Awan kelabu bergelayut di langit. Menyimpan banyak air yang sebentar lagi akan tumpah ke bumi. Tak lama kilat menyambar, petir menggelegar dan angin bertiup kencang. Hujan pun turun membasahi bumi.
Muri memandang tetes demi tetes air yang jatuh ke rumahnya. Dari balik dedaunan yang rimbun, ia menatap rumahnya yang rusak diterpa hujan dan badai. Muri sangat sedih. Ia berharap hujan segera reda dan cuaca cerah kembali.
“Hei Muri. Wajahmu murung sekali. Ada apa? Tiba-tiba Tongi sudah berada di belakangnya.
“Hei Tongi. Lihatlah rumahku sudah rusak. Kalau hujannya belum reda juga hingga malam ini, rumahku akan hancur dan aku tidak tahu harus tinggal di mana lagi,” jawab Muri dengan mata berkaca-kaca.
“Sabar ya Muri. Sebentar lagi hujan reda. Kau tidak perlu cemas akan tinggal di mana. Kau bisa tinggal di rumahku,” kata Tongi.
“Iya Muri. Kamu tidak usah bersedih. Kamu bisa tinggal di rumahku juga,” Teki pun ikut nimbrung pembicaraan mereka dan menawarkan bantuan.
“Terima kasih ya teman-teman. Tapi sebenarnya rumah itu penuh kenangan. Aku dan Ibu lah yang membangun rumah itu berdua. Kini Ibu sudah tiada. Aku serasa ditemani Ibu kalau tinggal di rumah itu.” Muri kini menangis. Ia ingat dengan ibunya yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Masih jelas di ingatan Muri saat dia bermain dengan ibunya di hutan. Ketika sedang bercengkrama di dahan pohon, seorang pemburu tiba-tiba datang dan menembak Ibu. Peluru menembus dada Ibu dan Ibu pun terjatuh dari dahan. Muri hanya bisa menangisi kepergian ibunya dengan pilu. Ia tidak habis pikir apa salah mereka sehingga pemburu suka datang dan menembaki burung-burung di hutan.
Melihat Muri yang menangis tersedu-sedu, Tongi dan Teki hanya bisa mengelus punggung Muri dengan lembut. Mereka juga merasakan kesedihan yang sama. Saudara dan sahabat-sahabat mereka hilang satu persatu. Ada yang ditangkap dan dikurung di dalam sangkar. Ada juga yang mati tertembus peluru seperti ibunya Muri.
Sorenya, hujan pun reda. Muri segera ke rumahnya dan sesuai dugaan, rumah itu sudah tidak bisa dipakai lagi. Dengan lemah Muri pun pergi menuju rumah Tongi. Tongi menyambut Muri dengan senang. Ia pun segera menyiapkan tempat tidur dan menjamu Muri dengan banyak makanan.
Senja berganti malam. Malam pun ditelan fajar. Sinar mentari begitu hangat. Burung-burung bercicit ria, kecuali Muri. Ia masih sedih dengan rumahnya yang rusak. Ketika Tongi dan Teki mengajaknya terbang mencari makanan bersama kawanan burung lainnya, Muri menolak dengan halus. Muri tidak bersemangat melakukan apa-apa.
“Teki, kasihan ya Muri, dia pasti sedih mengingat rumah yang penuh kenangan tentang ibunya,” ucap Tongi
“Iya Tongi. Kalau aku jadi dia, aku pun pasti akan begitu. Tongi, bagaimana kalau kita membantu Muri membangun rumahnya kembali. Kau mau?”
“Baik. Aku mau Tongi, tapi bagaimana dengan janji kita mencari makanan hari ini dengan kawanan burung yang lain?” jawab Tongi.
“Iya juga sih, ayo kita minta izin pada teman-teman,. Kita tidak bisa ikut mencari makanan,” ujar Teki
“Baik Teki,” jawab Tongi sambil mengangguk.
Tongi dan Teki meminta izin kepada semua kawanannya untuk tidak ikut terbang mencari makanan. Mereka menjelaskan tentang Muri yang bersedih karena rumahnya sudah rusak dan tidak bisa dipakai lagi. Padahal banyak sekali kenangan bersama ibunya di rumah itu.
“Bagaimana kawan-kawan? Maaf kami tidak bisa menepati janji.”
“Kenapa minta maaf Tongi dan Teki? Harusnya kami yang meminta maaf karena tidak tahu kesedihan Muri,” ucap Nuri malu.
“Iya Tongi. Kami tidak peka sehingga tidak terfikirkan untuk membantu Muri,” ucap Lori menimpali.
“Nah, bagaimana kalau separuh dari kita membantu Muri membangun rumah, dan separuh lagi mencari makanan. Dengan begitu rumah Muri akan cepat selesai dan kita punya persediaan makanan jika besok hujan kembali” ucap Tari mengutarakan pendapatnya. Semua setuju dengan ide Tari. Mereka pun membagi kelompok yang membangun rumah dan mencari makanan.
“Kami berangkat dulu yang teman-teman. Bangunlah rumah yang kokoh untuk Muri agar tahan jika hujan badai datang lagi,” seru Tari yang termasuk pada rombongan mencari makanan.
Setelah rombongan Tari terbang, rombongan Tongi bergotong royong dengan semangat membangun rumah Muri. Karena rumah itu dikerjakan bersama, rumah Muri selesai dengan cepat. Muri yang dijemput setelah rumah itu selesai sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Dia terharu melihat ketulusan teman-temannya.
“Terima kasih ya teman-teman, aku beruntung memiliki teman yang baik seperti kalian. Walau ibu sudah tiada, keberadaan kalian membuatku tidak kesepian,” ucap Muri gembira.
Senyum Muri kembali merekah. Kawanan burung senang melihat Muri tidak murung lagi.