Selamat pagi sobat,
Di pagi hari ini saya mengulas topik di rubrik NGETEH MORNING tentang filsafat Pewayangan, Pemimpun Yang Haus Kekuasaan.
Artikel ini sudah pernah saya publikasikan di media cetak namun kembali saya sampaikan di rubrik NGETEH MORNING kali ini mengingat substansinya masih relevan dengan situasi sekarang ini.
Alkisah dalam cerita pewayangan, Duryudana adalah putra tertua dari Prabu Drestarasta, raja negara Hastinapura dengan permaisuri Dewi Gandari. Kemudian Duryudana menjadi raja di Hastinapura menggantikan ayahandanya. Duryudana adalah raja yang berwatak pongah, keras kepala, aturan yang dibuat adalah ucapannya.
Kelemahan Duryudana yang menonjol adalah mudah terhasut terutama oleh Mahapatihnya yakni Sangkuni yang tidak lain adalah Pamannya. Duryudana adalah juga seorang pemimpin yang haus kekuasaan, tidak mau ada yang melebihi ketenarannya.
Demi kekuasaan yang diperolehnya, dia berusaha mempertahankannya sampai titik darah penghabisan dan menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Etika moral sudah diabaikannya. Begitu haus kekuasaan, saat Yudistira yang menjadi raja di Amartapura , sebuah kerajaan yang tadinya hutan belantara dapat dibangun menjadi kerajaan yang megah. Duryudana ingin menguasainya, akhirnya dengan cara yang licik dan tipu muslihat yaitu dengan permainan dadu maka Amartapura berhasil direbutnya bahkan para Pandawa dibuang ke hutan selama 13 tahun.
Duryudana adalah gambaran dari seseorang yang telah dibutakan mata hatinya oleh hasrat keduniawian. Dalam masyarakat, dia adalah figur seorang pemimpin yang pongah, keras kepala mudah terhasut orang kepercayaannya yang licik dan penuh tipu daya.
Dia haus kekuasaan, kemewahan, kenikmatan duniawi meskipun keluarganya tidak berbahagia. Dia bersama orang-orang kepercayaannya yang mampu memperdayanya.
Sesungguhnya di dalam diri kita pun terdapat sifat bawaan Duryudana, yang ingin memuaskan nafsu pribadi dengan menghalalkan segala macam cara.
Namun demikian apabila nurani kita telah mulai muncul, maka sesungguhnya kita akan malu dengan segala perbuatan jelek yang telah kita lakukan. Sebagai pemeran pimpinan dari pelaku kejahatan dalam masyarakat, bila kita sudah tidak merasa nyaman dengan peran tersebut, maka kita akan segera sadar untuk cepat memperbaiki karakter kita. Kita harus mempunyai niat yang kuat untuk mengubah karakter jelek tersebut. Kita haru bisa mengendalikan kecenderungan jelek dari diri kita dan berupaya membiasakan diri, mengulang-ulang pikiran, ucapan tindakan yang baik, yang selaras dengan alam. Dengan mengulang-ulang akhirnya akan menjadi kebiasaan dan mampu mengubah karakter jelek sebelumnya menjadi baik.
Mudah mudahan bermanfaat ..
Saya tutup tulisan ini dengan sebuah pantun :
Pergi Ke Pasar Di Kota Medan
Membeli Barang Yang Diobral
Jadilah Pemimpin Yang Memberi Teladan
Bukan Yang Tanpa Etika Dan Moral
Sobat, saatnya saya undur diri dan mari kita nikmati secangkir teh hangat di pagi hari ini ..
Selamat beraktivitas ..m
Salam sehat ..
NH
Depok, 22 Maret 2021