Catatan Inspiraritif 1 (Kereta Malam)

“Aku tidak tahu dimana ujung perjalanan ini, aku tidak bisa menjanjikan apapun. Tapi, selama aku mampu, mimpi-mimpi kita adalah prioritas“. (Fiersa Bessari)

Balutan udara terlalu luas untuk diterjemahkan, karena ia membersamai bagaimana manusia tumbuh dan berkembang. Setiap detik adalah hasrat bagi para pemimpi untuk menembus segala ujian atas angan dan keinginan.  Aku adalah penjabaran dari kehidupan yang Tuhan anugerahkan untuk memberikan manfaat untuk yang lainnya.

Menggambarkan segala kehidupan itu terlalu rumit, tetapi menggambarkan definisi diri sendiri, bak menatap cermin yang lekat dalam pandangan. Belajar dari aku untuk kehidupanku yang siapa tahu akan dibaca oleh anak cucuku.

Sejatinya  dalam hidup  manusia hanya belajar untuk beberapa hal: Belajar bertahan, belajar berkembang, dan belajar mempertahankan.

Konsep Belajar bertahan sangat luas definisinya; Bertahan dari kesulitan, bertahan dari rasa sakit, bertahan dari keadaan yang genting, bahkan bertahan dari situasi paling sulit.

Kala itu adalah 10 tahun yang lalu ketika masih menyandang gelar mahasiswa sarjana. Meski tak berkuliah di Jogja tapi hampir setiap bulan derap langkah menuju Jogja demi menengok sang adik yang berkuliah disana. Jadi aku harus berperan sebagai ‘Neneng kurir’ yang  harus mengirim  uang untuk adik perempuan ku. Bak  menelan asam garam sejatinya selalu ada cerita manis dan pahit di setiap perjalanan Lebak-Jogja.

Setiap langkah masih teringat jelas betapa lika liku itu sungguh menyenangkan, bahkan sempat menyedih kan. Disini aku mulai mengenal bagaimana aku belajar cara bertahan dari situasi genting. Dari sini lah perjalanan panjang  itu di mulai yang mengajariku betapa dunia ini luas akan segala keindahan, rintangan, kebahagiaan, bahkan kesedihannya.

Tak semudah seperti sekarang, dulu pada tahun 2010 mendapatkan tiket kereta itu begitu sulit. Antrian yang begitu panjang dengan jumlah orang yang mencapai ratusan. Sangat berbeda dengan sekarang dimana bisa membeli tiket secara online dan di tukar di stasiun. Kalau saja terlalu lama di antrian, kita pun tertinggal oleh jadwal keberangkatan kereta. Ya meskipun sampai saat ini sedikit sulit mendapatkan tiket kereta dengan rute pulau jawa. Biasanya untuk mencapai Jogja aku harus berangkat dari Lebak jam 2 siang dan tiba di jakarta Pasar Senin jam 5 sore. Rute Kereta Senin-Lempuyangan berngkat jam 19.00, ada waktu sekitar kurang lebih 2 jam untuk solat, makan dan persiapan pemberangkatan/menunggu kereta.

Tut tut tut sirine kereta mulai di suarakan sebuah tanda si ‘ulat baja’ siap melayani penumpang. Dengan segera ku langkahkan kaki dan memasuki kereta. Dari tiket yang kita pegang sudah terdapat petunjuk akan tempat yang kita duduki muai dari nomor gerbong hingga nomor kursi.

Jaggijug gujag gijug kereta berangkat (sudah seperti lirik lgu saja ya) hehe,  dan aku pun melewati malam panjang dengan tidur di kereta. Perjalanan yang lelah dengan pundak yang berat, pipi yang sembab dan mata yang loyo karena tak senyenyak tidur di atas kasur. Akhirnya  aku lewati perjalanan itu dengan tiba di Stasiun Lempuyangan pada pukul 6 pagi. Dua hari ku habis kan seluruh waktuku dengan menikmati segala keindahan Jogja. Menikmati segala ke elokan budayanya, dan segala keramahan warganya. Disini hampir tak ku dapati angkot karena setiap perjalanan di lewati menggunakan ‘bus trans’ yang berhenti dari halte ke halte. Betapa bahagia tinggal disana meski hanya menikmati sebulan sekali tetapi segala kenangan ‘in memoriam’. Begitulah Jogja, lidah ini kelu jika harus mengandaikan semua tentang Jogja.

Sore itu aku melakukan perjalanan pulang  dari Jogja menuju Lebak. Dengan  decak semangat membersamai Kaki yang tegap berdiri menunggu sang ulat baja yang akan tiba di stasiun Lempuyangan. Sekitar jam 5 sore kereta pun mulai disiapkan. Kaki  bergegas memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. Suasana yang begitu riuh, bising, padat berdesak antara penumpang dan pedagang. begitulah gambaran kereta Ekonomi jaman dulu.

Para pedagang  menjajakan dagangannya dari Jogja sampai Cirebon. Di stasiun Cirebon mereka singgah dan kembali menaiki kereta menuju Jogja sebagai arah pulang. Sore itu suasana sangat tidak nyaman seperti sebuah firasat buruk hendak terjadi. Mulai dari tempaat duduk yang amat sesak dengan penumpang, dan pedagang yang hilir mudik setiap detik. Karena kursi panjang berhadapan tempat duduku penuh dengan penumpang, aku pun duduk di paling ujung. Rasanya tak terima dengan suasana ini tapi hati tak bisa egois karena mereka para penumpang di samping dan di depanku sudah separuh baya. Aku pun harus mengalah walau sudah terbayang kelelahan yang harus ku tanggung dalam semalam. Tak ada celoteh yang bisa aku suarakan karena sama sekali  tak mengenal  mereka, aku hanya duduk dengan memainkan jari pada handphone merk Nokia.

