Baiti Jannati (6)

#KMAA 38#

Kesibukanku mendapat tambahan tugas sebagai bendahara PBOS dan BOS mengharuskan aku untuk bekerja ekstra agar laporan bulanan dan laporan akhir tahun harus selesai sesuai target. Apalagi di akhir tahun, semua rencana anggaran harus terbelanja lebih dari 90 persen. Bila serapan kurang dari 90 persen, maka harus melakukan dan menyusun perubahan anggaran agar realisasi sesuai dengan rencana anggaran dan serapan bisa ditingkatkan dengan belanja atau membiayai kegiatan yang semula tidak dianggarkan. Percepatan serapan ini tentu saja harus disikapi dengan bijak dan sesuai dengan prinsip pelaporan keuangan negara dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Hal inilah yang membuatku harus lembur akhir tahun di Bulan Desember demi mengejar target serapan keuangan. Tentu saja Mas Aro marah, dan mengira aku hanya mencari alasan agar bisa berduaan dengan Pak Sis.

Diantara teman yang bisa kuajak diskusi dan meminta pendapat tentang permasalahan kebutuhan sekolah hanya Pak Sis yang bisa aku gandeng. Guru TIK dimana jam mengajarnya tidak begitu padat. Dia mau dan senang mengantarku kemana aku pergi bila itu menyangkut urusan dinas dan sekolah. Bahkan, pernah kami harus menunggu berjam-jam demi mendapat acc untuk pencairan gaji guru honorer dan harus dibawa ke Pemkot sampai sore.

Di sela-sela kebersamaan aku dan Pak Sis, dia sering bercerita tentang keluarganya, anak-anak dan istrinya, kehidupan masa lalunya, atau kehidupan masa sekarang bersama istrinya. Semula aku biasa dan tak begitu menanggapi apa yang dia keluhkan dalam rumah tangganya. Lama-lama… dia mulai berbicara yang menurutku itu adalah masalah intern dia, tapi mengapa dia ngomong ke aku? Semula aku risi mendengarnya, namun akhirnya aku kepo dan mulai menanyakan ke arah yang seharusnya tak boleh aku tanyakan ke dia. Aku mulai menampung keluhannya dan merasa sok menjadi “pahlawan” baginya.

“Nung, aku pinjam uang tiga juta bisa? Besok kalua sertifikasi cair kukembalikan”, kata Pak Sis saat kami makan siang di salah satu warteg setelah lebih dari 2 jam menunggu SPJ yang beberapa hari sebelumnya masuk ke bagian keuangan Dinas Pendidikan.

“Untuk apa, Pak uang sebanyak itu? Aku gak punya uang sebanyak itu”, jawabku.

“Ssst…kamu nggak perlu tahu. Kamu cukup sediakan saja. Kamu tahu caranya dapatkan uang itu. Ayolah..” rengeknya sambil menggenggam tanganku. “Please…toh sebentar lagi TPP cair. Aku butuh uang itu. Segera setelah cair aku kembalikan”.

“Tapi aku nggak berani”

“Nung…” tatapnya.

Tangannya semakin erat menggenggamku. Tatapannya menusuk hingga ke jantungku. Mata kami saling beradu pandang. Ah, aku lupa. Dua mata beralawanan jenis beradu pandang adalah haram hukumnya. Kami bukan muhrim. Apalalagi  masing-masing punya istri dan suami. Tapi aku menikmatinya. Tangannya yang semula menggenggam jemariku, kini mulai merenggang, ibu jarinya mengusap lembut punggung tanganku. Kenikmatan sesaat mulai melenakanku. Dan, setan mana yang telah membisikkiku hingga kenikmatan ini kubiarkan mengerjap kerjap jantungku, mendebar-debar dan membuatku melayang. Ada rasa yang lain yang tak biasa kurasakan pada seorang teman.

“Baiklah” akhirnya jawaban itu aku lontarkan. “Mau diambil kapan?”

“Begitu dong, Sayang. Besok. Terima kasih.”

Senyumnya. Ah, senyum itu membuatku mabok. Senyum yang mengembang di sudut bibir pada wajah yang berkumis itu membuatku tak kuasa untuk mengatakan “tidak” pada apa yang dia minta. Aku tahu rasa ini keliru. Tak seharusnya ada rasa antara aku dan dia. Kedekatan yang membuai dan mulai melenakan ini tak seharusnya kubiarkan. Aku cuek dengan omangan teman-teman yang mulai bergunjing. membicarakan aku dan Pak Sis. Anehnya aku merasa senang dan nyaman saat mereka pun menggoda dan menyindir hubunganku dengan Pak Sis.

“Nung, yok kuantar pulang. Nanti suamimu keduluan pulang dan kau kena marah lagi”, katanya membuyarkan lamunanku. Dan yang lebih mengagetkanku wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajahku, yang sontak membuatku memiringkan sedikit badanku agar tak bersentuhan wajah dengannya. Aku tak tahu, apakah dia memiliki rasa yang sama denganku, atau hanya aku saja yang merasakannya, atau aku terlalu ge-er pada perlakuannya, atau…entahlah. Yang jelas aku tak kuasa menolak benih-benih suka, benih-benih nyaman, benih-benih kemesraan yang dia taburkan. Mas Aro, maafkan aku…

bersambung…

Tinggalkan Balasan