Sumber gambar : trenopini.com
Selamat pagi sobat,
Bagi bagi kursi Komisaris BUMN tengah menjadi perbincangan publik setelah muncul kontroversi rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia yang juga menjadi Komisaris di salah satu BUMN. Demikian pula pengangkatan musisi Abdee Slank menjadi Komisaris di salah satu BUMN juga menjadi pro kontra publik.
Kemudian muncul lagi kontroversi saat politisi Partai Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) yang mantan narapidana kasus korupsi diangkat menjadi Komisaris di salah satu BUMN.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kursi atau jabatan Komisaris BUMN menang menjadi jatah orang orang yang dekat dengan kekuasaan.
Seperti dirilis oleh pikiran-rakyat.com (27/08/2021) bahwa menurut Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menyoroti kasus pengangkatan tim sukses (timses) Presiden Joko Widodo selama masa pemilihan presiden, menjadi komisaris di perusahaan BUMN.
Hingga Desember 2020, ICW mencatat ada 18 orang yang merupakan timses Presiden Joko Widodo diangkat menjadi komisaris di BUMN. Bahkan beberapa di antaranya merangkap jabatan sebagai pejabat publik.
1. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara yang merangkap sebagai Wakil Komisaris Utama PT PLN.
2. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo sebagai Komisaris Utama Bank BRI dan sempat menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri.
3. Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin yang pernah menjabat sebagai Wakil Komisaris Utama PT Pertamina.
(Kini, Budi Gunadi Sadikit menjabat sebagai Menteri Kesehatan. Posisi sebagai Komisaris Utama PT Pertamina diganti oleh Pahala Mansury).
4. Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, ditetapkan sebagai Komisaris Bank Rakyat Indonesia, sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Kemudian masih seperti dirilis oleh pikiran-rakyat.com (27/08/2021) bahwa selain rangkap jabatan, masalah pengangkatan mantan terpidana korupsi pun menuai sorotan ICW. Salah satunya Emir Moeis diangkat sebagai komisaris PT Pupuk Iskandar Muda, anak perusahaan PT Pupuk Indonesia.
Selain itu juga berpotensi bersikap diskriminatif, serta mengelola BUMN atau instansinya dengan tidak transparan dan akuntabel.
Sehingga, ICW mengatakan pengangkatan timses dalam pemilihan presiden sebagai direksi atau komisaris BUMN seakan menunjukkan bahwa BUMN hanyalah tempat untuk “ucapan terima kasih” dan “bagi-bagi kursi” semata.
Bagi bagi kursi atau jabatan Komisaris BUMN ini sesungguhnya sudah berlangsung pada pemerintahan pemerintahan sebelumnya hanya saja tidak terekspose ke publik dan jumlah orang yang diangkat juga tidak terlalu banyak.
Di era pemerintahan Orde Baru pun, bagi bagi jabatan atau kursi Komisaris BUMN juga sudah terjadi. Hanya saja, di saat itu lebih kepada pelaksanaan dari Dwi Fungsi ABRI dimana para Jenderal yang masih aktif maupun yang akan memasuki masa purnawira atau pensiun ditempatkan di jajaran Komisaris BUMN.
Ketika Pemerintahan Orde Baru berakhir, Dwi Fungsi ABRI tidak ada lagi sebagai tuntutan dari gerakan Reformasi sehingga otomatis tidak ada lagi jajaran Komisaris di BUMN ditempati oleh personil TNI-Polri.
Namun justru dalam perjalanan Pemerintahan di era Reformasi ini, jajaran Komisaris BUMN diisi oleh orang orang yang dekat dengan kekuasaan bahkan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, orang orang dari tim sukses (timses) saat kampanye Pemilihan Presiden, satu persatu diangkat menjadi Komisaris BUMN.
Lantas apa gunanya gerakan Reformasi ? Kalau praktek Kolusi seperti ini dibiarkan terus dan tetap tumbuh subur di tatanan pemerintahan.
Bukankah dulu gerakan Reformasi menuding Pemerintahan Orde Baru sarat dengan KKN, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ? Dan ternyata praktek KKN kini malah tumbuh bagai jamur di era Pemerintahan Reformasi.
Sudah saatnyakah kita bisa mengatakan, Selamat Datang KKN gaya baru di era Reformasi yang sarat dengan Pencitraan ini ? ..
#UntukDirenungkan ..
Sobat, saatnya saya undur diri ..
Selamat beraktivitas ..
Salam sehat ..
NH
Depok, 3 September 2021