Tetap Sakinah di Tengah Musibah

Humaniora, Islam, Sosbud, YPTD118 Dilihat

Sumber gambar :https://minanews.net/

Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia, pada akhirnya mampu menembus benteng pertahanan sebuah keluarga atau rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dalam keadaan saling ketergantungan yang diikat dalam tali pernikahan.

Dengan adanya pandemi global Covid-19, banyak menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan terhadap para karyawannya. Sehingga pada akhirnya banyak di antara para suami yang tidak memiliki pekerjaan lagi alias menganggur.

Akibat tingginya tingkat pengangguran, maka kita saksikan pada media pemberitaan banyak kasus gugatan perceraian oleh istri terhadap para suamimya. Kalau demikian, apakah aspek ekonomi merupakan penyebab utama dari sebuah perceraian?. Kalau kita mau jujur, sebenarnya yang menjadi alasan terbentuknya sebuah keluarga melalui pernikahan adalah tentang komitmen dan kematangan psikologis antara kedua belah pihak.

Jika kedua belah pihak sudah memiliki komitmen awal tentang alasan pernikahan, dan memiliki kematangan psikologis untuk memahami setiap kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka tidak akan pernah terbesit dalam pikiran sedikitpun tentang sebuah kata “perceraian“.

Perceraian bukanlah sebuah solusi cerdas dari sebuah permasalahan pernikahan yang menyangkut ekonomi. Sepasang suami istri yang terikat perjanjian sakral ketika akad nikah, tentunya tidak akan mudah untuk memutuskan cerai hanya gara-gara hidup dalam kekurangan.

Apakah ketika nanti sudah bercerai, kondisi ekonomi akan membaik?, bagaimana nasib anak-anak yang masih membutuhkan kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya?. Jangan sampai seperti pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga “, sudah jatuh kehilangan pekerjaan, kehilangan istri pula. Sebuah nasib tragis yang menimpa para suami tentunya.

Dalam pernikahan, yang paling dibutuhan adalah kesetiaan. Setia baik di kala suka maupun duka. Setia di waktu muda maupun di kala senja. Setia bersama dalam mengarungi ombak kehidupan, sampai menepi di ujung waktu. Perceraian bukanlah solusi dari permasalahan ekonomi. Namun, ia merupakan bentuk keputusasaan dan pengkhianatan dari sebuah janji suci atas nama ilahi.

Kalau kita mau bersandar pada nilai-nilai Islam, bukankah Allah Subhanahu wata’ala sudah menjanjikan akan memberi kecukupan dan kemampuan ekonomi kepada mereka dengan karunia-Nya, dengan syarat yang menjadi landasan pernikahan adalah iman dan kesholihan dari kedua belah pihak. Dalam Al Qur’an Surat An Nuur ayat 32 Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. [Q.S (24) : 32]

Ayat di atas memberikan penjelasan kepada kita, bahwa sesungguhnya menikah merupakan salah satu perkara yang diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala. Sebagai seorang muslim yang baik, sudah semestinya kita meyakini kalau sesuatu hal diperintahkan Allah Subhanahu wata’ala , maka di dalamnya terkandung hikmah yang luar biasa dan sangat bermanfaat buat pribadi yang bersangkutan. Kalaupun dalam perjalanannya mengalami hambatan dan rintangan, itu merupakan ujian keimanan dari Allah Subhanahu wata’ala. Sudah sejauhmanakah keyakinannya terhadap janji Allah?, apakah ia bersabar terhadap ujian tersebut?, atau bahkan mengeluh dan berputus asa?. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala sudah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hamba-Nya selain sesuai dengan kesanggupannya?.

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. [Q.S (2) : 286]

Sebuah mahligai pernikahan yang dilandasi oleh nilai-nilai keimanan yang kokoh, niat menjalankan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam, tentunya tidak akan mudah digoyahkan oleh apapun, baik oleh himpitan ekonomi maupun godaan pria atau wanita lain. Memang dua hal ini sering menjadi pemicu retaknya sebuah bangunan rumah tangga. Untuk itu diperlukan pula upaya saling menjaga pandangan antara kedua belah pihak terhadap hal-hal yang bukan haknya dan dilarang Allah Subhahau wata’ala. Seorang suami harus mampu menjaga pandangannya terhadap wanita lain yang bukan istrinya di manapun ia berada, begitupun sebaliknya dengan sang istri. Seorang Istri yang sholihah tidak akan membanding-bandingkan suaminya dengan laki-laki atau suami orang lain. Dalam Al Qur’an Surat An Nuur Ayat 30-31 Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan :

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. [Q.S (24) : 30]

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. [Q.S (24): 31]

Perlu kita ingat, bahwa keluarga merupakan sebuah institusi sakral yang diikat oleh janji suci kepada ilahi untuk senantiasa menggapai ridhonya dalam berbagai kondisi apapun. Semoga dengan beragamnya kesulitan yang kita hadapi, Allah Subhanahu wata’ala tetap memberikan kita kesabaran dan kita semua dikaruniai keluarga yang tetap sakinah di tengah musibah. Aamiin ya robbal ‘alamiin.***

Referensi :

https://id.wikipedia.org/wiki/Keluarga#cite_ref-1

https://tafsirq.com/

Tinggalkan Balasan