Hari ini aku disuruh bunda menjemput adikku, Syifa dari TK. Kebetulan hari ini aku tidak sekolah karena di ada ujian untuk siswa kelas enam. TK Syifa tidak jauh dari rumah. Aku menjemputnya dengan berjalan kaki. Saat sampai di TK, aku melihat Syifa sudah menungguku di atas ayunan taman kelasnya. Melihatku dia langsung tertawa girang dan menggandeng tanganku.
Ketika ingin melangkah pulang, aku melihat gerbang belakang TK terbuka. Dari tempatku berdiri terlihat saja hamparan sawah yang menguning. Aku mengajak Syifa melewati jalan belakang TK menuju rumah. Aku ingin melewati pematang-pematang sawah, memutar ke balik musala dan tembus hingga halaman belakang rumah kami. Aku ingat jalan itu karena biasa menjadi rute jalan pagi kami bersama ayah dan bunda.
“Syifa, kita jalan belakang sekolah saja yuk!” kataku pada Syifa
“Baik Kak,” ucap Syifa riang.
Aku membimbing tangan Syifa dan melangkah bersama menuju pintu belakang. Sepelemparan batu dari pintu tersebut kami langsung terserobok dengan sawah yang sudah menguning. Kami melewati pematang sawah tersebut dengan hati-hati.
Tiba di ujung pematang, kami masuk ke wilayah perkebunan. Kami berjalan terus dan terus hingga sampailah di aliran kali yang airnya jernih. Syifa memohon kepadaku untuk bermain sejenak di air itu. Aku membolehkan karena ingin juga ikut bermain. Berdua kami memasukkan dua daun talas yang masing-masingnya sudah kami hias dengan bebungaan. Berkhayal kalau mereka adalah kapal layar yang sedang adu kecepatan. Kami pun mengikuti kemana air membawa kapal talas kami pergi. Hingga kapal tersebut memasuki kolong jembatan dan kami kesulitan melacaknya kembali.
“Haus Kak,” Syifa menggaruk tenggorokannya. “Rumah kita dekat lagi Syifa, minum di rumah saja.” Syifa mengangguk lalu kami melanjutkan perjalanan ke rumah. Di perjalanan kami melihat pohon jambu biji yang berbuah lebat. Di tanah sudah banyak buah matang yang jatuh berserakan karena tidak kunjung dipetik dari dahannya. Syifa melihat jambu-jambu ranum yang ramai tergantung tersebut dengan mata memelas. Aku pun begitu.
“Kak, aku mau jambu itu,”
“Jangan Syifa, kita belum izin pemiliknya.”
“Pemiliknya Allah Kak, kita bisa memakannya.”
Aku menjadi ragu antara mengambil atau tidak buah tersebut. Jika kuambil, ada rasa takut yang menyeruak dari dalam hatiku. Namun jika tidak kuambil, sayang sekali buah-buah itu harus jatuh ke tanah dan mubazir. Benar juga kata Syifa. Jambu ini milik Allah. Tentulah semua umatnya boleh mencicipi. Akhirnya aku memanjat pohon tersebut dengan cepat. Lagi-lagi perasaan takut menghampiriku. Namun kaki dan tanganku tetap tak mau dihentikan dalam upaya pemetikan jambu tersebut. Tak lama kemudian, dua jambu biji yang besar dan matang sudah beralih ke tanganku dan Syifa. Aku dan Syifa langsung memakannya sambil berjalan. Segar dan manis memenuhi ruang rasa kami. Melenyapkan rasa bersalah yang tadi menghampiri.
Jalan perkebunan yang kami lewati tembus ke halaman belakang rumah. Demi melihat rumah aku langsung melahap jambu itu secepat kilat.
“Ayo Syifa! Cepat makannya. Perasaan Kakak tidak enak,”
“Kenapa Kak? Jambuku masih banyak,”
“Habiskan saja pokoknya!”
