaman sepi, sunyi, saat menatas senja dan warna – warnanya yang indah muncul sebaris kata indah yang spontan muncul untuk mewakili suara jiwa.
Membincangkan puisi seperti membincangkan suara jiwa. Setiap orang bisa mencipta puisi karena puisi sesungguhnya suara jiwa dan setiap orang yang hidup mempunyai jiwa yang berbicara bernama suara nurani.
Tetapi tidak semua orang bisa membariskan kata – kata menjadi puisi indah. Ada banyak jenis puisi yang sempat saya kenal berdasarkan bacaan – bacaan baik di koleksi buku maupun lewat internet. Dari koleksi buku berdasarkan jenisnya puisi terdiri dari mantra, pantun, gurindam, syair, talibun, Puisi Romansa.
Ada beberapa puisi yang masuk dalam puisi romansa diantaranya puisi dari Sapardi Djoko Damono Aku ingin. Pacar Senja, karya Joko Pinurbo dan Cinta Tanpa Tanda, Sujiwo Tejo.
Ada juga puisi berjenis Balada. Puisi puisi Rendra banyak yang berjenis balada. Ternyata membincangkan puisi bisa berderat paragraf tersusun. Menurut Beberapa ahli sastra seperti HB Jassin, puisi adalah karya sastra yang diucapkan dengan perasaan dan memiliki gagasan atau pikiran serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu.
Berbicara tentang puisi, berbicara tentang kata- kata yang indah. Tetapi apakah para penulis puisi harus mengenal sastra, membaca buku teori puisi, atau melatih diri membuat rima, baris, larik yang sesuai dengan aturan baku penulisan puisi.
Saya menulis puisi berdasarkan kata hati, kadang sering tidak mengindahkan larik bait yang berirama. Sering menulis puisi mbeling yang sering menyalahi aturan penulisan baku puisi.
Saya menyukai puisi yang menggelorakan kejujuran jiwa. Tetapi saya menghargai dan membaca puisi siapa saja, meskipun belum sekelas Chairil Anwar, Iwan Simatupang, SDD, Wiji Tukul, Joko Pinurbo.
Banyak penulis puisi bagus yang datang dan pergi. Mereka adalah para penyair yang berjuang dengan kata dan mencoba mengiripkan kata- kata bijak penuh makna dalam sebarik, serima dan seirama puisi.
Meskipun di era teknologi digital kini puisi sering kalah dengan cuitan media sosial atau status yang sering bar- bar dalam melontarkan kata, terlalu lugas atau malah sudah diluar tata krama. Coba jika para pegiat medsos itu membaca cuplikan puisi SDD :
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Para penulis status yang asal bunyi sebaiknya belajar menulis, agar dunia maya jauh lebih dingin dengan banyaknya kata- kata indah yang muncul, bukan sekedar menulis, tetapi tidak melibatkan jiwa hanya ingin mengotori jagad dengan kata- kata yang menusuk jiwa, tidak menampilkan tata krama yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia yang mempunyai warisan budaya adiluhung ketimuran.
Marilah setelah beribadah para penyair dan penulis juga mengikuti peribadahan puisi. Sebab beribadah puisi bisa menentramkan jiwa yang tengah lara, menghilangkan nestapa yang membikin manusia merasa sepi sunyi sendiri.
Demikian, saya menulis catatan ini semoga menjadi bahan baik untuk tulisan- tulisan selanjutnya yang sudah menari- nari dipikiran dan rasa. Salam literasi.
Jonggol, 7 September 2021
Referensi: Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (buku kumpulan Puisi Joko Pinurbo. Gramedia)
gramedia.com (tentang arti puisi dan cuplikan syair Sapardi)
Sutradara Menghapus Dialog Kita (Sapardi Djoko Damono)
Keren,…