Hujan yang berkawan dalam dingin, menembus batas pagi dan menyembunyikan matahari. Pagi itu suasana tak se-elok biasanya. Tiada lagi embun yang menggumpal pada lengkung dedaunan, melainkan guyuran amat deras menghujani atap rumah warga yang resah.
“Mak, rasanya Ujang sudah tak sabar ingin membangun rumah reyot ini” ujar pemuda sabar sambil menatap atap rumahnya yang bocor.
“Emak do’a kan agar Ujang cepat dapat uang untuk membangun rumah kita” balas ibunya sambil mengambil wadah untuk menyangga air hujan agar tak membasahi lantai.
“Tabungan Ujang sudah berapa Mak?” tanya Ujang penasaran.
“Alhamdulilah, tabungan Ujang sudah 7 juta di dompet Emak” jawab ibunya yang separuh baya.
“Kalau sudah 10 juta, kita siap bangun rumah reyot ini ya Mak!”. Balasnya semangat.
“Aamiin, yang giat usahanya ya Nak, emak doakan semoga cita-cita Ujang tercapai” timpal ibunya.
Percakapan itu mengandung berjuntai harapan dari hati mereka, sebuah keluarga tanpa ayah. Gemerisik angin pada pepohohan membawa aroma dingin yang lekat. Sambil membalut badannya dengan kain sarung, Ujang terduduk menatap butiran hujan yang berjatuhan di teras rumah panggungnya yang reyot.
Sebuah hayalan sedang ia bentangkan dalam lamunannya, berharap memiliki rumah kokoh, yang tiada bocor ketika hujan dan tiada dingin ketika angin menembus bilik rumahnya yang rapuh.
“Seandainya hari ini hujannya reda, aku akan berangkat ke gunung untuk memikul batu urat. Jika sekarung batu urat yang ku bawa di hargai lima puluh ribu rupiah, maka dengan memikul 60 karung aku bisa dapat 3 juta” gumamanya dalam hati.
“Ujang, emak mau ke warung dulu beli beras” ujar ibunya sambil memegang payung.
Ujang pun sontak terbangun dari hayalannya.
“Iya Mak, hati-hati jalannya licin” balasnya.
Selangkah dari kepergian ibunya, Ujang kembali hanyut dalam lamunan, ia menyiapkan strategi untuk mencapai targetnya. Namun, belum usai dalam lamunannya ia di kagetkan dengan gemuruh sungai Ciberang yang hanya berjarak satu meter dari gubuknya.
Seperti tak ada aba-aba, gulungan air bak ombak pada samudra melaju cepat menghantam rumah warga yang berada di tepian sungai. Ujang sontak melompat keras dari teras rumahnya.
Ia terkejut, kakinya gemetar keringat dingin bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuhnya. Ia saksikan dengan jelas rumahnya di sapu banjir bandang dengan amat cepat. Tak satu pun yang tersisa, hanya puing-puing pondasi yang masih menempel dengan tanah.
Air mata Ujang jatuh tanpa permisi, ia berusaha menyeka, namun tak tertahankan. Terbayang dalam fikirannya uang tabungan senilai 7 juta yang sudah ia kumpulkan untuk membangun rumahnya. Kini raib ditelan banjir bandang.
Ujang semakin tak kuasa, ia lemas dan terduduk sambil menangis, dalam benaknya jangankan rumah gedong, rumah reyot pun kini tak ia miliki.
Ibunya kembali dari warung, ia amat terkejut menyaksikan rumahnya yang menjadi kubangan Ciberang, ia histeris dan lunglai. Sekantung beras pada tangannya terjatuh dan berceceran di tanah.
Seperti tak percaya dengan keadaan ini, ujang dan ibunya saling berpelukan, haru dalam tangisan dan sedih tak tertahankan.
Ibunya masih terbayang dengan uang 7 juta yang ia simpan di bawah kasurnya. Ia menangis tersedu mengingat masa-masa anaknya berjuang keras menjadi kuli panggul di tambang emas. Tak hanya itu, surat-surat penting beserta harta lainnya raib ditelan sang banjir bandang.
Warga menjadi heboh, mereka panik keadaan desa seperti kehilangan separuh jiwanya. Isak tangis mulai bersahutan, lantunan pujian tak henti berkumandang. Semua beristigfar menyaksikan bencana yang begitu dahsyat, bencana yang begitu cepat.
Ujang dan ibunya, beserta warga lainnya berkumpul di Mesjid. Mereka panik dan hanyut dalam kesedihan. Tak pernah terfikirkan jika bencana akan melanda pada kampung mereka.
Di balik teguran yang dahsyat, Tuhan mengajari manusia bahwa tidak ada yang kekal dalam dunia. Namun, selama manusia bersyukur selalu ada hikmah dari setiap kejadian.
Untukmu Ujang, hartamu di dunia takan bernilai apapun ketika kita sudah berada di alam Baqa. Yang terpenting adalah bersyukur, agar setiap detik menjadi ibadah. Tuhan pasti mengganti hartamu dengan kebaikan yang berlimpah.
-Sekian-