Memperingati Hari Radio Nsional, Masihkah Kita Perlukan?

TENTANG radio, alat komunikasi yang sudah sangat tua, mungkin sebagian kita sudah tidak lagi mendengarkan siarannya. Radio sudah ditinggalkan begitu hadirnya berbagai alat komunikasi lainnya. Tapi, radio nyatanya tetap eksis hingga hari ini. Dan kita ingat, jasa radio di awal kemerdekaan bangsa ini sangatlah besar. Bagi kita penyuka dan praktisi literasi, radio juga bagian dari literasi itu sendiri. Dengan radio berbagai informasi dapat kita peroleh.

Tepat tanggal hari ini, 76 tahun yang lalu untuk pertama kali keputusan membentuk Radio Republik Indonesia (RRI) terwujudkan. Itu berarti kurang dari satu bulan sejak lahirnya Indonesia merdeka yang diproklamirkan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Catatan penting bagi kita tentang HRN (Hari Radio Nasional). Itulah  catatan awal bermulanya radio sebagai alat komunikasi dan informasi suara bagi bangsa kita yang melahirkan HRN.

Mengutip tulisan berjudul Sejarah Hari Radio Nasional & Lahirnya RRI Tanggal 11 September yang ditulis oleh Nur Hidayah Perwitasari dengan editor Iswara N Raditya yang diposting pada situs https://tirto.id/ehSH 11 September 2019 jelas bagi kita bahwa sejarah Hari Radio Nasional bermula dari kelahiran Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Tanggal hari ini adalah tanggal penting bagi radio di Tanah Air kita.

Karena itu setiap tanggal 11 September diperingati sebagai Hari Radio Nasional atau Hari RRI. Dengan mengutip situs Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dikatakan bahwa RRI didirikan sebulan setelah siaran radio milik pemerintah militer Jepang, Hoso Kyoku, dihentikan pada 19 Agustus 1945.

Sebagaimana kita banyak dalam catatan sejarah kemerdekaan, saat itu masyarakat kurang mendapatkan informasi setelah Indonesia merdeka. Dan karena masyarakat semakin bingung karena radio-radio luar negeri waktu itu mengabarkan bahwa pasukan Sekutu akan menduduki Jawa dan Sumatera setelah mengalahkan Jepang di Perang Asia Timur Raya yang menjadi rangkaian dari Perang Dunia Kedua maka Pemerintah RI memandang perlu adanya alat informasi untuk masyarakat yang bersumber dari Pemerintah sendiri.

Menurut catatan sejarah, beberapa orang Indonesia yang sebelumnya pernah bekerja di radio pada masa penjajahan Jepang kian menyadari bahwa peran radio sangatlah penting. Radio menjadi alat yang diperlukan untuk berkomunikasi dan memberi informasi kepada rakyat tentang apa yang harus dilakukan oleh masyarakat. Lalu 8 orang yang sebelumnya tergabung di Radio Hosu Kyoku mengadakan pertemuan bersama pemerintah RI di Jakarta. Mengutip artikel yang sama, di antara para delegasi itu adalah Abdulrahman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarmadi, Sudomomarto, Harto, dan Maladi.

Tepat tanggal 11 September 1945 pukul 17.00 WIB, delegasi radio sudah berkumpul di bekas Gedung Raad van Indie Pejambon dan diterima wakil dari pemerintah RI. Abdulrahman Saleh yang menjadi ketua delegasi menguraikan garis besar rencana dalam pertemuan tersebut. Salah satunya adalah meminta kepada pemerintah RI untuk menggunakan radio sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Hal ini dipandang penting karena Sekutu akan mendarat di Jakarta akhir September 1945. Radio dipilih sebagai alat komunikasi karena lebih cepat dan tidak mudah terputus andaikata terjadi pertempuran.

Delegasi kemudian menyarankan agar pemerintah RI meminta kepada otoritas Jepang yang masih ada di Jakarta untuk menggunakan peralatan Radio Hoso Kyoku. Namun, sejumlah petinggi negara, termasuk beberapa menteri, keberatan karena alat-alat milik Jepang tersebut sudah terdaftar sebagai barang inventaris Sekutu. Para delegasi radio tetap bersikukuh dan akhirnya diambil jalan tengah.

Beberapa keputusan yang direkomendasikan kepada pemerintah RI dalam pertemuan itu antara lain, dibentuknya Persatuan Radio Republik Indonesia (RRI) yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa. Rekomendasi lainnya, mempersembahkan RRI kepada Presiden Sukarno sebagai alat komunikasi dengan rakyat. Terakhir menyarankan supaya semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh.

Pemerintah RI menyanggupi rekomendasi tersebut dan siap membantu RRI meskipun mereka masih tidak sependapat dalam beberapa hal. Setelah itu, tepat pukul 24.00 WIB, delegasi 8 stasiun radio mengadakan rapat di rumah Adang Kadarusman. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan, yakni didirikannya RRI dengan Abdulrachman Saleh sebagai pemimpinnya. Sejak 11 September 1945 itu diputuskan sebagai awal lahirnya Radio Republik Indonesia dan setiap tanggal yang sama diperingati sebagai Hari Radio Nasional (HRN). Tahun ini artinya HRN ke-76, sesuai dengan hitungan tahun merdekanya bangsa Indonesia.

Kini, radio, baik radio milik Pemerintah (RRI) maupun radio swasta yang dikelola oleh masayarakat tidak hanya berfungsi sebagai penyampai pesan atau informasi saja. Saat ini radio juga dimanfaatkan sebagai media hiburan. Jadi, selain berita-berita juga hiburan lainnya. Termasuk juga menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pencerahan umat dan kemanusiaan seperti materi keagamaan dan pengajian lainnya.

Pada sisi lain fakta yang juga kita simak, persaingan radio dengan alat komunikasi lainnya seumpama televise, Chanel You Tobe dan aplikasi medsos lainnya membuat tekanan r=kepada radio semakin kuat. Tidak dapat dipungkiri kalau radio yang hanya mengandalkan penyampaian informasi dengan media suara semakin ditinggalkan. Masihkah kita menganggap radio sebagai alat komunikasi yang dibutuhkan? Sejarah dan waktu-waktu ke depan akan menjawabnya. Kita sebagai praktisi literasi memastikan bahwa radio sebagai alat komunikasi masih sangat diperlukan. Selamat Hari Radio ke-76, Semoga Eksistensinya Tetap Bertahan. Sekali di udara tetap di udara. Itulah jargon radio hingga saat ini.***

Tinggalkan Balasan