PUTRI TANGGUH (Bagian 1)
Oleh: Lili Suriade, S.Pd
Senja merah telah datang, ketika Juwita masih sibuk dengan aktivitas rutin nya mengupas kulit buah pinang yang sejak sore tadi dia lakukan.
“Sudahlah nak..sudah hampir magrib..”Ucap Ibu mengingatkannya
“Iya Bu..ini sudah hampir selesai..” Jawabnya sambil membereskan semua kulit-kulit buah pinang yang masih berserakan.
“Alhamdulillah..” Juwita merasa puas melihat buah pinang yang telah selesai dikupasnya. Tinggal proses penjemuran saja lagi, selanjutnya akan dijual ke toke yang datang membeli rempah-rempah ke kampungnya.
Juwita bergegas mandi dan berpakaian rapi. Ia akan menunaikan sholat magrib di mesjid Rajo Ibadat, dekat rumahnya. Selepas itu, Juwita langsung menuju tempat kerjanya.
Juwita berjalan dalam remang nya malam menuju ke sebuah rumah mewah yang ada di perempatan jalan di kampungnya. Hanya 3 menit saja, dia sudah sampai. Seperti biasa, hatinya begitu bimbang untuk memasuki rumah yang masih tertutup rapat itu. Namun dia mencoba mengetuk pintu perlahan. Tampak bayangan seseorang yang sedang membukakan pintu. Juwita dengan sabar menunggu.
“Silahkan masuk nak Juwi..”
“Baik mbok..apa anak-anak sudah siap?” Tanya Juwita.
“Belum. Malah si Keke masih tertidur pulas.”
“Bisa dibangunkan mbok?”
“Tadi sudah dibangunkan sama nyonya, namun dia malah menangis. Habis itu tidur lagi.” Jawab mbok Nen sambil tersenyum.
“Yang lainnya mana mbok?”
“Ada di ruang tengah, nonton.”
“Baiklah mbok,saya ke dalam dulu.” Ucap Juwita sambil berlalu masuk kedalam rumah.
Di ruang tengah yang luas itu, terlihat beberapa orang anak sedang bersantai sambil menonton televisi.
“Assalamu’aikum adik-adik uni..”
“Wa’alaikumsalam..” Jawab para anak hampir serempak.
“Rinto, Tora…ayo cepat bersiap-siap, kita akan belajar lagi.” Ucap Juwita sambil mematikan televisi.
“Baik uni…!” Rinto dan Tora segera pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari rumah bako nya itu. Rinto dan Tora tinggal di tanah bako nya. Papa nya membawa anak dan istrinya tinggal di sana. Jadi mereka juga ikut belajar mengaji bergabung dengan sepupunya yang lain.
“Anfal, Mizan, ayo dek kita sholat jamaah dulu.” Ucap Juwita lagi.
Adik-adik itu segera bubar dari depan televisi dan bergegas mengganti pakaiannya.
“Ini kopiahnya nak..” Ucap bu Ermaa, mama Mizan.
“Ma..mana sarung Anfal?” Tanya Anfal dari rumah sebelah. Rumah itu terdiri dari dua bagian yang dibangun dengan ukuran dan model yang sama. Rumah itu kembar, di tengahnya ada sebuah pintu penghubung. Hal itu melambangkan bahwa pemiliknya adalah kakak beradik yang sangat rukun.
Selama 2 tahun Juwita mengajari anak-anak mereka, belum pernah sekalipun ia mendengar bu Erma dan Bu Susila bertengkar, atau tidak bertegursapa beberapa hari. Mereka terlihat sangat rukun, sehingga anak-anak mereka pun juga rukun.
“Uni..kami telah siap.” Ucap Nabilla yang datang dari rumah sebelah. Sementara itu, Cece anak perempuan bu Erma pun sudah selesai memakai mukenenya.
Juwita tersenyum bahagia melihat adik-adiknya sudah selesai berbenah. (Bersambung)
Ditunggu lanjutannya Bu Lili..