Mungkinkah Cinta (part 8)

Cerpen, Fiksiana, KMAB0 Dilihat

“Kamar melati 21.”

Bergegas aku mengambil kunci motor bututku tak lupa aku membawa tas sandang yang selalu setia menemani kemanapun aku pergi, tidak banyak isinya yang pasti KTP serta SIM dan beberapa uang receh 20-an yang berjumlah 120 ribu, mana tahu aku membutuhkannya.

Pelan tapi pasti aku melajukan motor buntutku, mudah – mudahan aku selmat sampai kerumah sakit Bakti Husada. Ya Allah, semoga Edwin hanya luka kecil saja, aku berdoa dalam hati. Ih apa – apaan kenapa aku yang cemas memikirkann keadaan Edwin, aku sedikit terpana setelah memberhentikan motorku diparkiran rumah sakit Bakti Husada. Memangnya aku siapanya Edwin sampai mau saja disuruh datang tanpa pertimbangan lagi aku melajukan motorku.

Hatiku bimbang, padahal aku sudah dilorong kamar melati. Aku melihat nomor kamar yang aku lewati sebentar lagi aku akan sampai di kamar melati 21. Aku berhenti dikamar 19, sekilas mata bisa melihat kamar di depan sana kamar melati 21. Pikiranku mengatakan mengapa aku harus kesini, tapi hati tetap kekeh untuk bertemu Edwin. Satu tepukan tangan di bahuku membuatku terkejut, aku membalikkan badanku, terkejutnya aku melihat Edwin berdiri dibelakangku dalam keadaan yang tidak kurang satu apapun. Mataku membesar, aku kesal sambil membuang napas berat aku berkata

“Kamu itu ya suka mengerjai orang.” Sambil berkata itu aku melangkah meninggalkan Edwin.

Edwin menarik lenganku, menghentikan langkahku. Seperti bernostalgia, saat pertama Edwin memegang leganku pada hari pertama pertemuan untuk rapat KKN. Tapi aku menepis angan itu, nepis tanganya dan terus berlalu.

“Putri, ibu kamu tertabrak motorku, sekarang di kamar melati 21.” Ucapan Edwin menghentikan langkahku. Aku berlari melewati Edwin yang masih berdiri disitu, membuka pintu kamar. Ibuku tertidur dikasur rumah sakit, aku melangkah pelan mendekati Ibuku melihat perban di kaki dan lengan Ibuku, airmataku menetes. Aku mendengar pintuk kamar dibuka, Edwin masuk dengan wajah yang sulit aku artikan.

Aku menepuk jidatku, tadi Edwin mengatakan bahwa Dia menabrak Ibuku. Aku berdiri menghampiri Edwin dan memandangnya geram.

“Mengapa kau tega menabrak Ibuku?” aku memandang wajah Edwin dengan kesal

“Apa matamu sudah pindah ke belakang sehingga tidak nampak Ibuku.” Aku berusaha menahan emosiku dan memelankan suaraku supaya Ibu tidak terbangun.

Ingin sekali aku memukul Edwin, tapi melihat wajahnya aku tidak tega dan akhirnya aku kembali lagi mendekati tempat tidur Ibu dan meninggalkan Edwin yang masih berdiri di dekat pintu kamar. Perlahan tapi pasti aku mendengar langkah Edwin mendekati tempat dudukku.

“Maaf aku tidak sengaja, Ibumu berlari ke arahku, untung saja aku membawa motoku pelan. Jika tidak luka Ibumu akan lebih parah.” Aku tidak memperdulikan apa yang diucapkan Edwin, aku terus saja memandang Ibuku yang terbaring lemah.

“Ibumu tidak apa – apa hanya luka sedikit dan shok.” Aku masih tetap memandang Ibu tanpa memperdulikan Edwin.

Aku melihat Ibu mulai bergerak, membuka matanya pelan dan akhirnya Ibu melihat kearahku

“Ibu, ibu tidak apa – apan?” Aku menatap Ibu dan memegang tanganya

Arah mata Ibu beralih ke arah Edwin

“Terima kasih sudah menolong Ibu.” (bersambung)

Tinggalkan Balasan