Azan subuh berkumandang dari musalla dekat rumah sebagai alas an bagi gadis itu untuk menyingkap selimut. Usai melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, diraihnya ponsel yang tergeletak di atas meja dan menghubungi Parhan meminta kepada remaja tersebut agar memberitahukan saat kakaknya ada di rumah. Saat Aisyah hendak berangkat memberikan les privat di salah satu siswa bimbingannya, tiba-tiba ponsel di tasnya berdering.
Parhan nama yang tertera di layar ponsel.
“Assalamualikum,” suara Parhan terdengar dari seberang sana.
“Waalaikum salam,” ada apa dek?” tanya. Aisyah.
“Kak Fadli sekarang ada di rumah, jadi kak Aisyah menemuinya sekarang, biar saya memberitahunya.” Ucap Parhan menginformasikan keberadaan kakaknya.
“Sebentar saya kesana, tapi tolong jangan beritahukan kakakmu tentang kedatanganku,” kata Aisyah seolah-olah membuat kesepakatan.
Setelah meminta izin tidak bisa memberikan les privat kepada siswanya, Aisyah langsung mengayuh sepedanya ke rumah Fadli, sambil membawa tas ransel yang berisi laptop yang ditemukan di cafe seminggu yang lalu.Sepanjang jalan pikirannya tak menentu. Rasa takut, khawatir dan gugup memenuhi benaknya.
Lama Aisyah terdiam di depan pintu rumah Fadli. Ditariknya napas dalam-dalam sambil berusaha mengatasi dan menghilangkan rasa takut dalam dirinya.
“Assalamualaikum,” Ucap Aisyah dari luar.
“Waalaikum salam, terdengar suara Parhan dari dalam sembari membuka pintu lebar-lebar.
“Silahkan masuk kak, sebentar saya panggilkan kak Fadli,” ucap Parhan sambil mempersilahkan Aisyah duduk di sofa dan dia pun berlalu hendak memanggil kakaknya yang berada di kamar.
Kekhawatiran dan ketakutan Aisyah semakin menjadi-jadi, keringat dingin mengucur di sekitar pelipisnya. Tidak berapa lama wajah kedua kakak beradik itu terlihat sedang menuruni tangga. Kembali Aisyah menarik napas dalam-dalam dan berdoa kepada Allah, semoga diberikan kekuatan untuk menghadapi lelaki sombong yang menyerupai monster bagi Aisyah.
Sambil berdiri di depan Aisyah. Fadli menampakkan rasa ketidaksukaannya kepada gadis tersebut.
“Perlu apa kau mencariku, mengganggu saja. Apa pentingnya aku menemuimu sampai menyuruh Parhan memanggilku, seperti pejabat saja,” ucap Fadli dengan nada sinis.
Kalimat Fadli membuat dada Aisyah terasa terbakar dan sakit hati. Tapi dia masih bisa mengendalikan diri. Dalam posisi duduk, Aisyah menyodorkan tas ransel yang berisi laptop ke depan Fadli. Bukan kata terima kasih yang diperolehnya malah makian yang menyakitkan
“Rupanya kamu yang mengambil tas dan laptopku ini, sudah seminggu aku mencarinya ternyata kamu pencurinya.” Ucap Fadli langsung menuduh.
Kesabaran Aisyah sudah habis, selama ini dia hanya bisa diam kalau dihina, tapi kali ini dia harus memberikan pelajaran kepada lelaki tersebut. Aisyah berdiri langsung menatap tajam pada lelaki di depannya.
“Aku juga punya harga diri. Jangan Mentang-mentang kamu orang kaya, seenak saja memaki dan menuduh orang. Walaupun aku orang miskin, aku bukan wanita yang suka mencuri.
“Dengar…..! Tas ransel ini tidak sengaja aku temukan di cafe seminggu yang lalu. Aku juga sudah berusaha mencari pemiliknya bertanya kesana kemari tapi tidak ada yang kehilangan laptop. Kamu harusnya bersyukur dan berterima kasih aku mengembalikan laptop ini. Asal kamu tahu adikmu yang mengabarkan kepadaku prihal kamu kehilangan laptop, dengan ciri-ciri yang sama dengan laptop yang aku temukan. Jangan asal main tuduh. lidahmu itu yang harus diperbaiki biar tidak longgar, mulutmu tidak setampan wajahmu” Tukas Aisyah dengan napas terengah-engah menahan amarah.
Setelah mengeluarkan unek-uneknya selama ini. Aisyah langsung pergi meninggalkan rumah tersebut. Fadli hanya bisa memandang punggung wanita tersebut dengan rasa menyesal. Begitu pun dengan Parhan dia hanya bisa menatap guru privatnya dengan rasa iba.
Lelaki berambut gondrong itu langsung menyambar tas laptop yang tergeletak di atas meja. Sesaat kemudian dia mulai memeriksa di laptop. Semuanya masih dalam keadaan utuh tidak ada yang berkurang sedikit pun. Tidak sembarang orang bisa membuka laptopnya karena diamankan dengan password. Termasuk beberapa uang kertas lima puluhan ribu yang ada di tas ranselnya masih utuh dalam posisi semula.
Sesaat Fadli memandang dirinya di cermin. Melihat dengan seksama raut wajahnya yang gusar. Ada rasa bersalah dan penyesalan dalam dirinya terhadap Aisyah, wanita yang selalu dihina dan diremehkan selama ini. Ternyata dia yang menyelamatkan laptop yang berisi skripsi sebagai tugas akhir kuliahnya. Kalau seandainya benda itu tidak ditemukan, itu artinya Fadli harus mengulang menyusun skripsi mulai dari awal dan itu bukan pekerjaan mudah.
Sejak peristiwa itu, lelaki tampan berambut gondrong ini lebih banyak menyendiri, mengurung diri di kamar. Kalimat gadis itu selalu terngiang-ngiang di telinga Fadli. “Kata-kata kasar dan penghinaan selalu aku lontarkan setiap kali bertemu dengannya. Padahal Aisyah tidak pernah melakukan kesalahan. Hanya karena dia berasal dari keluarga kurang mampu yang membuatku kurang suka.” Gumam Fadli.
Beberapa Minggu berlalu, Fadli berharap bertemu dengan gadis tersebut, namun dia tak kunjung datang memberikan les private para adiknya.
“Kok Aisyah tidak pernah datang mengajar kamu les private dek,” tanya Fadli saat mereka duduk berdua di depan televisi.
“Sejak kakak menghinanya waktu dia mengembalikan laptop kakak yang hilang, dia meminta berhenti jadi guru lesku. Awalnya ibu keberatan, setelah tahu penyebabnya ibu malu memaksa dia untuk tetap mengajar disini.” Jawab Parhan
Lelaki bertubuh ateltis itu semakin merasa bersalah, karena ulahnya yang tidak punya perasaan, membuat seseorang yang berjasa mengembalikan kecerian adiknya yang sempat hilang Kini harus merelakan sumber mata pencahariannya selama ini. (Bersambung)