Malam semakin gulita, ku tengok jam di HP menunjuk angka 11, aku putuskan untuk tidur sekejap karena duduk di kursi paling ujung tak akan  senyenyak tidur di kursi yang menempel pada dinding kereta. Tidurku terus terjaga setiap suara masih terdengar riak. Setiap gerakan masih terasa, namun entah di menit ke berapa  aku pun terpulas. Tak lama setelah itu kereta terdiam ternyata kami sudah sampai di Cirebon.

Berdasarkan rute, kereta  biasanya berhenti pada jam 12 malam di Cirebon dengan jeda yang lama sekitar satu jam. Karena tersadar kereta tak bergerak aku pun terbangun dan melihat sekitar. Pada saat itu ‘ I was very shocked’ tas selempangku terbuka aku raba semua isi tas dan Oh My God, seseorang mencuri dompet ku hiks hiks hiks.

Rasanya sangat panik ingin menangis, menjerit tak tahu harus bagaimana? Tapi rasa malu lebih besar dari rasa marah. Semua penumang di sampingku bertanya

“Ada apa mbae?” tanya wanita renta di sebelahku.

“dompet saya hilang bu, sepertiny saya kecopetan” jawab ku panik.

Mereka pun menatap ku iba dan terus bertanya:

“Mba’e pulang nya kemana? Masih Jauh ora? Punya sodara  di Jakarta?” Semua pertanyaan itu aku jawab setelah menghela nafas panjang.

Seulas cerita tentang si dompet. Jadi, ketika  aku pulang dari Jogja isi dompetku hanya terisi uang lima puluh ribu sisa membeli tiket. Uang itu sudah aku perhitungkan dan pasti cukup untuk pulang ke Lebak, karena mahasiswa kalau naik angkutan umum biasanya bayar setengah harga. Aku pun masih bingung memikirkan bagaimana cara pulang, sama sekali tak ada uang sepeserpun. Dompet dengan segala kartu kosong nya raib di tangan orang jail.

“Kasian banget kamu copet, dapat dompet isinya cuma gocap, ada atm saldonya kosong pulak hahahahahaaa”. gumamku dalam hati.

Di tengah larutnya lamunan, aku terkejut karena  tiba-tiba mereka saling berbisik dan melakukan sirkulir untuk mengganti uang ku yang hilang. Maha Besar Allah dengan segala pertolongn Nya.

“Mbae iki cukup ora? Kalo gak cukup ta tambahin lagi?” Tanya si wanita renta di samping ku sambil menyodorkan uang sejumlah tiga ratus ribu.

Seketika aku menangis haru betapa pertolongan Allah itu nyata. Aku hanya kehilangan uang lima puluh ribu, dan mereka ganti dengan uang tiga ratus ribu. Rasa haru campur bahagia sampai tak kuasa berkata apa-apa, aku cium tangan mereka semuanya seperti baktiku pada orangtua. Air mata pun mengalir dengan deras tanpa tertahan. Demi Allah sampai detik hingga ku tulis cerita ini, aku  takan pernah melupakan jasa mereka. Semoga Allah balas dengan segala kebaikan dan kemurahan rejeki meski tak saling mengenal, meski hanya bertemu sakali seumur hidup pada Tuhan ku pintakan untuk segala kebaikan mereka.

Dari kejadian itu, aku pun tak sanggup melanjut kan tidurku. Hingga waktu menujukan pukul 3 dini hari, dan kereta tiba di Stasiun Senin. Sedikit lega akhirnya aku sampai di Jakarta dan hanya  beberapa jam lagi perjalananku menuju Lebak.

Dari stasiun Pasar Senin, aku melanjutkan perjalananku menuju Stasiun Tanah Abang. Aku putuskan untuk menaiki oplet 05 Jurusan Senin THB. Setibanya di Tanah Abang, aku belanjakan uang tiga ratus ribu itu dengan membeli baju dan macam oleh-oleh.

“Lucu sekali sekali cerita hari ini, malam kecopetan dan pagi berbelanja” gumamku dalam hati.

Zaman dulu, uang tiga ratus ribu rasanya senilai dengan lima ratus ribu, dan untuk kelas mahasiswa seperti aku rasanya masih jarang pegang uang dengan nilai ratusan pada masanya. Tentunya sangat berbeda dengan zaman sekarang, dimana uang tiga ratus ribu hanya cukup ongkos pulang pergi Jakarta Lebak.

Cerita ini rasanya masih seperti anekdot, biasanya aku hanya mendengar  cerita orang lain kecopetan. Tetapi Masya Allah, ternyata aku pun  mengalaminya. Dari sini aku benar-benar memahami bahwa pertolongan Allah itu nyata, dan hanya sekejap apabila kita berserah diri. Allah dulu, Allah lagi dan Allah terus. Insyaallah yakini, pertolongan itu benar-benar nyata.

Ini adalah salah satu teori belajar bertahan. Bertahan dari rasa takut, bertahan dari rasa cemas, bertahan dari rasa tidak yakin. Kuncinya adalah Berserah diri, Nikmati, dan Syukuri.

Tinggalkan Balasan

1 komentar

  1. Keren bu May ceritanya. Pengalaman yg menyedihkan karena kecopetan. Juga pengalaman yg menyenangkan karena bertemu dg orang baik meski bukan saudara. Alloh SWT akan selalu menolong kepada hamba yg baik pula…