GUS Mus atau yang bernama lengkap KH. Mustafa Bisri membuat pernyataan begini, “Banyak orang yang semangat untuk berislam tapi lupa terhadap pemilik Islam.” Kiyai yang banyak menulis puisi, ini mengatakan kalau dewasa ini banyak orang Islam yang kelihatannya getol dan begitu bersemangatnya berislam tapi sesungguhnya tidak menceminkan Islam. Lha, kok begitu, Gus?
Gus Mus, penyuka dan praktisi literasi, yang produk karya tulisnya sangat banyak menyebut istilah ‘berislam’ ini untuk merujuk orang-orang yang kelihatan begitu bersemangat melaksanakan pernak-pernik Islam tapi bablas menjadi tidak Islami. Saya kutip dari tulisan berjudul Gus Mus Ingatkan Soal Ngaji: Banyak Orang Semangat Berislam, Tapi Tak Mengenal Pemilik Islam yang dimuat di situs hajinews.id pada hari Senin (26/09/2021) kemarin banyak menyebut pernyataan Gus Mus yang mengingatkan orang untuk terlebih dahulu mengenal pemilik Islam, yaitu Allah sebelum begitu sibuk dengan berislam.
Kata Gus Mus, “Ada pepatah mengatakan, ‘Kenali dirimu maka kamu akan kenali Tuhan-mu’ maka hendaklah kita benar-benar mengenal Allah sebagai pemilik Islam sebelum pernak-pernik Islam ditampilkan,” katanya seperrti ditulis pada halaman situs itu. Pepatah tersebut, nyatanya memang penting dipegang bagi siapapun yang beragama Islam. Nyatanya mengenal diri sendiri itu tidak semudah yang dibayangkan. Kurang-lebih begitu saya memahami pernyataan Gus Mus di artikel itu.
Sejatinya proses keislaman tidak behenti di tengah jalan. Ingat, kata Gus Mus bahwa terbukti di luar Islam juga ada banyak ajaran yang sejalan dengan Islam. Bahkan nilai-nilai Islaminya sangat kentara walaupun itu bukan ajaran Islam. Dia mencontohkan pewayangan Dewa Ruci yang memiliki enam ajaran kemanusiaan, selaras dengan perintah-perintah agama, katanya.
Literasi Gus Mus dalam berislam memberikan beberapa tip agar kita (muslim) berislam itu mencerminkan pengenalan yang benar kepada Allah. Dalam berislam hal utamaynya adalah mengenal Allah Swt. Mengenal Allah berarti mengenal ciptaan Allah dan memperlakukan segala ciptaan Allah sesuai garis yang ditetapkan Allah. Kasih-sayang dan berlaku adil tidak hanya kepada sesama manusia tapi kepada semua alam, makhluk Allah lainnya mesti juga diberlakukan.
Tidak lupa Gus Mus mengingatkan bahwa salah satu cara mengenal Allah adalah dengan mengaji. Mengikuti pengajian. Dengan mengaji menjadikan seseorang paham akan proses berilmu untuk meraih rida Allah. Ilmulah yang akan membimbing orang bagaimana berislam yang baik dan benar. Dengan ilmu tidak akan terjadi orang-orang berislam tapi kelakuannya tidak Islami, katanya. Ini satu literasi yang penting bagi semua orang.
Masih menurut Gus Mus, fenomena banyaknya orang berdakwah, namun tak mencerminkan keislaman, itu bertentangan dan tak masuk akal. Satu sisi menyenangkan Allah, tapi pada satu sisi lainnya melaknat hamba Allah yang tak seperti dirinya. Tidak melulu harus berkaca pada tokoh atau peristiwa yang ada dalam cerita atau kisah Islam. Katanya lagi, penting pula, melihat tokoh-tokoh lain yang memperlihatkan keislaman padahal bukan seorang muslim.
Untuk itu Gus Mus memberikan beberapa pesan, antara lain, Pertama, tidak berbicara atau melakukan sesuatu sebelum paham dan mengerti tentang hal tersebut. Kata Gus Mus, “Jangan gegabah menerima sesuatu, dan kemudian mengomentarinya. Lebih baik diam dari pada membuat orang tersesat karena tidak tahu ilmu mengenai itu.” Begitu dia menegaskan.
Kedua, Harus bisa menilai. Bisa membedakan antara emas dan loyang atau harus membedakan sesuatu yang sama tapi beda makna. “Harus bisa membedakan antara emas dan loyang. Artinya kita harus ngaji, harus belajar. Kalau tidak belajar, tidak mengaji tentu tidak akan bisa membedakan besi kuning dengan emas. Mana tembaga mana emas tidak akan bisa membedakannya, katanya beriktibar. Bagi kita ini satu literasi yang penting dipahami.
Ketiga, Upayakan tidak memiliki sifat kaget dan kebingungan. Sebab, lanjutnya sifat tersebut hanya dimiliki oleh orang yang tak mengaji. Agar terhindar, Gus Mus mengatakan, seseorang harus ngaji dan memiliki keluasan ilmu.
“Inilah yang menjadi niatan utama para santri terdahulu belajar di pesantren yakni hanya ingin mencari ilmu untuk menghilangkan kebodohan. Dan kita tahu kebodohan tidak akan hilang. Karena begitu anda pandai, anda merasa lebih bodoh dari kemarin. Kalau anda sudah merasa pandai, di situ anda mulai bodoh,” tutur Gus Mus.
Keempat, Sebagai manusia harus mampu mengkontrol atau menjaga hawa nafsu. Kata Gus Mus, “Lepas kendali menyebabkan siapapun bisa kalap dan membuat sesuatu yang bodoh.” Itu bermakna tidak mampu mengontrol hawa nafsu.
Kelima, Mengamalkan ilmu yang sudah dimiliki. Kata Gus Mus, ilmu yang mengendap dan tidak diamalkan bukan ilmu pengetahuan. Kita setuju. Itu malah menjadi beban yang akan memberatkan. Artinya, ilmu yang tak diamalkan itu akan menjadikan pemilik ilmunya tidak mendapatkan apapun dari ilmu itu. Bahkan kata Gus Mus, justeru membuat pemiliknya menajdi sombong.
Keenam, Memiliki dan melaksanakan ilmu kemanusiaan. Menurut Gus Mus, ilmu kemanusiaan sangat bisa dan relevan untuk memahami agama. Sayangnya, katanya, manusia di zaman sekarang banyak yang menjadi instan dalam keseharian. Sungguh tidak baik jika kita memiliki mental instan karena berakibat tidak mau bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan dalam bekerja. Dalam beragama tidak bisa demikian. Wajib bersungguh-sungguh. Tidak boleh berharap serba instan.
Memahami jalan pikiran dan pesan-pesan Gus Mus artinya kita telah berliterasi dengan literasi Gus Mus sebagaimana terurai dalam catatan singkat ini. Bagaimana kita memahami dan berusaha melaksanakannya, itulah hal penting dari literasi Gus Mus itu.***
Beragama berarti mesti berilmu ya, Pak? Terima kasih pencerahannya.