Syifa berusaha keras mengunyah dan menelan secepat yang ia bisa. Aku urung masuk ke rumah sebelum Syifa menghabiskan makanannya. Aku menyuruh Syifa jangan masuk dulu. Namun tiba-tiba pintu belakang rumah terbuka. Tampak Bunda tergesa keluar dengan membawa sampah yang akan dibakar. Sekonyong-konyong aku menunduk menyembunyikan diri di balik rerimbunan batang sereh. Tak lupa kutarik lengan Syifa untuk bersembunyi denganku. Tarikan itu malah membuat jambu Syifa jatuh menggelinding ke arah Bunda.
“Hei, sedang apa kalian berdua di sana?” tanya bunda keheranan.
Kadung ketahuan kami keluar dari persembunyian. Berlagak biasa walau hati deg-degan. Syifa menatap nanar jambunya yang berlumuran pasir. Aku memberi kode padanya untuk tidak melihat ke arah itu. Tapi Syifa memang sedih dengan jambunya.
“Itu jambu kalian dapat dari mana?” bunda bertanya lagi.
Deg. Jantungku serasa mau copot. Aku tahu bunda pasti akan menanyakan perihal jambu ini sedetail mungkin.
“Kok diam saja,” bunda curiga dengan tingkah kami pastinya. Aku bisa saja bohong dengan mengatakan jambu ini pemberian teman atau apa. Namun, aku bukanlah anak yang bisa berbohong dengan mudah tanpa ketahuan. Ketika berbohong perasaanku tidak karuan. Ucapanku jadi tidak jelas dan mataku terasa panas. Ia menjadi tidak fokus dan memancarkan kebohonganku.
Bunda pun bukanlah orang yang mudah dibohongi. Ia bisa melihat gelagat orang berbohong. Melontarkan bertubi-tubi pertanyaan hingga si pembohong akan mengakui kesalahannya.
“Kami ambil dari kebun belakang sekolah Syifa Bun,” aku jujur saja.
“Kebun siapa? Sudah minta izin pemiliknya?”
“Belum Bun, buahnya banyak yang jatuh ke tanah. Mubazir. Mungkin pemiliknya tidak menginginkan jambu-jambu itu,”
“Ya ampun Sayang. Tahu dari mana kalau jambu itu tidak diinginkan pemiliknya. Kalian tidak boleh memakan sesuatu yang bukan milik kalian. Yang kalian lakukan itu adalah mencuri. Bagaimana cara kalian mengembalikan dua jambu biji yang sudah pindah ke perut itu sekarang?” suara bunda bergetar.
“Maafkan kami Bunda. Kami benar-benar sudah bersalah,” aku pun menangis.
“Ya sudah, sekarang kita cari pemiliknya. Kita akan meminta maaf.”
“Baik Bunda,” jawab kami serentak
Akhirnya Syifa, aku dan bunda menemui Bu Nuri, kepala TK Syifa. Kebun di belakang TK adalah miliknya. Aku sangat malu bertemu dengannya. Namun beliau hanya tersenyum dan memaafkan kami.
“Tidak apa-apa Bu. Syifa dan Aisyah suka jambu ya? ini ibu tambahkan lagi.” Bu Nuri membungkuskan beberapa buah jambu untuk kami bawa pulang. Awalnya Bunda menolak namun Bu Nuri memaksa.
“Nah anak-anak besok kalau mau lagi, ambil saja. Sudah ibu izinkan kok. Tapi kalau bertemu buah jambu di tempat lain jangan diambil tanpa seizin pemiliknya ya. Benar kata Bunda kalian. Itu tidak baik.”
“Iya Bu, aku tahu. Besok kami tidak akan mengulanginya lagi,” ucapku malu.
Akhirnya kami pulang dari rumah Bu Nuri dengan membawa sekantong jambu biji. Rasanya jauh lebih manis karena kami memakannya tanpa rasa takut seperti sebelumnya. Dua jambu biji hari ini memberikan kami pelajaran yang berharga. Untuk selanjutnya kami tidak akan mengambil apapun jika bukan milik kami.