Kelasku kedatangan murid baru. Namanya Aisyah. Panggilannya Ais. Ia pindahan dari nun jauh di pelosok desa. Ais memakai kaca mata bulat tebal dengan jilbab bergaya kuno. Ais duduk di sebelahku. Aku dan Ais berkenalan singkat saja. Aku belum terlalu dekat dengan Ais. Teman-teman sekelasku juga tidak mau mengajak Ais berkumpul bersama. Mereka bilang Ais terlalu kampungan. Ais juga pendiam dan kurang pergaulan. Mungkin karena dari desa, jadi Ais kikuk bersikap dengan orang-orang di kota. Ditambah lagi ada cerita kalau Ais adalah pemulung yang tinggal di tempat kumuh. Ia bisa bersekolah karena beasiswa. Mendengar ini, anak-anak pun menjauhi Ais.

“Ara, boleh aku pinjam buku catatanmu?” Tanya Ais padaku ketika aku sedang asyik membaca buku.

“Ya silahkan,” Aku menyodorkan buku yang diminta Ais.

“Terima kasih ya Ra, kamu tidak ikut menjauhiku seperti teman-teman yang lain,” kata Ais tiba-tiba. Terlihat raut sedih di wajah Ais. Ia tahu teman-teman tidak menyukainya karena dianggap kampungan.

“Oh ya, sama-sama,” jawabku kikuk.

Sebenarnya aku bukanlah anak yang suka memilih-milih teman. Aku mau berteman dengan siapa saja. Aku pun ingin dekat dengan Ais. Tetapi ketika aku ingin lebih dekat dengan Ais, teman-teman langsung melarang. Aku jadi serba salah.

Lonceng pulang sekolah berbunyi. Anak-anak berhamburan pulang dengan hati senang. Beberapa mobil orang tua sudah menunggu di depan gerbang. Ibu sudah datang menjemputku. Dengan cepat aku masuk dan melihat Ais berjalan kaki. Dengan perasaan bimbang, aku ingin bertanya dimana rumahnya. Jika searah, Ais bisa ikut dengan mobilku. Sebelum sempat memutuskan untuk memberi tumpangan atau tidak, terlihat rombongan anak-anak pemulung mendekati Ais. Mereka berjalan bersama. “Ternyata benar, Ais adalah pemulung,” pikirku.

“Ra, kamu kenapa kok bengong begitu?” Ibu ternyata memperhatikan gelagatku sejak tadi.

“Tidak Bu, ada teman baru di sekolahku dari pelosok desa. Teman-teman menjauhinya karena dia ternyata pemulung.”

“Lantas kalau dia pemulung kenapa Ra? Apa salahnya dengan pemulung?” tanya ibu.

“Tidak salah sih Bu, tapi ya gak tahu juga Bu. Teman-teman pada ngejauhin dia.”

“Ya ampun. Kok gitu sih Ra. Kamu gak ikut jauhin kan? Kita tidak boleh melihat orang dari perekonomiannya. Selama dia anak yang baik, kamu boleh berteman dengannya,”

“Iya sih Bu, aku tahu. Aku tidak ikut menjauhi kok. Cuman belum dekat saja,” ucapku sedikit terbata.

“Bagus kalau kamu tidak ikut-ikutan menjauhi teman. Oh ya, nanti sore ibu mau ke rumah teman ibu yang baru dibangun. Dia baru pindah kerja. Temani ibu ya,”

“Di sana nanti banyak makanan kan Bu?” tanyaku semangat.

“Tentu saja,” mereka berdua pun tertawa.

Sorenya Ara dan Ibu datang ke peresmian rumah baru Tante Desi. Teman ibu yang baru saja pindah kerja. Dia adalah seorang dokter yang selama ini ditugaskan di daerah terpencil. Kini dia kembali ke kota kelahirannya. Tante Desi adalah teman ibu waktu SMA dulu. Peresmian rumah barunya ini sekaligus peresmian tempat praktek dokternya.

Rumah Tante Desi tergolong megah. Bangunannya luas dan bertingkat. Terdapat beberapa ruang yang digunakan untuk rawat inap pasien. Melihat Ibu, Tante Desi langsung memeluknya. Mereka sudah lama tidak berjumpa. Sambil bercerita, Tante Desi mengajak kami berkeliling rumah. Saat berkeliling mataku tertuju pada sebuah ruang yang bertuliskan Perpustakaan Ais. Sontak aku memasuki ruangan itu. Baru sampai di depan pintu, aku langsung melihat sosok yang kukenal.

“Ais?” teriakku kaget.

“Sedang apa kamu di sini?” sambungku lagi.

“Lo? Ara? Kamu yang kenapa ada di sini. Ini kan rumahku?” tanya Ais yang tidak kalah kaget.

“Rumahmu?”

“Lo? Kalian sudah saling kenal? Ais satu sekolah dengan Ara ya? Wah wah, Ibumu dan Tante ternyata benar-benar sejiwa ya. Sampai anak-anaknya pun juga sahabatan,” ucap Tante Desi senang.

Aku terdiam mendengar perkataan Tante Desi. Aku malu karena tidak terlalu dekat dengan Ais walaupun duduk bersebelahan. Di dalam perpustakaan ada anak-anak pemulung yang kulihat tadi berjalan bersama Ais. Ternyata mereka adalah anak putus sekolah yang diajak Ais belajar ke perpustakaannya. Ais mengajarkan mereka membaca dan berhitung. Ais juga membiarkan anak-anak tersebut membaca buku-buku sepuasnya. Ais sangat senang bisa berbagi dengan mereka.

Melihat itu, pandanganku tentang Ais berubah. Aku sangat malu dengan diriku yang tidak pernah berbagi dengan sesama seperti yang dilakukan Ais. Ais yang kampungan di mataku berubah menjadi Ais yang keren dan hebat. Aku pun menceritakannya kepada teman-temanku. Teman-teman sekelas pun tidak ada lagi yang menjauhinya seperti dulu. Aku dan Ais akhirnya bersahabat seperti ibu kami.

Tinggalkan Balasan